Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Merayakan Keberagaman Seni Asia Tenggara

Pesta seni ini melibatkan 27 kurator dari berbagai negara di Asia Tenggara. Indonesia banyak diwakili seniman muda.

18 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Singapore Biennale 2013 dibuka pada pengujung Oktober lalu. Biennale yang digelar untuk keempat kalinya itu bakal berlangsung hingga awal Februari tahun depan. Mengusung tema "If the World Change…", biennale yang diinisiasi Singapore Art Museum pada 2004 itu lebih berfokus pada seniman Asia Tenggara.

Proses kurasi cukup terbuka dan demokratis. Seniman yang terlibat dipilih oleh tim kurator, beranggotakan 27 praktisi seni dari Asia Tenggara. Mereka terdiri atas kurator, peneliti, akademikus, dan seniman. Dari Indonesia, terpilih dua kurator, Mia Maria (Jakarta) dan Aminuddin T.H. Siregar (Bandung).

Tak hanya menyebarkan peran kurator ke berbagai macam profesi, Singapore Biennale juga mengambil inisiatif untuk keluar dari wilayah pusat urban, memasuki ranah yang belum banyak terjamah. Sekitar 80 seniman kemudian terpilih, mewakili keberagaman praksis dan pendekatan berkesenian di Asia Tenggara.

Dari Indonesia, terpilih nama-nama seperti Nasirun, Tisna Sanjaya, dan Eko Prawoto, yang sudah cukup mapan serta memiliki kontribusi penting pada seni di Asia Tenggara. Toni Kanwa dan Rosid mewakili seniman yang memiliki pendekatan berkesenian tidak biasa di tengah medan seni kontemporer.

Adapun generasi muda seniman Indonesia diwakili Irwan Ahmett dan Tita Salina, Anggun Priambodo, Mahardika Yudha, dan seniman kolektif yang tergabung dalam Komvni Fotografi. Ada pula seniman Iswanto Hartono, bekerja sama dengan seniman kenamaan India, Raqs Media Collective. Deretan nama ini pun menunjukkan keinginan para kurator menunjukkan keberagaman praktek seni kontemporer di Indonesia, tidak melulu yang berfokus pada seni rupa berbasis ruang urban.

Karya Eko Prawoto, Wormhole, barangkali merupakan satu karya yang paling monumental, paling terlihat. Ditempatkan di halaman National Museum of Singapore, instalasi bambu yang menjulang tinggi ini seperti memberi kontras yang kuat dengan bangunan kolonial bersejarah yang menjadi latar belakangnya. Eko Prawoto membangun sesuatu di antara yang alamiah dan yang dibangun manusia, antara ruang luar dan ruang dalam, antara yang hidup dan yang ditinggalkan, antara yang dijunjung dan dipijak.

Seperti biasanya, pada konstruksi instalasi Eko, pengunjung mendapatkan ruang untuk berefleksi, menjauh dari hiruk-pikuk keseharian. Tak jauh dari situ, seniman Indonesia yang lain, Rosid, menampilkan bangunan rumah kayu yang dihiasi dengan perkakas rumah tangga tradisional. Di kampung halamannya di Bandung, rumah ini menjadi sebuah tempat pembelajaran bagi komunitas setempat.

Seniman muda seperti Irwan Ahmett dan Tita Salina, Anggun Priambodo, serta Mahardika Yudha mempresentasikan karya-karya yang menyorot situasi urban dan ruang publik. Anggun menampilkan karya Toko Keperluan di halaman depan 8Q Building, bagian dari Singapore Art Museum, yang merefleksikan beragam kontradiksi dalam aktivitas konsumsi masyarakat perkotaan.

Duo Irwan dan Tita melakukan penampilan interaktif di beberapa titik ruang publik di Singapura. Mereka juga menampilkan dokumentasi video dari berbagai aksi intervensi atas ruang publik yang telah mereka lakukan di Jakarta. Keduanya menggabungkan aksi-aksi penuh humor dan asyik, tapi sekaligus kritis dan ironis. Untuk audiens Singapura, saya kira karya mereka ini menjadi satu sentilan yang relevan untuk kehidupan masyarakat Negeri Singa yang cenderung teratur dan "steril".

Iswanto Hartono berkolaborasi dengan kelompok seniman asal India, Raqs Media Collective, yang menyelidiki prinsip nasional dari beberapa negara di Asia Tenggara. Dua kasus perbandingan yang diambil adalah Pancasila dan prinsip dasar Malaysia, keduanya mengajukan prinsip untuk "anti" atau "tidak" sebagai gagasan dasar nasionalisme. Karya The Five Principle No's terdiri atas tulisan dinding (walltext) dari lima prinsip dasar tersebut, di mana huruf O dari kata No dikembangkan dalam bentuk instalasi arsitektural. Sederhana dan efektif dalam membangun metafor. Dalam pandangan saya, karya ini merupakan salah satu karya terkuat.

Seniman Filipina, Vietnam, dan Myanmar bergelut dengan gagasan tentang politik identitas, terutama dalam situasi pascakonflik dan krisis yang menjadi lanskap politik yang dominan dalam masyarakat Asia Tenggara. Salah satu seniman Myanmar, Nge Lay, misalnya, merekonstruksi ruang kelas di wilayah pedalaman negerinya dengan pendekatan realis. Karya berjudul The Sick Classroom ini diajukan sebagai kritik terhadap sistem pendidikan Myanmar yang menggunakan sekolah sebagai perpanjangan kontrol negara.

Seniman Thailand, Nipan Oranniwesna, membangun satu ruang berlantai kayu, dikelilingi dinding merah. Di dalam lantai kayu itu, dia memasang lubang kecil berlapis kaca, yang di dalamnya terdapat fragmen-fragmen dalam sejarah Thailand. Peristiwa-peristiwa besar menjelma menjadi sesuatu yang sedemikian kecil, nyaris tak terlihat dan terlupakan.

Seniman Filipina, Kiri Dalena, memajang karya Monument for a Present Future, yang terdiri atas instalasi potongan tubuh dari manekin, terserak di lantai sebuah ruangan, dengan satu karya video. Karya semacam Dalena ini dengan segera mengarahkan pengunjung pada wacana tentang kekerasan, tubuh, memori, dan sejenisnya. Meski secara visual cukup menarik, pesannya terlalu verbal.

Secara umum, dalam Singapore Biennale 2013 ini, saya mendapati banyak karya yang menampilkan pesan sosial-politik yang cukup lugas. Para seniman tidak terlalu menantang audiens untuk menyibak interpretasi dari berbagai simbol pada karya mereka. Hampir semua karya dengan segera dipahami dengan mudah. Tak banyak karya yang bisa masuk wilayah konseptual yang lebih kuat.

Pendekatan yang cukup "radikal" dalam kuratorial dengan banyaknya kurator memberikan dampak besar terhadap hasil pameran. Visi biennale untuk membawa tindak kuratorial sebagai sesuatu yang lebih demokratis, tidak diserahkan pada pemikiran satu orang saja, sebagaimana yang banyak terjadi di berbagai biennale di dunia, merupakan pemikiran segar dalam seni kontemporer global.

Namun keinginan untuk menjadikan Singapore Biennale 2013 sebagai perhelatan yang punya ciri khas, terutama menjadi semacam "representasi" dari sejarah dan pemaknaan atas Asia Tenggara, dalam biennale ini terkesan "tanpa kejutan". Karya-karya yang ditampilkan tidak menyaran pada gagasan tentang dunia yang berubah, sebagaimana yang disebutkan dalam judul pamerannya. Boleh dibilang justru banyak karya terasa romantis dan nostalgis dalam caranya membaca sejarah dan masa lalu.

Alia Swastika, Pengamat Seni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus