Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sebuah kamar terisolasi, Heri yang bercelana lusuh duduk bertafakur. Jarinya menjepit sebatang rokok. Sesekali pemuda 29 tahun ini mengisap rokoknya. Begitu kepulan asap terembus dari mulutnya, ia mulai lagi meracau tak karuan. Dia mengaku sedang merapal mantra. "Ini ilmu penghilang jejak dari guru saya di Banten," katanya.
Sudah tiga hari pemuda berambut gondrong itu menginap di ruang isolasi Rumah Sakit Dr Sardjito, Yogyakarta. Saat ditemui Tempo pada Rabu pekan lalu, ia selalu mengucapkan kata-kata yang tidak jelas. Keluarganya mengirim ke rumah sakit karena perilaku Heri menjadi aneh setelah sering menonton tayangan mistis seperti Pemburu Hantu dan Uji Nyali di televisi. Dia kerap menyendiri, suka meracau, dan kadang-kadang mengamuk. Di rumah sakit, pemuda asal Kulon Progo, Yogyakarta, ini langsung dimasukkan ke kamar isolasi, karena suka berteriak-teriak dan hendak menyerang dokter yang menanganinya.
Yanti, 24 tahun, juga memiliki kegemaran yang sama. Perempuan asal Bantul, Yogyakarta, ini suka pula menonton sajian mistik. Dia tidak seagresif Heri, karena itu tidak perlu dimasukkan ke ruang isolasi. Dengan berseragam pasien berwarna merah jambu, Yanti ditempatkan di bangsal khusus penderita penyakit jiwa. Tangan dan kakinya diikat di dipan karena ia sedang menjalani terapi kejut listrik. Tujuannya menata lagi sistem otaknya yang mengalami gangguan.
Menurut Prof Dr Soewadi MPH SpKj, kedua pasien itu mengidap skizofrenia, salah satu jenis gangguan kejiwaan. Dalam pikiran mereka tumbuh waham yang aneh. Penyebabnya? "Diduga karena terlalu sering menonton tayangan mistik di televisi," ujar Kepala Staf Medik Fungsional Jiwa di RS Dr Sardjito tersebut.
Dia juga mengungkapkan, jumlah penderita kelainan jiwa karena tayangan mistik cukup banyak di Yogyakarta. Berdasarkan pengamatannya, angkanya bisa naik-turun. Ambil contoh, pada Januari hingga Oktober tahun lalu, pasien penyakit jiwa yang berobat ke RS Sardjito meningkat tajam. Pasien yang menjalani rawat inap pada bulan-bulan itu bisa mencapai 12 orang. Semuanya gara-gara terlalu sering menonton tayangan mistik. Memasuki bulan November hingga Desember, angkanya turun. "Setelah saya amati, ternyata pada dua bulan itu tayangan mistik di televisi memang berkurang karena bulan puasa," kata Soewadi.
Secara umum, terjadi pula peningkatan jumlah pasien penyakit jiwa di kota itu. Misalnya di RS Sardjito. Pada 2003, jumlah pasien rawat inap hanya 371 orang, tapi pada 2004 meningkat menjadi 433 orang. Ini belum termasuk pasien rawat jalan yang dalam sehari mencapai rata-rata 25 pasien. Begitu pula di Rumah Sakit Grhasia, Yogyakarta. Pada 2003, pasien yang menjalani rawat inap sebanyak 678 orang, kemudian pada 2004 melonjak dua kali lipat menjadi 1.314 orang.
Soewadi memastikan, cukup banyak penderita kelainan jiwa di RS Sardjito yang disebabkan terlalu sering menonton tayangan mistik. "Saya yakin, di rumah sakit lain seperti Grhasia, banyak pula penderita serupa. Tapi mungkin para dokter di sana kurang memperhatikan," katanya.
Hal itu juga diakui oleh Dr Latifah SpKj dari RS Grhasia. Dia mengatakan, memang cukup banyak pasien di rumah sakit tersebut yang memiliki keyakinan berbau mistis. "Saya kebetulan tidak memperhatikan faktor penyebabnya," tuturnya. Menurut Latifah, untuk menyimpulkan apakah mereka terpengaruh oleh tayangan mistik di televisi, masih diperlukan penelitian mendalam.
Nah, pada tahun ini ada tanda-tanda peningkatan lagi. Tempat praktek Dokter Soewadi di Jalan Suryodiningratan, Yogyakarta, sekarang mulai dibanjiri pasien yang mengalami gangguan jiwa. Sebagian besar karena sering melihat tayangan mistik. "Dalam sehari, ada sekitar enam orang yang mengalami gangguan seperti itu," ujarnya.
Dr Tun Kurniasih Bastaman SpKJ dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia mengatakan, studi empiris tentang pengaruh tayangan mistik terhadap kelainan jiwa belum ada. Hanya, memang ada literatur kesehatan jiwa yang menyebutkan berbagai gejala awal serangan skizofrenia. Salah satunya, si penderita menggemari ilmu tinggi seperti filsafat dan ketertarikan pada dunia mistik. Pasien umumnya mulai memunculkan keanehan pada usia 20-30 tahun.
Menurut Dokter Soewadi, penyebab kelainan jiwa sebenarnya amat banyak, termasuk kesulitan ekonomi yang dialami keluarga pasien. Bisa dikatakan tayangan mistik merupakan stressor atau pemicunya. Ini pun bergantung pada kekuatan jiwa seseorang. Orang yang kuat dan memiliki mekanisme defensif akan melihat tayangan tersebut sebagai hiburan semata. Tapi, bagi orang yang pengetahuannya terbatas, tayangan itu bisa mempengaruhi jiwanya. Jangan heran jika yang menjadi korban umumnya kalangan masyarakat bawah. "Berdasarkan pengakuan keluarga pasien, yang paling sering ditonton adalah Pemburu Hantu, Dunia Lain, Uji Nyali, dan Pengobatan Alternatif," katanya.
Orang yang terpengaruh pada tayangan itu akan berperilaku aneh. Soewadi mengungkapkan, mereka biasanya percaya bahwa dirinya memiliki kekuatan gaib. Atau sebaliknya, mereka merasa diganggu dan dihantui oleh kekuatan mistis. Ini membuat jiwanya terguncang dan memunculkan gejala seperti sering menyendiri, susah berkomunikasi dengan orang lain, dan bahkan lupa mengurus dirinya sendiri.
Bila cepat dibawa ke dokter jiwa, pasien yang memiliki kelainan itu akan dirawat dan disembuhkan lewat berbagai terapi. Misalnya dengan memberikan obat penenang atau dengan terapi spiritual untuk menguatkan jiwanya (lihat Tujuh Jurus Penyembuhan).
Itu pula yang dilakoni oleh Sodri, 27 tahun. Mahasiswa ilmu sosial di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta ini pernah dirawat inap di RS Sardjito selama setengah bulan karena mengalami kelainan jiwa. "Saat pertama kali dibawa ke sini, kondisinya amat parah. Dia sering meracau. Tapi sekarang mulai membaik," ujarnya.
Sehari-hari ia tinggal bersama ibunya dan seorang adik perempuan di daerah Gamping di Kota Gudeg. Mereka hidup pas-pasan setelah ayah Sodri meninggal empat tahun silam. Seperti juga Heri dan Yanti, ia memiliki kegemaran yang susah dihilangkan: menonton tayangan mistik.
Ketika datang ke ruang praktek Dokter Soewadi untuk rawat jalan, Kamis pekan lalu, ia masih tampak linglung. Sodri mengaku masih sering tidak bisa tidur. Kalaupun tertidur, tidak bisa lelap karena sering bermimpi buruk. Kadang ia merasa ada yang menjawil (mencolek) padahal sedang sendirian. Itu sebabnya ia takut berada di tempat gelap. Hanya, tak seperti Heri dan Yanti, sekarang Sodri tidak sering meracau.
Utami Widowati, Syaiful Amin (Yogyakarta)
Tujuh Jurus Penyembuhan
Buat menyembuhkan pasien yang mengalami gangguan jiwa, perlu dilakukan berbagai langkah terapi. Ini terutama berlaku bagi pasien yang terganggu jiwanya gara-gara terlalu sering menonton tayangan mistik. Menurut Prof Dr Soewadi MPH SpKj dari RS Dr Sardjito, Yogyakarta, paling tidak ada tujuh cara untuk menyembuhkan dan bisa dilakukan serentak.
- Menggunakan obat untuk membuat pasien lebih tenang. Resep ini diberikan terutama kepada pasien yang sudah cukup parah, sering meracau, dan bahkan mengamuk.
- Terapi kejut listrik. Biasanya diberikan dua hari sekali untuk menata sistem otak pasien.
- Melakukan wawancara mendalam terhadap pasien untuk mengetahui pola perilakunya.
- Terapi motorik lewat kegiatan olahraga dan kesenian.
- Terapi sosial untuk mengembalikan fungsi sosial pasien yang umumnya menarik diri dari lingkungan.
- Terapi kerja. Secepat mungkin pasien bekerja kembali atau menekuni kegiatan sehari-hari sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan dunia mistis.
- Terapi spritual diperlukan untuk meneguhkan kembali jiwa pasien.
Dokter Soewadi mengungkapkan, pasien yang menderita kelainan jiwa cukup parah biasanya butuh waktu sedikitnya dua minggu untuk proses penyembuhan. Terapi kejut listrik akan mulai kelihatan hasilnya dalam empat hari. Lalu, "Pada pekan kedua, umumnya mereka sudah bisa mengenali dirinya," ujar sang dokter.
Syaiful Amin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo