Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Momen pilpres dan pilkada menjadi tempat bertemunya kepentingan dua pihak, yakni politikus dan perwira intervensionis.
Kebutuhan kontestan politik bertemu dengan hasrat kekuasaan pejabat-pejabat pada alat negara ini.
Keterlibatan TNI dan Polri dalam kontestasi politik tidak hanya membawa efek negatif bagi demokrasi, tapi juga lingkup internal lembaga masing-masing.
TAHUN politik menjadi ujian nyata bagi pelaksanaan reformasi sektor keamanan, baik Kepolisian RI maupun Tentara Nasional Indonesia. Tahun 2024 menjadi pengalaman terdekat guna menganalisis fenomena tersebut, mengingat kontestasi demokrasi berlangsung dua episode: pemilihan presiden yang dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dua episode tersebut, muncul istilah "partai cokelat" atau "parcok" yang diarahkan kepada Polri. Istilah ini muncul dalam berbagai diskursus publik karena anggota kepolisian diduga banyak terlibat dalam pemenangan kandidat tertentu, sebagaimana diangkat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ataupun dibahas dalam siniar Bocor Alus Politik Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Momen pilpres dan pilkada menjadi tempat bertemunya kepentingan dua pihak, yakni politikus atau kontestan politik dengan perwira intervensionis—meminjam istilah Eric A. Nordlinger (1990)—dari alat negara. Dalam kontestasi politik nasional, terutama bagi inkumben, pemanfaatan cengkeraman kekuasaan terhadap alat negara rentan dilakukan.
Dalam berbagai edisi Bocor Alus Politik yang membahas episode-episode kontestasi demokrasi tersebut, dijelaskan dengan baik dugaan-dugaan penggunaan alat negara guna pemenangan calon tertentu, termasuk wilayah-wilayah mobilisasinya.
Penggunaan alat negara dianggap mujarab dalam pemenangan. Mereka memiliki sistem teritorial hingga ke level desa, bahkan rukun tetangga dan rukun warga, sehingga dapat memetakan secara presisi kondisi elektabilitas calonnya. Kewenangan alat negara juga dapat merangsek masuk hingga memblokade pilihan politik lain di suatu daerah melalui reaktivasi kasus-kasus hukum tertentu.
Pada saat yang sama, kebutuhan kontestan politik bertemu dengan hasrat kekuasaan pejabat-pejabat pada alat negara ini, terutama yang berkaitan dengan kenaikan pangkat dan jabatan. Pertemuan kepentingan ini melahirkan simbiosis mutualisme bagi kedua pihak, tapi meregresi demokrasi.
Pertautan kepentingan menempatkan dua kaki alat negara pada posisi berbeda. Satu kaki sebagai alat kekuasaan, sementara satu kaki lain masih sebagai alat negara. Meskipun secara institusi masih sebagai alat negara, terutama secara legal formal, sulit melihat posisi tersebut secara implementasi dalam kontestasi politik, sebagaimana diulas dalam Bocor Alus Politik.
Alat negara dan alat kekuasaan ini bukanlah sesuatu yang setara. Pada masa Orde Baru, ketika militer menjadi penopang rezim, mantan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Soemitro menyebutkan kondisi tersebut mencerminkan penurunan derajat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dari alat negara menjadi alat kekuasaan politik (Salim Said, 2006).
Dalam studi militer dan politik, gejala-gejala tersebut menjadi ruang terbuka yang memicu keterlibatan militer dalam politik. Misalnya, Erick Nordlinger (1990) menjelaskan bahwa keberadaan perwira militer yang intervensionis menjadi penyebab turun tangannya militer dalam politik guna melindungi kepentingan militer.
Kemudian, menurut Samuel Decalo, dalam Ulf Sundhaussen (1988), kelemahan sistem politik, kerapuhan struktural lembaga negara, dan konflik elite sipil dalam pemerintahan menjadi penyebab keterlibatan tersebut. Sementara itu, Sundhaussen menjelaskan bahwa campur tangan tersebut terjadi karena para perwira memainkan peran penting sebagai pemimpin politik di militer dan mengolah kesempatan itu untuk terlibat dalam politik.
Dengan mengadopsi pemikiran-pemikiran dalam studi militer dan politik tersebut, dapat dipahami berbagai faktor keterlibatan alat negara (TNI/Polri) dalam kontestasi demokrasi, termasuk pilpres dan pilkada 2024. Keterlibatan yang didasari perwira intervensionis, menurut Nordlinger, dapat dianalisis melalui persamaan dan perbedaan kepentingan yang mendasar.
Dalam konteks persamaan, dapat diartikan bahwa keterlibatan tersebut memang bertujuan mendukung kepentingan yang sama agar tetap terselenggara. Dalam konteks Orde Baru, kesamaan kepentingan tersebut dapat dianalisis lewat rezim yang terus bertahan serta ABRI yang terus berlimpah kewenangan dan privilese.
Sedangkan dalam konteks perbedaan, keterlibatan tersebut bertujuan memastikan kepentingan perwira dapat ditumpangkan sebagai balas jasa dukungannya. Potensi yang dapat dianalisis, misalnya, memastikan anggaran institusi yang besar ataupun struktur ketatanegaraan atas institusinya tidak berubah. Keterlibatan yang dipicu oleh kepentingan-kepentingan tersebut dianggap tidak terakomodasi dalam rezim mendatang sehingga memerlukan pihak tertentu untuk turun tangan melindunginya.
Lalu keterlibatan sebagaimana yang dijelaskan Decalo dapat dipahami sebagai implikasi sejumlah kondisi, antara lain lemahnya pengawasan dan pengenaan sanksi, politisasi alat negara, serta kurang panasnya mesin partai politik di daerah sehingga memerlukan bantuan struktur teritorial alat negara melalui perwira-perwira intervensionis.
Dalam konteks pemilu dan pilkada 2024, ketika berbagai informasi dugaan keterlibatan alat negara diembuskan berbagai pihak, semestinya penyelenggara ataupun pengawas pemilu serta kepolisian turut mendalami temuan-temuan tersebut. Tidak sekadar pasif menunggu bukti atau laporan.
Keterlibatan yang disebabkan oleh orientasi politik perwira juga cenderung berkaitan langsung dengan hasrat politik berbasis jabatan dan pangkat perwira yang bersangkutan, baik ketika masih di institusi alat negara maupun saat pensiun. Orientasi politik ini dapat ditafsirkan sebagai ambisi atau upaya mereka mengamankan karier politik ketika pensiun. Karena itulah mereka perlu berinvestasi politik sedari awal dengan mendukung salah satu kontestan politik yang dianggap potensial.
Kondisi ini dapat diperhatikan dan dianalisis melalui berbagai posisi politik dan jabatan purnawirawan militer ataupun kepolisian yang pensiun, seperti menjadi menteri, komisaris badan usaha milik negara, dan petinggi partai politik, yang dikaitkan dengan kedekatan serta afiliasi politiknya. Momen pilpres ataupun pilkada akhirnya menjadi saluran terhubungnya hasrat politik perwira dengan kebutuhan politikus tertentu.
Keterlibatan alat negara (TNI/Polri) dalam kontestasi politik tidak hanya membawa efek negatif bagi demokrasi, tapi juga lingkup internal lembaga masing-masing, seperti perpecahan, persaingan, dan terhambatnya profesionalitas kinerja. Sebab, setiap yang berpolitik selalu berusaha menghimpun basis untuk memperoleh loyalis sehingga memicu lahirnya berbagai blok politik dengan basis kepangkatan dalam tubuh setiap alat negara.
Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri tinggal sebatas tulisan nir-implementasi. Hasrat politik secara nyata mengangkangi peraturan perundangan sebagai basis negara hukum serta meminggirkan tugas utama mereka sebagai alat pertahanan dan keamanan negara karena disibukkan oleh kegiatan politik praktis.
Preseden buruk Orde Baru terhadap demokrasi dan profesionalitas alat negara (dulu ABRI, kini TNI/Polri) seharusnya tak terulang. Kontrol sipil yang obyektif perlu menjadi sandaran konseptual dalam menjaga reformasi sektor keamanan, selain regulasi TNI dan Polri. Dari catatan-catatan tersebut, perlu dipahami bahwa reformasi alat negara dapat berjalan maju-mundur jika berhadapan dengan kepentingan politik. Karena itu, menjaga reformasi dan profesionalitas alat negara harus berjalan timbal balik antara pemerintah dan lingkup internal TNI/Polri.
Selain mendorong alat negara menjadi netral dan tak terlibat politik praktis, sorotan tersebut dialamatkan kepada pemerintah dan/atau politikus sipil agar tidak menarik anggota TNI/Polri ke agenda politik praktis sebagai bentuk menghormati profesionalitas yang tengah diupayakan kedua institusi itu. ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo