Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tokoh

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita mencari tokoh. Tapi tokoh bisa menjadi berhala. Kita mencari seseorang dengan visi yang menjangkau jauh ke zaman nanti. Tapi masa depan setiap kali mendadak mencegat kita. Di masa yang goyah dan tanpa bentuk, ketika sebuah tatanan rontok, ketika seorang kuat pergi, ketika sejumlah badut tinggal, orang mencoba mencuri keajaiban dari sejarah. Justru ketika sejarah tampak berjalan seperti mabuk. Keajaiban, atau sebuah momen ketika, Insya Allah, tiba-tiba muncul sebuah sosok besar yang punya daftar panjang kebajikan. Entah dari langit keempat atau dasar lautan Hindia, ia seorang yang kuat yang juga jujur, yang menggugah yang juga mengayomi, seorang yang pandai memberikan nubuat tapi juga mudah-mudahan mau diingatkan. Besar, tapi merendah. Sejarah memang bisa menikung ke arah yang tak kita perhitungkan. Ada selalu belokan yang memperdayakan di koridor panjang yang ditempuh. Tetapi sejarah adalah proses. Keajaiban dengan sendirinya antiproses. Saya tak tahu bagaimana keduanya bisa bersamaan, kecuali bagian akhir yang khas dalam drama Yunani kuno: seorang dewa tiba-tiba muncul dari sebuah mesin di sudut panggung. Ialah yang akan membereskan perkara pelik yang sedang dihadapi para aktor lain. Tapi ini akhir abad ke-20. Deus ex machina seperti itu jadi rentan terhadap sebuah serbuan yang tak pernah ada sebelumnya dalam milenium lain yang mana pun: serbuan informasi. Karena serbuan itulah sang deus tak bisa lagi jadi seorang dewa yang berdiri kukuh jadi pusat segala hal ihwal. Dewa Yunani kuno itu telah mati. Sang mesin kehilangan kejutannya. Saya tak tahu sejak kapan sang deus sudah tidak bekerja lagi. Pernah ada masanya ketika orang percaya bahwa sejarah adalah biografi orang-orang besar. Dalam pandangan ala Carlyle ini, sejarah dibentuk oleh para pemimpin politik, maharaja, penjelajah bumi, para pemikir yang seperti nabi, jenderal yang sukses atau gagal, para penemu yang menghebohkan, dan teroris yang ditakuti umum. Dengan kata lain, satu riwayat bakat besar yang berpengaruh. Bakat yang pas-pasan, mediocrities, tak punya peran; mereka tak punya sesuatu yang layak dipaparkan. Tetapi di abad ke-19 itu pun Carlyle—ia seorang yang mencemooh demokrasi parlementer—telah masygul, bahwa dunia sebetulnya sebuah republik dari mereka yang berbakat pas-pasan. "The world is a republic of mediocrities, as it always was…." Ada melankoli di sini. Seperti kini. Kita merasa seakan-akan sejarah sedang mampir ke Indonesia dan mengetuk pintu, memanggili para tokoh untuk tampil, untuk naik ke pundaknya yang menjulang, untuk memberi bentuk kepada arus perubahan yang hilang bentuk, dan jadi orang besar. Tapi siapa yang menyahut? Mungkin ada. Tapi kita tak yakin lagi bagaimana di zaman ini seseorang masih bisa naik ke pundak sejarah dan menjulang tinggi. Akhir milenium ini menyaksikan arus informasi yang dengan cepat menyebabkan tokoh apa pun esok hari akan tampak seperti berhala. Besar, mengesankan, tetapi sebenarnya hanya sebuah hasil konstruksi. Tidak jarang orang menyesali itu. Ketika tokoh hanya berhala yang kehilangan mitos, hidup memang jadi datar. Tak ada aktor yang menonjol, drama tak memikat. Memang ada demokratisasi. Karisma para pemimpin menjadi hal yang rutin, dalam bentuk "administrasi", dan hidup lebih terencana. Tapi tidak selamanya itu menggugah dan orang memang layak bertanya: kenapa orang besar harus tidak ada? Pushkin pernah mengeluhkan kegemaran "orang ramai" memburu informasi, dengan membaca catatan yang memalukan dan pengakuan yang tak sedap dari orang-orang termasyhur. Bagi Pushkin, mereka, yang "berwatak rendah" itu suka bila menyaksikan orang yang luhur dihinakan dan orang yang kuat tampak lemah. Dalam pandangan Pushkin, ketika "orang ramai" itu menemukan tiap detail yang menjijikkan pada catatan hidup seorang besar, mereka pun bertepuk, "Dia kecil seperti kita semua! Dia keji seperti kita juga!" Tapi Pushkin hidup di Rusia di abad ke-19; ia pelopor pembaruan puisi Rus dan sastrawan tenar dengan darah biru; ia jiwa yang berani melawan sensor Tsar dan laki-laki yang berani mati dalam duel. Ia bukan bagian dari "orang ramai" yang umumnya tidak mengejutkan dalam berperilaku. Pushkin tentu mudah meremehkan "orang ramai" itu. Namun ada yang tak dilihatnya: ketika sang berhala tampak mengeluarkan lendir dan liur, yang terjadi tidak selamanya berupa pemerataan kekejian. Yang terjadi adalah lakon lain, sebuah lakon yang tidak lagi sepenuhnya membutuhkan tenaga dari keyakinan bahwa sang penggerak adalah sebuah subyek yang layak jadi pusat dunia. Pernah ada masanya humanisme meletakkan manusia sebagai subyek yang utuh dan solid sebagai pusat hal ihwal—dan tauladannya adalah tokoh besar sejarah. Namun yang berlangsung sekarang justru sebuah pertanyaan (yang disukai kaum post-strukturalis dalam filsafat): di mana ada subyek yang kukuh dan solid, ketika tubuh dan jiwa ternyata tidak bisa menentukan dirinya sendiri? Tidak bisa, karena hubungannya dengan dunia ternyata terpaut dalam bahasa—yang tersusun dari ruang, waktu, dan orang lain, dan langsung jadi bagian dari kesadarannya. Tidak bisa, karena tafsir manusia tentang dunia di luar diri erat berpautan dengan kekuasaan yang kait-berkait secara sosial. Tidak bisa, karena "kesadaran" tidak pernah terpisah dari yang bukan-kesadaran. Sang tokoh memang masih ada. Media memerlukan fokus, dan itu tokoh, dan sekarang adalah masa ketika "dunia" berarti sebuah ruang dan waktu yang di-media-kan. Tetapi dalam posisi itu, sang tokoh hanya akan sebentar-sebentar saja memberikan makna. Makna—yakni alasan yang menenteramkan, atau inspirasi yang menggerakkan, sehingga orang hidup dan berbuat sesuatu dalam sebuah masyarakat yang sedang retak. Kultus, yang mengabadikan tokoh, akan memenjarakan dan memperdayakan semua pihak. Sebab tokoh, atau aktor, didefinisikan oleh "act", atau laku. Laku itu selalu ada dalam konteks, selalu sebuah teks yang ruwet. Tapi itulah yang—meskipun tanpa tujuan yang jelas, visi yang agung—akan bisa memerikan makna dalam sebuah perbincangan sosial bila ia membuka pintu untuk pembebasan, penjelajahan. Drama tak cuma berlangsung karena tokoh, tapi karena ketegangan tindakan, juga di hadapan akhir yang tak kita ketahui. Dewa mati dan jagoan mungkin telah lama cacat. Tetapi lakon akan terus dengan pertanyaan, kerendahan-hati, keberanian, dan hal-hal lain yang kita bisa berbagi. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus