Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menjaring Hujan Duit Rp 12 Triliun

Dana jaring pengaman sosial langsung diterjunkan ke desa-desa. Sebuah proyek politik menjelang pemilu?

25 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI zaman ketika kemelaratan menjadi rutin dan klise, adakah yang lebih menggetarkan ketimbang hujan uang? Barangkali, beginilah jalan sulapan nasib. Desa-desa tiba-tiba bergelimang uang. Bayangkan, lebih dari Rp 12 triliun uang didrop langsung ke kampung-kampung miskin. Sejak awal tahun ini, pemerintah menetapkan dana jaring pengaman sosial (JPS alias social safety net) ke kantor-kantor kabupaten, kecamatan, dan kelurahan. Dan kesibukan pun mendadak tumbuh seperti pasar malam. Posko-posko JPS menjamur menyaingi Posko Gotong-Royong PDI Perjuangan. Berbeda dengan posko PDI yang mandiri dan swadaya, posko JPS nebeng di kantor-kantor kabupaten, kecamatan, hingga kelurahan. Selanjutnya, koperasi bermunculan. Proposal pun disusun. Maklum, tiap desa mendapat jatah kredit tanpa bunga senilai Rp 60-80 juta. Untuk memanfaatkan dana JPS, warga yang membutuhkannya diminta menyusun usulan proyek. Bentuknya terserah, bebas, apa saja?asalkan padat karya. Harapannya jelas: dana jaring pengaman sosial yang berasal dari utang luar negeri itu bisa dimanfaatkan oleh mereka yang berhak. Dan proyek yang digelar benar-benar dibutuhkan masyarakat. Kata orang kota, ini zaman bottom-up, Bung. Sukseskah? Tunggu dulu. Cita-cita JPS boleh saja setinggi langit. Proyek ini memang biasa digelar oleh negara yang terkena krisis, untuk membantu warga tak mampu menyesuaikan kehidupan dengan krisis. Maklum, akibat hantaman krisis, nilai pendapatan riil rakyat terpangkas. Akibatnya, banyak kebutuhan primer?termasuk pendidikan dan kesehatan?yang terabaikan. Bila ini dibiarkan, bukan mustahil di masa depan bakal timbul generasi yang hilang (the lost generation), generasi yang kualitasnya tak memadai. Nah, program JPS dirancang untuk mencegah agar skenario buruk ini tak terjadi. Tapi, pada pelaksanaannya, JPS tak terlalu mulus seperti niatnya. Banyak yang menyoroti JPS dengan rasa curiga. Teorinya, JPS mestinya diarahkan untuk menyediakan kebutuhan primer masyarakat miskin yang paling rentan krisis. Agar para duafa tak terperosok lebih dalam, bentuk program bisa berupa beasiswa sekolah, bantuan pemeliharaan kesehatan, atau pengamanan penyediaan pangan. Ternyata, JPS versi Indonesia digelar jauh lebih luas ketimbang teori. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) merancang program extended version. Ada empat prioritas: peningkatan ketahanan pangan, perlindungan sosial?khususnya pelayanan kesehatan dan pendidikan?penciptaan lapangan kerja produktif, serta pengembangan usaha kecil dan menengah berbasis ekonomi kerakyatan. Di mata Adrian Panggabean, staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, perluasan ini membuat JPS jadi rumit dan rawan kebocoran. "Tidak ada batasan yang gamblang," katanya. Setiap proyek, misalnya, dengan gampang bisa digolongkan sebagai pengembangan usaha kecil dan menengah untuk mendukung ekonomi kerakyatan. Maklum, sampai kini, belum jelas bagaimana konsep ekonomi yang memihak rakyat ini. Erna Witoelar, aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), menuding kerumitan JPS berawal dari tak jelasnya sasaran. Siapa yang berhak menerima JPS? Di mana mereka tinggal? Ini sering tak terjawab. Pemerintah yang terbiasa dengan pendekatan terpusat, dari atas ke bawah, agaknya tak punya pengalaman mendeteksi penduduk miskin yang pas dan tepat sebagai sasaran. Salah satu contoh kesemrawutan sasaran JPS terlihat berikut ini. Tahun lalu, konsorsium Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia mencairkan bantuan Rp 1,4 triliun untuk mencegah ledakan siswa putus sekolah di masa krisis. Rencananya, dana ini disalurkan kepada 4 juta siswa di 130 ribu sekolah?SD, SMP, dan SMU?setanah air. Persoalan muncul saat penetapan kriteria siswa mana yang berhak menerima beasiswa. Orang berdebat, tapi jawabannya tetap buntu. Akhirnya, pemilihan target diserahkan sepenuhnya kepada pengurus sekolah bersangkutan. Para kepala sekolah pun bingung. Ketimbang susah, sebagian memutuskan bahwa beasiswa hanya untuk siswa berprestasi. Tentu saja ini keputusan yang janggal. Tak semua siswa berprestasi punya orang tua yang rentan krisis. Lalu, apa akibatnya jika JPS tak hinggap ke sasaran yang tepat? Bisa dibayangkan. Pertama, JPS menjadi mubazir lantaran dinikmati mereka yang tak membutuhkannya. Kedua, tingkat penyerapan dananya menjadi rendah. Tahun lalu, dana JPS dianggarkan Rp 17,8 triliun, tapi baru terserap rata-rata 30 persen. Gunawan Sumodiningrat, Deputi Bidang Ekonomi Bappenas, memang mengakui kelambatan penyerapan JPS ini. Tapi, katanya, itu tak bisa dihindari. Soalnya, anggaran pendapatan dan belanja negara tahun lalu diubah sampai empat kali dan pemerintah masih mencari pola penyaluran bantuan yang paling tepat. Lagi pula, pejabat penyalur lebih memilih sikap hati-hati untuk menghindari tudingan bahwa dana JPS dicairkan untuk para konco saja. Hasilnya, ya itu tadi, JPS jadi lambat. Selain menyangkut soal tak jelasnya targeting, sorotan kritis juga mengarah ke teknis pencairan JPS. Dengan jajaran birokrat yang bermental korup dan bertele-tele, gampang diduga, JPS berpeluang besar menjadi sumber kolusi dan korupsi baru. Pencairan dana yang langsung diterjunkan ke desa-desa pun tak bebas dari kemungkinan itu. Persoalannya ada pada tahap seleksi. Cerita dari sebuah desa di Sukabumi, Jawa Barat, berikut ini bisa memberikan gambaran kejanggalan penyaluran JPS. "Yang diundang rapat cuma orang-orang tertentu," kata Suyatman, tokoh masyarakat Desa Palasari Hilir, Kecamatan Parungkuda, Sukabumi. Hasil rapat, dana JPS Palasari digunakan untuk pengerasan jalan. Padahal, menurut Suyatman, proyek pengerasan jalan itu tak terlalu dibutuhkan. "Kami butuh pekerjaan dan sembako (sembilan bahan pokok)," katanya. Lo, bukankah proyek pengerasan jalan ditujukan untuk menyerap tenaga kerja? Ternyata tidak sepenuhnya begitu. Proyek tersebut lebih banyak melibatkan tenaga kerja dari luar desa. Warga Palasari yang direkrut hanya 30 orang. Itu saja? Tentu tidak. Ada lagi temuan Partai Amanat Nasional (PAN), yang terjadi di Sukabumi juga. "Kalau tak ada hubungannya dengan pejabat desa, proposal JPS tak akan lolos," kata Santoso, Wakil Sekretaris Jenderal PAN. Malah, beberapa birokrat desa tanpa sungkan minta syarat politis. Misalnya, dana bisa cair asalkan penerima bantuan bisa membawa sejumlah orang untuk menyukseskan kegiatan Golkar. Sialnya, tak cuma isu money politics yang menghantui JPS. Pejabat yang tak terbiasa mendengar keinginan rakyat pun pada kikuk dan canggung. Di Sukabumi pula, menurut pantauan PAN, tak sedikit pejabat desa yang bingung menetapkan mana proyek yang dibutuhkan masyarakat. Akibatnya, banyak proposal "aneh" yang lolos seleksi. "Ada program memindah pasar. Ada pula proposal pembelian mobil untuk sarana operasional proyek," kata Santoso. Nah, kalau betul begitu, di mana letak pengaman sosialnya? Kecanggungan birokrat menangani JPS, menurut Emil Salim, yang kini bergiat di LSM Gema Mandiri, bisa diimbangi bila pemerintah mau sepenuh hati menggandeng LSM. Tak bisa dimungkiri, LSM lebih punya jaringan dan jam terbang dalam mengelola partisipasi masyarakat bawah. Sebagai bukti, Emil mencatat, dalam tiga bulan terakhir, ada 138 proyek JPS versi LSM dengan dana Rp 15 miliar yang berjalan lancar. Sayangnya, LSM baru dilibatkan dalam tahap pengawasan, yakni dengan membentuk Tim Pengendali JPS, yang diketuai Mar'ie Muhammad. Padahal, "Titik rawan JPS, yakni tahap penyaluran dan pelaksanaan, sepenuhnya dipegang pemerintah," kata Emil. Porsi pengawasan LSM pun dikhawatirkan tak berjalan lancar. Soalnya, daerah cakupan dan jenis proyeknya teramat luas. Padahal sumber daya LSM juga terbatas. Idealnya, JPS dilaksanakan oleh jajaran birokrasi daerah yang punya respons tangkas. Syarat-syarat ini memang sulit dipenuhi. Kalau solusinya tidak segera ditemukan, bisa-bisa JPS berubah menjadi "jaring pengganggu sosial". Wah. Mardiyah Chamim, Darmawan Sepriyossa, Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus