DALAM bahasa Inggris, crucible adalah wadah terbuat dari keramik yang dipakai untuk memanaskan "unsur" pada suhu yang sangat tinggi. Berada dalam sebuah crucible berarti menghadapi cobaan yang sangat berat. Kata tenung punya implikasi yang sama. Bila seseorang terkena tenung, sebenarnya ia pun masuk cobaan. Ia dikuasai kekuatan luar dan kehilangan kontrol atas dirinya. Jadi memang tepat, The Crucible karya Arthur Miller disadur Teater Koma menjadi Tenung sebagaimana yang dipentaskan di TIM (24 November sampai 5 Desember 1992). Witch hunt, wanita yang dianggap tukang sihir, diburu dan dibakar di alun-alun memang terjadi di Kota Salem, Massachusetts, pada tahun 1692. Saat itu gereja Kristen Puriten merasa terancam akan kehadiran kekuatan tenung. Ini adalah pertarungan klasik antara yang sakral dan yang profan -- sesuatu yang berada di luar ajaran gereja. Ia juga merupakan pertarungan antara kekuatan maskulin gereja dan kekuatan feminin akar padi (grass-roots) yang bersifat lebih mengasuh dan memelihara, ketimbang kekuatan gereja yang opresif. Kata witch, yang semula berarti dukun wanita yang bijak-pandai (wise woman), didistorsi sehingga mempunyai arti dan kesan yang tidak wajar, jahat, dan menyesatkan. Oleh gereja kekuatan mistik diberi label profan, anti-Tuhan, pengikut setan. Padahal, kekuatan itu sebenarnya dari dulu punya akar dalam masyarakat dan nilai spiritual sendiri. Versi politik modern dari dikotomi sakral-profan ini jelas lebih sekuler: ideologi dominan diberi nilai yang sakral. Ia hampir mutlak sebagai patokan bagi sistem nilai yang berada di luar ideologi tersebut yang diberi nilai profan. Dalam bahasa kontemporer: subversif. Dan dengan demikian perlu dibasmi. Istilah witch hunt sudah menjadi pemeo untuk upaya memfitnah atau mencemarkan nama dan hidup seseorang. Ia mempunyai implikasi politis yang sangat kuat karena berniat menyingkirkan unsur-unsur yang tidak sejalan dengan kekuatan politik yang dominan. Witch hunt adalah gejala yang umum bila suatu masyarakat, atau lebih khusus penguasa dalam masyarakat, merasa terancam eksistensinya. Dalam drama Arthur Miller ini, konsep Tuhan adalah metafora untuk berbagai ideologi -- apakah itu agama, komunisme, fasisme, rasisme, ataupun ideologi negara, yang dimanipulasi demi kepentingan mempertahankan hegemoni suatu kekuasaan. Tokoh Wakil Residen adalah perwakilan negara yang harus menjaga status quo dan stabilitas, yang tak bisa memberi pengampunan kepada Proktor dan Lisbet, sepasang suami-istri petani yang nyata-nyata tidak bersalah dalam kegiatan tenung. Sedangkan Pendeta Paris adalah perwakilan gereja yang korup dan pengecut, yang lebih mementingkan tempat lilin emas daripada penghayatan spiritual ajaran gereja. Ia adalah tokoh yang memberi prioritas pada bentuk dan formalitas ketimbang hakikat. Dalam sejarah Amerika kontemporer, witch hunt modern terjadi pada awal tahun 1950-an dengan gejala McCarthyisme. Bukan suatu kebetulan bahwa karya Miller ini ditulis dan dipentaskan tahun 1953 dan mendapat sambutan hangat karena kesejajaran kisah The Crucible dengan isu senator McCarthy. Isu ini digambarkan pula dalam film Guilty by Suspicion (dibintangi Robert de Niro). Dalam pola pengadilan witch hunt, tertuduh tidak pernah bisa lolos. Bahkan seorang nasionalis bisa saja diberi cap "pengacau" atau "komunis" bila ini menguntungkan penguasa. Orang saleh pun bisa tiba-tiba menjadi "murtad", bila penguasa menentukan demikian. Tokoh Proktor adalah penganut Kristiani yang cukup baik, tetapi jarang ke gereja dan tidak membaptiskan anaknya yang ketiga karena tidak menyukai pendeta Paris yang munafik itu. Ini dijadikan dakwaan yang mematikan karena Paris adalah wakil gereja: menghina Paris berarti menghina gereja. Lisbet, istri Proktor, dituduh terlibat kegiatan tenung akibat fitnahan Bigael, bekas pembantu mereka. Di rumah itu memang pernah ditemukan boneka dengan jarum menancap di perutnya. Tapi boneka itu milik Maria, pembantu keluarga Proktor. Maria yang semula lugu itu pun tiba-tiba juga berbalik menuduh majikannya, demi keselamatan dirinya. Celakanya, Proktor memang pernah berzina dengan Bigael ketika rumah tangganya sedang kurang mulus -- suatu "kelalaian" manusiawi. Demi menyelamatkan istrinya, Proktor rela mengorbankan nama baiknya dengan mengakui affair-nya dengan Bigael. Ia bahkan bersedia mengaku terlibat kegiatan tenung. Tetapi ketika ia harus menandatangani pernyataan terlibat, ia tidak bersedia dan akhirnya digantung. Bagi penguasa, pengakuan lisan saja tidak cukup, harus ada yang tertulis. Karena inilah yang akan menjadi bukti sejarah dan legitimasi. Juga sering kali tak penting apakah seseorang itu bersalah. Yang penting adalah efek menghukum seseorang yang didakwa bersalah, untuk menunjukkan: "lihatlah, jangan berani-berani melawan, inilah akibat yang akan kalian tanggung". Drama Tenung adalah gambaran pola tragedi universal manusia yang sifatnya transhistoris dan transkultural. Kecongkakan kekuasaan, keserakahan dan kepengecutan manusia, kemunafikan, manipulasi dan pengkhianatan, sampai saat ini tampaknya masih menang di atas perjuangan untuk kebenaran dan keadilan, serta keutuhan harkat manusia. Tragedi Proktor adalah tragedi kita semua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini