RASANYA tiada guna kuliah ke negeri orang bila ijazahnya tak diakui di negeri sendiri. Inilah yang kini dikhawatirkan ratusan mahasiswa Malaysia yang tengah kuliah di Fakultas Tarbiyah IAIN Indonesia. Masa depan mereka terasa buyar setelah Jabatan Pengkhikmatan Awam (JPA) -- sebuah badan yang bertugas mengesahkan ijazah dari luar negeri -- tak lagi mengakui lulusan Fakultas Tarbiyah IAIN Indonesia. "Kami teraniaya jadinya," kata Nik Mohammad Noor, mahasiswa Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogya, jurusan Bahasa Arab. "Padahal di sini suasana keilmuannya kondusif. Kalau beda pendapat soal mazhab itu bisa diterima," kata Nik yang juga Wakil Ketua Ikatan Mahasiswa Malaysia di IAIN Yogya. Keluhan serupa kabarnya juga merebak di antara sejumlah orang tua mereka di Malaysia. Sampai-sampai ada wali mahasiswa yang mengirimkan surat kaleng ke alamat Kementerian Pendidikan di negeri jiran, Indonesia, itu. Beberapa alumni Tarbiyah IAIN yang kini telah kembali ke negerinya juga sangat menyayangkan surat keputusan itu. "Percuma saya kuliah lima tahun kalau nanti gaji saya dibayar seperti lulusan sekolah menengah agama," kata Mohammad Zain, alumni Tarbiyah IAIN Ar Raniry, Banda Aceh. Keluhan serupa diungkapkan sejumlah alumni Fakultas Tarbiyah IAIN yang masih menganggur. "Ijazah kami tak diakui JPA," tulis seorang alumni dalam tabloid Harakah di Kuala Lumpur. Sementara itu Persatuan Kebangsaan Pelajar-pelajar Malaysia di Indonesia (PKPMI) juga mendesak agar JPA meninjau kembali keputusan itu. Ini tuntutan PKPMI yang diputuskan dalam rapat tahunannya -- juga dihadiri utusan JPA -- di Jakarta dua pekan lalu. Keputusan JPA yang mengundang kontroversi itu sebenarnya belum berlaku, kendatipun kabarnya telah ditandatangani oleh Yusuf Ayob, deputi direktur JPA, awal Agustus lalu. Keputusan ini baru diberlakukan tahun 1993. Mahasiswa semester tiga tahun ini terbebas dari ketentuan baru itu. Artinya, "Tak berlaku bagi para mahasiswa yang kini tengah kuliah di sejumlah IAIN di Indonesia," kata Datuk Abang Abu Bakar Mustapha, Menteri di Jabatan Perdana Menteri Malaysia. Datuk Abang Abu Bakar sendiri, seperti dikutip harian Berita Minggu 22 November lalu, mengungkapkan, "JPA menemukan ada kelemahan dalam sistem pendidikan di IAIN." Pendidikan Tarbiyah di IAIN kurang memenuhi standar yang digariskan. "Pengkajiannya dicampuradukkan dengan mata kuliah yang tak relevan dengan kebutuhan kami," katanya. Datuk memang tak merinci kelemahan itu. Yang pasti, katanya, putusan itu dikeluarkan setelah JPA mengirim tujuh orang utusan untuk secara langsung menilai 14 IAIN yang ada di Indonesia. Haji Zainal Abidin Kadir, Ketua Pengarah Bagian Hal Ikhwal Islam di kantor Perdana Menteri, menjelaskan bahwa lulusan Tarbiyah dianggap tak menguasai 'ulumul Quran dan bahasa Arab. Di samping, katanya kepada Ahmad Latif dari TEMPO di Kuala Lumpur, "tenaga pengajar akan kami cetak sendiri sesuai dengan tuntutan kurikulum baru. " Sebelumnya sarjana Tarbiyah memang mendapatkan perlakuan khusus. Setiap lulusannya langsung ditempatkan sebagai tenaga pengajar sesuai dengan keahliannya. Baik jurusan Pendidikan Agama Islam, Bahasa Arab, maupun jurusan tadris, seperti Bahasa Inggris, Fisika, dan IPA. "Tanpa melalui kursus setahun seperti sarjana dari fakultas lain," kata Zainal Abidin. Ketika itu pemerintah Malaysia memang membutuhkan banyak tenaga pendidikan. Namun, dengan keluarnya SK pencabutan pengakuan itu tentu bakal merepotkan. Zainal mengaku sudah menjelaskan kepada sejumlah mahasiswa Malaysia yang kuliah di Tarbiyah IAIN. Mereka disarankan pindah ke fakultas lain. Penjelasan ini diberikan ketika ia mengunjungi tujuh IAIN, seperti Jakarta, Yogya, Bandung, dan Aceh. Quraish Shihab, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Kamal Muchtar, Pembantu Rektor I IAIN Sunan Kalijaga Yogya, menanggapi pencabutan pengakuan itu dengan ringan. "Itu hak mereka," kata Kamal Muchtar, ahli perbandingan mazhab itu. Tiap negara tentu punya sistem sendiri-sendiri. "Tak mustahil yang dibutuhkan Malaysia berbeda dengan yang kita butuhkan," tambah Quraish Shihab. Ia mengambil contoh seorang dokter lulusan Eropa yang belum mendalami penyakit-penyakit tropis. Maka dokter itu perlu menyesuaikan diri di Indonesia. "Karena kebutuhan di sini berbeda dengan di sana," katanya. Sedangkan menurut Abdul Jabbar Adlan, Pembantu Rektor I IAIN Sunan Ampel Surabaya, Malaysia memandang pendidikan dan pengajaran bukan satu disiplin ilmu yang membutuhkan jurusan. "Itulah alasan mereka yang sebenarnya menolak Tarbiyah," katanya. Namun, menurut Kamal Muchtar, mutu mahasiswa Malaysia yang kuliah di IAIN pun perlu dipertanyakan. Mereka itu titipan Departemen Agama, sehingga masuk IAIN tanpa tes seperti mahasiswa lokal. Jadi, katanya, janganlah menuduh mutu Tarbiyah merosot. Sebab, katanya, dari lima fakultas di IAIN, Tarbiyah termasuk yang favorit, paling banyak peminatnya dibandingkan dengan empat fakultas lainnya. Di IAIN Yogya, misalnya, pendaftarnya rata-rata empat kali lipat dari 300 bangku yang tersedia. Data di Departemen Agama pun menunjukkan, dari 400-an mahasiswa Malaysia yang kuliah di IAIN, sepertiganya memilih Tarbiyah. Dua tahun terakhir bahkan separuh mahasiswa baru Malaysia memilih Tarbiyah. Agus Basri, Moch. Faried Cahyono, Wahyu Muryadi, dan Kelik M.N Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini