SEPASANG angsa putih dilepas di tengah Sungai Batanghari. Syahdan, sejoli angsa itu naik ke satu sisi, dan si betina bertelur di sana. Sesuai dengan sabda sri baginda, di situ kemudian dibangun sebuah kota, lengkap dengan istana raja, dan dijadikan pusat Kerajaan Melayu. Situs itu, menurut legenda, kini berubah menjadi kota Jambi. Legenda ini tentu tak pernah mendapat pengesahan ilmiah. Tapi sah-sah saja kalau pemerintah daerah setempat memanfaatkannya sebagai lambang daerahnya. Tanpa menyoal dongeng angsa itu, sekitar 200 sejarawan dan arkeolog berkumpul di Jambi, 6-9 Desember silam, dalam sebuah seminar. Mereka membahas hubungan Jambi dan Kerajaan Melayu tua. Melayu kuno tentu bukan dongeng. "Tapi kita harus mengakui bahwa sejarah Melayu tua itu masih gelap," ujar Prof R. Soekmono, arkeolog Universitas Indonesia. Keterangan tertulis yang ada, menurut Soekmono, semata-mata bersandar berita yang ditulis oleh orang-orang Cina. "Catatannya sulit ditafsirkan, sehingga gambarannya tak menentu," tambahnya. Kerajaan Melayu mulai disebut-sebut dalam berita Cina pada 644-645 Masehi. Pada tahun itu datang utusan kerajaan Mo-lo-yeu ke daratan Tiongkok untuk menyetor upeti. Daerah Mo-lo-yeu digambarkan ada di bagian selatan Sumatera. Pada masa itu tercatat adanya hubungan dagang dan politik antara Dinasti T'ang di Cina dan penguasa Melayu. Musafir Cina, I-tsing, mencatat pula Kerajaan Melayu. Dalam perjalanannya ke India, I-tsing sempat mampir di Sriwijaya selama enam bulan, dan di Kerajaan Melayu dua bulan, dan sebelum ke Kedah (Malaysia) dan India. Melayu dan Sriwijaya disebutnya sebagai pusat penyebaran Budha. Bahwa lokasi Kerajaan Melayu itu diduga ada di tepi Sungai Batanghari memang banyak bukti pendukungnya. Lembah Batanghari kaya akan situs purbakala. Arkeolog Bambang Budi Utomo, dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Arkenas), dalam seminar itu menunjukkan sedikitnya ada 10 situs di sepanjang Batanghari. Salah sebuah situs penting yang disebut Bambang adalah Situs Muara Jambi, 21 km dari Kota Jambi ke arah hilir Batanghari. Di situs seluas 10 km2 itu terdapat 33 buah reruntuhan candi Budha. Lantas, di Solok Sipin, Kodya Jambi, ditemukan reruntuhan tembok bangunan, arca Budha, dan makara. Dilihat dari ukurannya, menurut Bambang, patung kepala binatang yang biasa menempel di dinding itu berasal dari bangunan besar buatan tahun 1064. Situs purbakala lain ada di Koto Kandis, 100 km dari Jambi ke arah hilir. Di situ ditemukan arca perunggu dan gerabah sisa-sisa permukiman masa lalu. Tak jauh dari Koto Kandis, ada situs Muara Kumpeh yang menyimpan sisa-sisa perahu, keramik, dan tembikar. Situs purbakala ini bahkan bisa dijumpai di hulu Batanghari, Padang Roco di Kabupaten Sijunjung (Sum-Bar). Teknologi modern foto udara ikut pula membangun kesimpulan bahwa Batanghari merupakan pusat Kerajaan Melayu. Interpretasi atas foto udara membuktikan, di muara Batanghari ada tiga bekas pulau -- yang kini menyatu dengan daratan Sumatera. Tiga pulau itu disebut oleh sumber Cina sebagai pintu gerbang ke Kerajaan Melayu. Bahwa Jambi yang dianggap menjadi ibu kota kerajaan, memang ada alasannya tersendiri. Dalam makalahnya, Bambang mengatakan bahwa ada sumber Cina yang mencatat, tahun 853 utusan raja Chan-pi datang menghadap kaisar dengan membawa oleh-oleh kacang berbentuk bulan sabit. Kata Chan-pi itu kemudian ditafsirkan sebagai Jambi. Klop. Sepak terjang Kerajaan Melayu tak jelas. I-tsing mencatat, sepulang dari India, setelah 20 tahun, singgah lagi ke Mo-lo-yeu. Jambi telah berubah menjadi Sriwijaya. Namun Kerajaan Melayu tak rontok. Dia tetap bertahan, dan muncul lagi menjadi kekuatan besar saat Sriwijaya loyo akhir abad XII. Sempat pula Melayu bersekutu dengan Kerajaan Singosari di Ja-Tim, untuk menghadapi ekspedisi militer Cina ke Asia Tenggara. Kertanegara, raja Singosari, mengirim pasukan untuk menjaga Melayu, 1275. Sebagai lambang persekutuan, Kertanegara mengirim patung Amoghapasa. Patung ini ditemukan di Padang Roco, Sum-Bar, di hulu Batanghari. Temuan ini menunjukkan bahwa ibu kota Melayu telah hijrah ke hulu sungai. Tapi kebesaran Melayu ini tak panjang, Majapahit keburu kuat dan menundukkannya. Pada babak selanjutnya, menurut spekulasi, Kerajaan Melayu itu pindah lagi, lebih masuk ke wilayah Sum-Bar dan ganti nama menjadi Pagaruyung. Namun Prof Soekmono tak terlalu yakin dengan rekonstruksi sejarah yang didasari berita Cina itu. "Seperti halnya sumber asing, berita Cina itu sulit dipakai sebagai pegangan," ujarnya. Berita Cina itu, misalnya, tak membedakan Melayu sebagai etnis dan Melayu kerajaan. Perkembangan etnis Melayu yang luas di Sumatera dan Malaysia semenanjung, menurut Soekmono, mengaburkan tesis Kerajaan Melayu di Batanghari. Isi berita Cina itu sering pula tak konsisten. Berita I-tsing, misalnya, menyebutkan pelayaran dari Sriwijaya (Palembang) ke Melayu (Jambi) dan dari Melayu ke Kedah sama-sama 15 hari. "Padahal jarak Jambi ke Kedah lebih jauh," ujar Soekmono. Lagi pula, I-tsing mencatat pelayaran dari Sriwijaya ke Melayu dan Melayu ke Kedah menempuh arah yang berbeda. Padahal, menurut Soekmono, arah kedua pelayaran itu relatif sama. Belum lagi soal istilah yang kacau. Ada Kan-t'o-li dan San-fo-tsi yang, setelah diotak-atik sejarawan, punya arti sama untuk Palembang. Agaknya perlu banyak penemuan untuk merekonstruksikan sejarah Kerajaan Melayu tua. Tapi, seperti terlihat dalam seminar di Jambi itu, temuan-temuan baru masih harus dicari. Hasan Syukur dan Putut Trihusodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini