Tulisan "Trobadur Aceh dengan Beribu Suara" (TEMPO, 23 Maret 1991, Hiburan) sangat menarik perhatian. Bukan saja karena keunikan jenis kesenian ini, yang oleh TEMPO disejajarkan dengan Trobadur Prancis. Tetapi yang lebih menarik dan sekaligus memprihatinkan adalah makin hilangnya peninggalan budaya tersebut dengan semakin senjanya Tgk. Adnan PMTOH, 60 tahun. Sementara itu, belum ada kaderisasi oleh Pemda Aceh untuk melahirkan Tgk. Adnan Junior. Padahal, trobadur ini sangat efektif untuk media transformasi sosial dan pesan pembangunan, ibarat kesenian wayang dalam masyarakat Jawa. Saya teringat keluhan Tgk. Adnan PMTOH pada Juni 1989, ketika kami sekamar di Hotel Panorama, Tapaktuan, Aceh Selatan, dalam mengikuti seminar kebudayaan di sana. Beliau sangat ingin mewariskan kemampuannya kepada para orang muda, tetapi belum terlaksana sampai saat ini karena tidak ada yang mensponsori, dalam bentuk kursus terbatas, misalnya. Kalau Prof. John Seger, arkeolog AS, dalam buku History of Aceh Today menjulukinya "trobadur dunia", lalu mengapa Pemda dan pengusaha Aceh tidak tergugah? Saya kira Yayasan Malem Putra perlu mensponsori niat Tgk. Adnan itu, dengan memberi bea siswa untuk murid-muridnya dalam bentuk kursus. Dewasa ini, yayasan yang diprakarsai Ibrahim Risjad dan Ibrahim Hasan tersebut telah banyak memberi beasiswa untuk program S-2 dan S-3 bagi dosen Universitas Syah Kuala. Saya rasa beasiswa itu juga tepat untuk Tgk. Adnan yang, menurut saya, juga seorang "doktor" yang perlu dibantu menurunkan keahliannya yang tiada duanya. T. SYAHRUL REZA, S.E. Jalan Poncol Jaya 26 Jakarta 12710
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini