Begitu kagumnya Paijo pada Om Slamet Djabarudi, sampai-sampai setelah membaca tulisan "PBB dan PLO" (TEMPO, 16 Februari 1991, Kolom) ia bermimpi bertemu Nico Sukarto. "Wah, apa kabar, Om Sukarto? Bagaimana dengan tugas Anda? Bagaimana pendapat Anda tentang Perang Teluk setelah mendengar pidato Presiden Semak-semak?" tanya Paijo mengawali pembicaraan, seolah-olah ia sudah begitu mengenal Sukarto. "Presiden Bush maksud Anda, Dik Paijo?" tanya Sukarto tanpa menjawab pertanyaan Paijo. Mendapat jawaban seperti itu Paijo sedikit terkejut. "Ya... ya... dia, dan saya telah mengindonesiakannya," Paijo tergagap menjawabnya. Sukarto tersenyum sambil menepuk bahu Paijo. "Untuk nama diri atau sesuatu yang dipakai sebagai nama diri, sebaiknya Dik Paijo tak perlu repot-repot mengindonesiakannya. Bahkan kalau bisa kita tulis dan ucapkan seperti ejaan aslinya. Dalam mengindonesiakan kata-kata asing, kita harus jeli apakah kata-kata itu digunakan sebagai nama diri atau tidak. Bila ya, apakah kita ikut memiliki atau terlibat di dalamnya, atau tidak. Kita bisa menamakan PBB sebagai ganti United Nations, KMB sebagai ganti Round Table Conference, dan lain-lain karena kita terlibat di dalamnya. Coba Adik bandingkan, akan Adik beri nama apakah Himalaya, Gangga, Honda, Suzuki, Challenger, dan lain-lainnya? Di samping sulit cari padanannya, juga rasanya kurang etis malah bisa-bisa mengubah hak paten orang lain." "Misalnya?" tanya Paijo kurang mengerti. "Coba Dik Paijo rasakan, bagaimana bila Merpati Nusantara dinamakan oleh orang Inggris, Pigeon Nusantara Airplane? Di samping lucu, juga nama Pigeon Nusantara tidak terdaftar dalam satu instansi pun," kata Sukarto menjelaskan. "Lalu bagaimana dengan gagasan Anda untuk mengindonesiakan ASEAN menjadi ABBAT... oh, yang itu saya mengerti, tapi bagaimana dengan PLO menjadi OPP, misalnya. Tidakkah itu mengubah hak paten orang lain?" tanya Paijo pula. Kini, sebaliknya, Sukarto yang sedikit terkejut. Tapi bukan dia kalau tidak bisa menemukan jawabannya. Hanya saja jawaban itu tak bisa diungkapkan tergesa-gesa karena bisa menimbulkan masalah yang lebih panjang. Menunggu petunjuk? Tak perlu lagi baginya, karena ia melihat tiga detik lagi jam weker akan berbunyi membangunkan Paijo untuk segera berangkat ke ladang. Y.S. EDI Sekolah Tinggi Bahasa dan Sastra Malang -- Jawa Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini