Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada lagi alasan bagi pemerintah untuk mengizinkan impor limbah, terutama plastik, karena ancamannya terhadap kesehatan manusia kian nyata. Fakta terbaru berupa kontaminasi racun pada telur ayam di Jawa Timur seharusnya menjadi alasan kuat bagi pemerintah mencabut aturan yang memberi peluang masuknya sampah plastik dari luar negeri secara ilegal.
Hasil riset sejumlah lembaga pro-lingkungan menyuguhkan data yang mengerikan. Para peneliti mengidentifikasi telur ayam yang dilepasliarkan di Desa Tropodo, Sidoarjo, dan Desa Bangun, Mojokerto, Jawa Timur, tercemar 16 jenis bahan beracun. Satu di antaranya dioksin, zat pemicu penyakit berbahaya bagi manusia, yang muncul dari asap pembakaran plastik. Rupanya, di kawasan tersebut sampah plastik dipakai untuk bahan bakar industri dan asapnya meracuni tanah tempat ayam mencari makanan.
Temuan ini berkorelasi dengan hasil investigasi Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) pada Juli lalu, yang mengindikasikan Jawa Timur sebagai “penampungan” sampah plastik selundupan. Limbah plastik bercampur dengan kertas bekas yang diimpor untuk bahan baku 12 pabrik kertas di wilayah tersebut. Jumlahnya bakal makin tinggi seiring dengan bertambahnya permintaan limbah kertas untuk industri, yang di Jawa Timur saja mencapai 35 persen tahun lalu.
Impor limbah plastik sebetulnya diizinkan dengan batasan tertentu. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengizinkan limbah plastik dari luar negeri masuk dalam bentuk cacahan bersih, tidak terkontaminasi bahan berbahaya dan beracun (B3), tersortir, tidak bercampur limbah lain, serta harus diolah menjadi produk akhir. Namun, dalam praktiknya, sampah plastik yang masuk tidak berbentuk scrap atau cacahan, bercampur limbah basah, bahkan diduga mengandung bahan B3. Sampah-sampah itu pada kenyataannya tak bisa diserap industri.
Fakta ini menjadi indikasi bahwa negara asal sampah, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Jerman, menjadikan Indonesia sebagai tempat pembuangan limbah. Kecenderungan ini menguat setelah dua tahun lalu Cina menutup rapat celah impor limbah, sehingga negara-negara maju mencari destinasi lain untuk membuang sisa aktivitas industrinya. Gayung bersambut tatkala ada segelintir pihak di Tanah Air yang bersedia menampung limbah berbahaya tersebut, tentu demi memperoleh keuntungan.
Sudah saatnya pemerintah merevisi atau bahkan mencabut aturan impor limbah. Kasus masuknya sampah plastik bercampur kertas bekas menjadi bukti lemahnya pengawasan aparat pabean dan otoritas lain di titik-titik masuk barang impor. Sepanjang peluang impor dibuka, selama itu pula ada ancaman limbah berbahaya bocor ke ruang publik.
Kebutuhan plastik bekas untuk material industri sebetulnya bisa tertutupi jika pemerintah serius mengelola limbah rumah tangga domestik. Sebagai gambaran, data Sustainable Waste Indonesia pada 2017 menyebutkan Indonesia menghasilkan 6,5 juta ton sampah per hari. Sebanyak 14 persen di antaranya atau 910 ribu ton berupa plastik dan 9 persen atau 585 ribu ton berupa kertas. Jauh lebih tinggi dari kebutuhan industri kertas yang mencapai 6,4 juta ton per tahun atau sekitar 17 ribu ton sehari.
Hanya, industri tak bisa menyerap limbah lokal lantaran sebagian besar berada di tempat pembuangan yang tak dikelola dengan benar. Cuma 7 persen yang sudah didaur ulang. Jika pemerintah serius menerapkan sistem pengolahan sampah kertas dan plastik yang memadai, tak perlu lagi mendatangkan sampah—yang ternyata juga beracun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo