Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANGKAPAN Fuad Amin Imron, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bangkalan, Madura, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menjadi titik awal membongkar kejahatan serupa di tempat lain. Modus korupsi pemberian izin kontrak pembelian minyak dan gas yang dilakukan Fuad sangat mungkin terjadi di pelbagai daerah di Indonesia. Langkah KPK membongkar kasus ini patut didukung. Yang mereka hadapi adalah raja-raja kecil: menggunakan kekuatan uang dan jabatan untuk membungkam penegak hukum di daerahnya.
Modus Fuad, politikus Partai Gerindra, tergolong klise. Saat menjadi bupati, pada 2007 dia memberi izin pembelian migas dari Pertamina ke PT Media Karya Sentosa, yang berkongsi dengan PD Sumber Daya, perusahaan pemerintah Bangkalan. Kerja sama ini sah karena, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, perusahaan daerah berhak mendapat bagian kontrak 10 persen dari total pengelolaan migas. Pola yang disebut participating interest ini bertujuan baik, yakni agar daerah ikut menikmati bonanza minyak yang bersumber dari wilayahnya.
Hak kontrak inilah yang dimainkan Fuad. Meski PT Media Karya tak juga membangun jaringan pipa dan gas seperti disyaratkan, karena suap, kontraknya terus-menerus diperpanjang. KPK menduga gratifikasi itu berlangsung sejak 2007.
Selama menjadi bupati dua periode (2003-2008 dan 2008-2013), Fuad tak hanya menumpuk kekayaan, tapi juga membangun dinasti. Bupati setelah Fuad adalah Makmun Ibnu Fuad, anaknya sendiri. Ada dugaan politik uang bermain sehingga sang anak terpilih menjadi bupati pada 2013. Fuad juga mempertahankan kekuasaannya dengan memasang kroninya di banyak posisi penting, membayar lembaga nonpemerintah, juga tokoh masyarakat, agar setia kepadanya. Tak mengherankan bila di daerahnya Fuad mendapat julukan "Kanjeng", penguasa kerajaan.
Dengan pengaruh begitu besar, Fuad menjadi raja yang tak tersentuh. Ia pernah dilaporkan memalsukan ijazah, menjadi tersangka, tapi belakangan penyelidikan dihentikan begitu saja. Ia pernah dilaporkan menerima suap Rp 1,3 miliar untuk proyek pembebasan lahan. Ini pun tak pernah berlanjut. Kecurigaan akan hartanya yang tersebar di mana-mana akhirnya hanya menjadi gunjingan yang tak pernah diusut.
Dalam kasus korupsi seperti ini, peran KPK teramat penting. Penegak hukum di daerah tak banyak bertindak, entah karena takut entah sudah "masuk angin". Bahkan, kalaupun tersangka korupsi dapat digelandang ke pengadilan korupsi, hukumannya tak pernah maksimal atau malah bebas. Itu sebabnya, dalam kasus Bangkalan ini, Fuad dan kroninya yang terlibat harus diadili di Jakarta.
Langkah KPK mengusut kasus serupa di berbagai daerah pun mesti terus dilakukan. Ada puluhan kontrak pembelian migas yang rawan dikorupsi. Para penggarong duit migas umumnya bekerja sama dengan badan usaha milik daerah pengelola 10 persen blok migas tapi tak punya kemampuan menjalankan bisnis. Kewajiban bekerja sama dengan swasta pun menjadi cara mudah mengakali kontrak. Lubang inilah yang kerap dimanfaatkan orang seperti Fuad.
Menjalankan tugas berat itu, KPK mesti memperbanyak penyidiknya. Anggaran Komisi juga harus ditambah. KPK harus menggandeng Tim Reformasi Tata Kelola Migas untuk mendapatkan data tentang kontrak migas bermasalah di berbagai daerah. Penguasa daerah pencuri duit minyak dan gas harus dilibas sampai ke akar-akarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo