KOTA Ho Chi Minh, Vietnam, pertengahan Januari. Seorang wanita penjaja kaus oblong di pinggir Jalan Nguyen Hue mengulurkan kaus bertuliskan "Saigon lives forever". Sambil tersenyum lebar, ia menggarisbawahi ketiga kata itu dengan telunjuknya. "Saigon lives forever," tuturnya dengan fasih. Demi solidaritas, saya pun turut mengangguk-angguk. "Ho Chi Minh City, no?" tanya saya seraya menunjuk patung Paman Ho yang menjulang di taman di seberang jalan. Tiba-tiba, semacam ekspresi penuh horor membias di wajahnya: "No! Ho Chi Minh no!" Jantung Kota Ho Chi Minh, yang nama lamanya Saigon, tetap berdenyut -- konstruksi bangunan-bangunan modern, pengusaha- pengusaha asing yang berseliweran di lobi hotel, tanda-tanda bahwa the old world character yang masih bertahan akan cepat pudar. Februari, embargo AS atas Vietnam dicabut. Kalangan bisnis AS tidak berpretensi melihat masalah embargo dari segi moral. Bagi mereka, itu lebih sebagai pengabsahan atas derap mereka menghapus ketertinggalan dari investor negara lain di Vietnam. Memang, ada usaha-usaha menyinggung dimensi "kontribusi positif" AS pada Vietnam. Tapi, seperti telah terbukti dalam sejarah, sebuah negara yang perlu akses ke pasar bebas tak bisa puas sebatas mencekoki para ekonom negara "target" dengan segebung resep dan teori pasar bebas. Dan beredarlah kaleng- kaleng Pepsi-Cola di sekujur jalan Kota Ho Chi Minh. Koran-koran penuh statistik: pengagungan akan kesuksesan negara kecil cabe rawit ini dalam reformasinya. Tahun 1991- 1993, pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,5%. Inflasi turun dari 700% tahun 1987 menjadi sekitar 5% tahun 1993. Tapi di pedesaan, di Utara dan Selatan, hanya satu kata yang mencuat ke dalam benak: kemiskinan. Bagi petani yang tinggal di daerah tanpa sistem irigasi itu, air dan listrik adalah suatu anugerah. Mereka mengeluh mengenai standar kehidupan yang jauh di bawah minimum, terlebih setelah pencanangan kebijaksanaan doi moi (renovasi ekonomi) pada tahun 1986. Penggantian sistem koperasi dengan sistem ladang individu pada tahun 1988 membuat petani yang tidak mempunyai modal, tanah, pengetahuan wiraswasta, atau tenaga kerja lebih melarat. Ketika sistem koperasi dihentikan, akses petani pada pupuk murah otomatis habis. Institute of Science Management, Hanoi, Vietnam Utara. Sebuah ruangan penuh ilmuwan, think tank kementerian sains dan teknologi. Nguyen Thanh Ha, sang direktur, berbicara dari hati ke hati. "Pasar adalah pasar, apa pun sistem politik yang menaunginya," tuturnya. Memang, terlepas dari jiwa sosialis kota ini, mayoritas makhluk pembuat kebijaksanaan mempunyai semangat neoliberal yang menggebu-gebu. Negara-negara pascasosialis periferal macam Vietnam, Laos, dan Mongolia memang mempunyai kerentanan sendiri terhadap "pengarahan" kebijaksanaan ekonomi dari badan-badan dunia macam UNDP, IMF, dan Bank Dunia. "Institusi-institusi" seperti property rights dan badan-badan planing harus dibangun. Pemerintah pun tidak boleh campur tangan dalam mekanisme pasar, kecuali dalam bidang intervensi hukum, karena secara implisit negara mempunyai tugas intern menghilangkan semua kendala kekuatan pasar. Jadi, yang disebut regulasi berarti regulasi negara, bukan regulasi pasar, persis seperti reformasi ekonomi Inggris pada tahun 1980-an. Tapi Vietnam gundah. Seperti Cina, ia tidak mau sepenuhnya melepaskan diri dari sosialisme. Setelah reunifikasi dua dasawarsa lalu, kini kontradiksi suatu "sosialisme pasar bebas" menampakkan diri dengan nyata. Dan bukan saja antara Utara dan Selatan, tapi juga antara partai dan kabinet kementerian sipil, pemerintah sentral dan lokal, serta manajer-manajer BUMN yang supermakmur dan masyarakat Vietnam selebihnya. Jadi, sentralisme birokrasi tidaklah digantikan oleh suatu "pasar bebas", tapi oleh segebung konglomerat BUMN yang terpadu dalam kepemimpinan yang berpautan dan kemitraan mesra antara birokrasi lokal dan para pengusaha BUMN. Memang, kewiraswastaan tidaklah ditentukan oleh hak milik pribadi, seperti dalam perspektif liberal Hayekian. Dalam struktur sosial-politis yang ada, tiadanya hak milik pribadi membuka jalan bagi para birokrat-kapitalis untuk menjadi pengeruk keuntungan nomor satu. Kebijaksanaan joint stock companies tahun 1991 bukan saja memudahkan para manajer mengambil alih modal dengan menerbitkan saham, tapi juga memberikan mereka kontrol atas penaksiran nilai aset. Jadi, kekuasaan manajerial menjadi relatif lebih besar dalam ketiadaan suatu pasar modal dan suatu sistem moneter yang dapat secara objektif menaksir nilai aktiva produktif BUMN. Kemandirian serikat-serikat kerja perusahaan negara juga memperbesar kesenggangan antara Hanoi dan daerah- daerah provinsi. Tahun 1991, kontribusi perusahaan BUMN terhadap ekonomi Vietnam adalah penggelapan pajak nasional sebesar 30% dan utang sebesar 15.000 miliar dong. Tampaknya, usaha memadukan dua sistem yang tidak sejiwa, yang dipaksakan atas suatu mekanisme dengan kekuatan tawar-menawar, bukan prestasi, menentukan akses terhadap modal, adalah problem Vietnam yang paling mendasar. *) Penulis adalah pengamat masalah-masalah Asia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini