Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUGAAN keterlibatan Gubernur Riau Rusli Zainal dalam kasus suap proyek Pekan Olahraga Nasional sebenarnya begitu terang. Pengakuan sejumlah terdakwa dan saksi dalam beberapa persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru memperkuat dugaan itu. Rekaman percakapan sang Gubernur dengan anak buahnya telah pula disodorkan. Tapi peran Rusli yang begitu gamblang, anehnya, tak muncul dalam pertimbangan putusan empat terdakwa PON yang sudah divonis bersalah.
Majelis hakim memang telah menghukum dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau, Muhammad Dunir dan Faisal Aswan, masing-masing empat tahun penjara. Mereka terbukti menerima suap ketika meloloskan revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pembangunan Lapangan Tembak PON XVIII. Sebelumnya, majelis hakim juga menghukum dua terdakwa lain, masing-masing dua setengah tahun penjara. Namun sangatlah ganjil hakim sama sekali tak mencantumkan pihak-pihak yang diduga turut serta dalam pusaran suap itu.
Rusli diduga kuat berada di pusat pusaran kasus yang mencuat pada April tahun lalu tersebut. Ketika itu, Komisi Pemberantasan Korupsi mencokok sembilan anggota Dewan Riau, termasuk Dunir dan Aswan. Komisi juga menyita Rp 900 juta, yang diduga sebagai uang suap kepada anggota Dewan Riau yang memuluskan peraturan daerah yang menjadi payung hukum bagi penambahan dana pembangunan lapangan tembak sebesar Rp 19 miliar itu. Dunir menyebut Rusli tahu upaya suap itu.
Majelis hakim semestinya tak mengabaikan pengakuan Dunir dan kesaksian penting lain. Terdakwa Lukman Abbas, bekas Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau, antara lain mengaku diminta Rusli menyediakan ”uang lelah” Rp 1,8 miliar untuk anggota DPRD yang membahas revisi dua peraturan daerah. Salah satunya Perda Arena Menembak. Ia juga diperintah Rusli menggelontorkan US$ 1,05 juta agar politikus Senayan menyetujui usul dana PON Rp 296 miliar dari kantong APBN Perubahan 2012.
Kesaksian Lukman itu bukan tak disertai bukti. Rekaman percakapan Rusli dengan Lukman mengenai pengaturan suap itu diperdengarkan dalam sidang anak buah Lukman, yang didakwa memberikan uang suap kepada Dunir atas perintah Lukman. Rusli tak menampik suara dalam rekaman tersebut, kendati dia berkilah tak mengingat isi percakapan. Lukman jelas tak mungkin bermain sendiri dalam proyek pekan olahraga yang menguntungkan pencitraan Gubernur Riau itu.
Dengan sejumlah fakta tersebut, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pekanbaru semestinya tak menyingkirkan nama Rusli sebagai pihak yang diduga turut serta memerintahkan anak buahnya membagikan suap. Raibnya nama Rusli dalam putusan justru bisa mengundang kecurigaan pada anggota majelis. Rusli juga bisa memanfaatkan putusan yang ”membersihkan” namanya itu untuk keuntungan pribadi.
Komisi harus bergerak cepat menyusun strategi baru buat memaksimalkan putusan kasus PON untuk tersangka lain. Empat terdakwa sudah divonis. Dua tengah menjalani persidangan, termasuk Lukman Abbas. Masih ada tujuh tersangka yang segera masuk pengadilan. KPK bisa saja memindahkan persidangan mereka ke Jakarta. Preseden ini pernah terjadi pada Wali Kota Semarang Soemarmo Hadi Saputro, dari Semarang ke Jakarta. Langkah itu justru bagus untuk menjaga persidangan agar lebih transparan dan mudah dikawal publik.
Lebih penting dari itu, Komisi tak perlu berlama-lama menetapkan Rusli sebagai tersangka. Toh, KPK sebenarnya sudah memiliki dua bukti permulaan yang cukup. Jadi, tunggu apa lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo