Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA lembar surat edaran itu jelas berarti vonis mati bagi kapal asing dan kapal eks asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia. Diteken Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarif Wijaya pada 11 Februari lalu, edaran ini benar-benar telah menutup peluang bagi pemilik kapal-kapal itu untuk kembali beroperasi menangkap ikan. Mereka diharuskan melakukan deregistrasi.
Wajar bila pemerintah ingin hanya kapal lokal yang mengeksploitasi kekayaan di dalam wilayah perairan Indonesia. Selama ini kapal eks asing, juga kapal asing, begitu leluasa hilir-mudik, terutama di laut lepas, laut dalam, dan wilayah perbatasan. Kapal-kapal berbobot lebih dari 30 gross tonnage itu bebas beroperasi meski melawan hukum. Kementerian ini mencatat, akibat penangkapan ikan secara ilegal, negara merugi setidaknya Rp 30 triliun per tahun.
Para pencuri ikan itu bisa lenggang kangkung lantaran wilayah perairan kita dijaga dengan kemampuan peralatan maritim ala kadarnya, sehingga tak berdaya—atau sengaja dibikin tak berdaya—menghadapi mereka. Maka, sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan dipimpin Susi Pudjiastuti, sebagai upaya memberantas pencurian ikan, berlakulah masa penghentian sementara atau moratorium izin kapal eks asing. Lebih dari seratus kapal asing ditenggelamkan.
Hasil analisis dan evaluasi Tim Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal selama masa moratorium menunjukkan: semua kapal eks asing melakukan pelanggaran. Dari 1.132 kapal, 769 kapal melakukan pelanggaran berat dan sisanya pelanggaran ringan. Sanksi dijatuhkan, dari pencabutan izin sampai diberi surat peringatan. Kapal-kapal ini, meski mengibarkan bendera Indonesia, beroperasi di bawah perusahaan kongsi antara pengusaha lokal dan pengusaha asing. Kapal itu umumnya diduga melanggar aturan operasional atau tak membayar pajak.
Sebagian besar dari mereka lalu masuk black list. Namun sebenarnya ada 388 kapal ikan eks asing milik 42 perusahaan dan 39 perorangan yang tak masuk daftar hitam. Menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan peraturan di bawahnya, kapal-kapal ini masih boleh beroperasi setelah mendaftar ulang dan menyelesaikan pelbagai kewajiban, serta pemiliknya menandatangani pernyataan tak akan mencuri ikan. Tapi keputusan untuk menghapus kapal eks asing, melalui Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut, tentu mengucup peluang ini.
Bisa dimengerti jika kemudian para pengusaha pemilik kapal eks asing kategori "daftar putih" ini lalu memprotes. Mereka menilai ada pertentangan antara isi surat edaran Sekjen dan peraturan di atasnya yang mestinya masih berlaku. Melalui sejumlah asosiasi nelayan dan pengusaha ikan, mereka bahkan mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat. Jalur hukum bisa ditempuh manakala jalan musyawarah ini membentur tembok.
Kementerian Kelautan dan Perikanan sebaiknya memastikan semua aturan izin kepemilikan dan operasi kapal tak bertentangan. Aturan-aturan itu mesti dengan tegas menetapkan apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Penerapannya pun tak boleh pilih bulu. Kebijakan memudahkan nelayan lokal mendapatkan bantuan kapal yang layak juga perlu diwujudkan segera. Ini harus ditempuh melalui tender pengadaan kapal yang akuntabel dan transparan.
Sambil membenahi aturan ini, sudah sepatutnyalah jika Undang-Undang Perikanan yang masih membuka celah beroperasinya kapal berbendera asing segera direvisi. Hanya dengan cara inilah kita benar-benar menjadi tuan rumah di laut sendiri. berita terkait di halaman 152
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo