Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dampak jatuhnya harga minyak terhadap ekonomi dunia cukup variatif dan hasil akhirnya sering tak terduga, termasuk di Indonesia. Di sini, pendapatan pemerintah dari sektor minyak menyusut tajam. Ekonomi yang lesu juga turut menyebabkan penerimaan pajak tak mencapai target. Pemerintah terpaksa meninjau ulang anggaran 2016 dan merencanakan pengurangan be¡©lanja.
Masalah ini terasa juga pada sumber pendanaan pinjaman, yang batasan maksimumnya sudah mendekat. Rasio pengembalian utang (debt service ratio), termasuk swasta, sudah di tingkat 56 persen. Sedangkan rasio defisit anggaran terhadap produk domestik bruto semakin dekat ke batasan 3 persen. Mengingat pelampauan batas membutuhkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah akan menjaga agar plafon ini tak terlewati.
Karena ekspor dan belanja negara tak bisa diandalkan untuk memulihkan ekonomi, pemerintah terpaksa beralih ke dua sumber penopang lain, yaitu investasi dan konsumsi. Dengan berbagai paket ekonomi, peluang masuknya investasi asing dibuka lebih lebar. Masalahnya, hasil investasi tak akan terasa dampaknya dalam waktu dekat. Ini sebabnya pemerintah sekarang cenderung memprioritaskan peningkatan konsumsi dengan menurunkan tingkat suku bunga.
Pada awal tahun ini, dibantu oleh inflasi yang rendah, mata uang yang relatif stabil, dan langkah Federal Reserve Amerika Serikat yang berhati-hati dalam peningkatan suku bunga dolar Amerika, Bank Indonesia berani menurunkan suku bunga ke tingkat 7,0 persen. Otoritas Jasa Keuangan pun mencoba menekan biaya dana pihak ketiga perbankan, dengan membatasi suku bunga deposito 1 persen di atas BI Rate, yaitu ke 8 persen.
Kebijakan ini disambut baik oleh perbankan, karena membatasi persaingan harga antarbank untuk dana deposito dan giro. Tapi, ketika BI meminta perbankan menyampaikan rencana bertahap untuk menurunkan suku bunga pinjaman sampai ke tingkat satu digit pada akhir tahun ini, para bankir cukup kerepotan menghadapinya.
Bunga pinjaman dan pendapatan bunga bersih atau net interest margin perbankan Indonesia memang relatif tinggi dibanding negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Tapi perlu diingat bahwa tingkat bunga pinjaman mencerminkan tingkat risiko pengembaliannya. Lebih tinggi risikonya, makin tinggi pula bunga yang dikenakan guna menutupi kemungkinan menjadi kredit bermasalah.
Tingkat risiko suatu negara ditentukan oleh kadar kepastian berusaha. Hal ini terkait dengan efisiensi perangkat pendukung dunia usahanya, seperti sistem informasi, peradilan, penerapan regulasi, dan kestabilan nilai tukar. Dan, ditakar dengan ukuran-ukuran itu, pasar masih menganggap risiko berusaha di Indonesia masih cukup tinggi. Dengan kondisi itu pun perbankan Indonesia masih mampu menjangkau segmen pasar yang tingkat risiko kreditnya juga cukup tinggi, seperti pinjaman sektor mikro dan usaha kecil-menengah.
Ruang untuk menurunkan suku bunga kredit tetap ada. Tapi kebijakan semacam itu harus diiringi dengan pengurangan tingkat risikonya melalui peningkatan efisiensi perangkat pendukung dunia usaha. Jika tidak, penurunan suku bunga pinjaman yang cukup drastis dalam 10 bulan ke depan ini justru dikhawatirkan memaksa perbankan mengalihkan kredit dari segmen yang tingkat risikonya tinggi ke yang lebih rendah.
Jika ini terjadi, kebijakan yang bertujuan meningkatkan jumlah pinjaman itu justru dapat memicu hal sebaliknya, yakni mengurangi jumlah kredit. Karena itu, mungkin ada baiknya membedakan waktu berlakunya bunga kredit single digit itu di tiap segmen, sesuai dengan tingkat risikonya. Yang berisiko rendah dibuat lebih awal. Jangan sampai tujuan mendorong pertumbuhan malah berbalik menjadi resesi yang tidak kita inginkan. *) kontributor Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo