Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang terasa berlebihan manakala hakim Tahsin di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memaklumkan kemenangan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto atas Garuda Indonesia pekan lalu. Hakim memerintahkan maskapai penerbangan nasional itu membayar Rp 12,51 miliar dan meminta maaf.
Harga itu terlalu mahal bila dibandingkan dengan ”kesalahan” yang dilakukan Garuda Indonesia dalam penerbitan majalah internalnya edisi Desember 2009. Dalam artikel berjudul ”A New Destination to Enjoy in Bali” itu disebutkan bahwa Tommy, pemilik suatu daerah wisata di Bali, merupakan orang yang telah dinyatakan sebagai pembunuh oleh pengadilan. ”Tommy Soeharto, the owner of this complex, is a convicted murderer,” tulis majalah itu.
Tidak bisa dimungkiri, ada kecerobohan atau kelalaian redaksional tatkala editor majalah ini menyandingkan ”Tommy sang pemilik” dengan predikat ”pembunuh” tersebut. Menggabungkan keduanya dalam artikel yang membahas pengembangan bisnis properti itu tentu saja tak begitu mengena alias tidak relevan.
Namun kita pun jadi bisa menduga adanya suatu deterrent effect (efek jera) yang sengaja hendak ditimbulkan tatkala hakim menyuruh majalah internal Garuda ini memuat permohonan maaf selama tiga bulan berturut-turut pada tiga media nasional dalam ukuran minimal satu halaman penuh itu. Bukankah ganjaran Rp 12,51 miliar ditambah permohonan maaf berkepanjangan itu terlalu berat—alias tidak proporsional?
Hakim menyatakan penerbitan artikel itu telah merusak reputasi Tommy sebagai pengusaha lokal dan internasional. Tommy memang pernah dihukum, begitu kurang-lebih pendapat hakim Tahsin, tapi Tommy berhak dipisahkan dari masa lalunya.
Dari vonis ini meluncurlah pesan yang ditujukan kepada siapa saja: Tommy, anak bungsu Soeharto itu, masih sanggup membalas apabila disakiti. Padahal deterrent effect, hukuman ekstraberat, lebih tepat diberlakukan dalam kasus nasional yang mendatangkan mudarat besar bagi orang banyak dan susah dibasmi (misalnya korupsi dan perdagangan narkoba) ketimbang kasus yang sifatnya personal.
Satu lagi keanehan dalam pengadilan kasus Tommy versus Garuda ini adalah keengganan majelis hakim mengikuti anjuran Mahkamah Agung dalam menyidangkan kasus yang berhubungan dengan delik pers. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13/2008, lembaga pengadilan tertinggi itu menyatakan ”hendaknya majelis mendengar keterangan saksi ahli dari Dewan Pers”.
Seperti halnya pers yang bisa ceroboh, hakim pun bisa lalai dalam memutuskan hukuman dan, karena itu, sebaiknya Garuda Indonesia naik banding. Lagi pula, seseorang tidak bisa dihukum karena mengungkapkan fakta yudisial. Tommy dihukum 15 tahun penjara pada 2002 lantaran keterlibatannya dalam pembunuhan hakim agung Syafiudin Kartasasmita. Ia kemudian mendapatkan banyak pengurangan hukuman setelah menghuni penjara Cipinang, Jakarta, dan penjara Batu, Nusakambangan.
Walhasil, kelak dalam pengadilan yang lebih tinggi, hakim dapat mempertimbangkan lebih banyak hal, termasuk meminta pendapat Dewan Pers, sebelum menjatuhkan vonis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo