Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa identitas terang, pesan pendek alias SMS sama saja dengan surat gelap atawa surat buta. Pesan model begini biasanya berisi ancaman, makian, kritik, yang sengaja disampaikan dengan bahasa kasar, kotor, dan menyakiti penerimanya. Subyek yang dijadikan alat untuk menyerang pun beragam, misalnya etnis, agama, seksualitas, ideologi, kecerdasan, etika. Tujuan utama pengirim ”pesan buta” adalah melepas unek-unek, kekesalan, kemarahan.
SMS dari orang yang mengatasnamakan ”M Nazaruddin”, yang beredar sepanjang pekan lalu, termasuk kategori gelap ini. Kendati begitu, harus diakui, orang itu—atau kelompok orang yang mengirimkannya—cukup terlatih meramu berbagai informasi. Tujuannya untuk meyakinkan penerima bahwa pesan benar-benar datang dari Muhammad Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat yang baru dipecat dan sekarang mengaku berada di Singapura.
Cara meyakinkan itu, umpamanya, dengan mencantumkan ”identitas” kode negara ”+65xxxxxxxx” di depan nomor telepon seluler—kode negara Singapura. Si pengirim seakan mewakili ”kekesalan” Nazaruddin—yang disingkirkan partai dari jabatannya gara-gara proyek wisma atlet Sea Games—dengan mengancam akan membongkar sejumlah skandal. Untuk menguatkan ancaman, si pengirim menyebut sejumlah tokoh di sekitar Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Andi Nurpati, dan Daniel Sparringa.
Nazaruddin, yang pergi sehari sebelum dicekal oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sudah membantah bahwa dia pengirim pesan buta itu. Sejauh ini pun belum satu bukti bisa dipegang untuk menyatakan bantahan Nazaruddin benar atau bohong. Pencantuman kode negara dalam pesan pendek gampang dipalsukan, segampang menyulap identitas pemilik telepon seluler. Kebenaran informasi tentang kasus dan skandal yang disebut dalam pesan gelap itu juga masih tanda tanya besar.
Walhasil, pesan pendek ”M Nazaruddin” itu tak lebih dari rumor atau gosip. Walaupun pesan itu diedarkan beribu kali, tingkat kebenarannya tidak berubah: tetap saja kabar burung. Ironisnya, yang meningkatkan derajat kepercayaan orang pada pesan gelap itu justru Presiden Yudhoyono sendiri.
Ketika pekan lalu Presiden mengadakan jumpa pers khusus untuk membantah pesan buta itu, yang terjadi justru sebaliknya. SMS ”M Nazaruddin” malah berkembang-biak dengan pesat. Orang yang tadinya tak tahu adanya pesan itu akhirnya tergoda mencari-cari dengan segala cara. Saat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah menurun, seperti keadaan saat ini, bantahan Presiden itu justru ditafsirkan orang ramai sebagai kebenaran yang disembunyikan.
Ungkapan kekecewaan Presiden merupakan kemenangan pihak yang mendesain pesan pendek ”M Nazaruddin” itu. Mereka semakin yakin orang nomor satu RI itu mudah diusik dengan soal pribadi atau keluarga—dulu Yudhoyono melaporkan ke polisi orang yang menuduhnya pernah menikah sebelum pernikahannya yang sekarang. Padahal sangat banyak yang percaya bahwa soal pribadi atau keluarga Presiden itu tak lebih dari isapan jempol belaka.
Semestinya, sebelum memberi tanggapan, Presiden lebih dulu meminta jajaran kepolisian menelusuri pesan gelap itu. Bila ada bukti, pelakunya bisa dituduh melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tanpa bukti, tak perlu berlebihan meladeni kabar angin. Mendudukkan diri sebagai korban pun tak selalu berhasil merebut simpati publik. Bisa-bisa justru ketidakpercayaan pada kepemimpinan Presiden akan semakin luas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo