Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mandela meninggalkan sebaris kalimat yang terngiang-ngiang meskipun tak selalu tertangkap artinya: "…to be free is not merely to cast off one's chains, but to live in a way that respects and enhances the freedom of others."
"Kemerdekaan orang lain," katanya; kemerdekaan liyan yang membawa juga kemerdekaanku.
Ketika Mandela melangkah keluar dari kurungan, ketika orang-orang hitam Afrika Selatan dibebaskan dari penindasan rezim apartheid, ia lepaskan dua hal dari dalam dirinya: sakit hati dan kebencian. Ia akan masih tetap terpenjara, tulisnya, seandainya tak menanggalkan dua hal itu.
Dengan kata lain, di luar penjara itu ia memilih sikap yang melawan semua itu. Ia mencintai—juga mencintai mereka yang pernah membelenggunya.
Saya tak tahu adakah Mandela seorang Kristen. Yang saya tahu agama itu—dan agama apa pun—cuma melintas sebentar dalam hidupnya. Tapi ia seakan-akan mengumandangkan apa yang dikatakan Isa Almasih, agar kita mencintai musuh kita, mencintai tetangga kita, mencintai…. Tak berbatas.
Mungkin itulah saat ketika ada sesuatu yang universal mengubah Mandela, dan kita mendapatkan inspirasinya—dan perjuangan kemerdekaan akan palsu jika hanya perjuangan untuk kaum sendiri.
Terbitnya kesadaran tentang yang universal itu mungkin sebuah nostalgia: kita ingin kembali ke sebuah masa ketika permusuhan belum terjadi, bendera belum dipasang, dan identitas "kami" dan "mereka" belum ditegaskan.
Tapi kesadaran itu juga bisa berupa sebuah agenda buat masa depan.
Tak ada transformasi yang lebih radikal dalam dua abad terakhir ini ketimbang yang tampak dalam perjuangan pembebasan Afrika. Kolonialisme bukan saja eksploitasi ekonomi dan penindasan politik, tapi juga pengukuhan rasialisme yang paling brutal: di benua itu, sejumlah manusia tak cuma ditaklukkan; mereka juga dipisahkan sebagai himpunan makhluk yang ditakdirkan Tuhan lebih rendah, sebagai subhuman, karena warna ras mereka lain, tak "putih". Berabad-abad lamanya mereka juga dibuat percaya bahwa posisi mereka adalah hakikat diri mereka.
Maka menakjubkan—betapa radikal!—ketika Mandela justru membuktikan bahwa manusia yang tak "putih" itu tidak saja sanggup membebaskan diri, tapi juga membangun sesuatu yang gagal dicapai Pencerahan Eropa: kemanusiaan yang universal.
Di Kamboja, di bawah komunisme Pol Pot, revolusi dan kemenangan "kaum yang lapar" diikuti dengan pembersihan dan pembunuhan musuh secara besar-besaran. Dalam perjuangan itu Marxisme-Leninisme—anak kandung Pencerahan Eropa yang ingin membebaskan manusia—muncul dengan agenda pembantaian. Dengan kata lain, tak berbeda jauh dari militerisme yang mau membawa "modernisasi" di Indonesia. Liyan yang hadir di ruang kita adalah musuh kita. Humanisme universal harus ditampik.
Betapa beda dengan apa yang terjadi di Afrika Selatan. Meskipun Mandela bukanlah mukjizat.
Ia tak datang tiba-tiba. Sebelum dia, tapi tak seberhasil dia, adalah Frantz Fanon, pemikir dan aktivis antikolonialisme, antirasisme, seorang kelahiran Martinique yang merasa diri jadi bagian dari Aljazair yang berjuang melawan penjajahan Prancis.
Ia menulis Peau Noire, Masques Blancs ("Kulit Hitam, Topeng Putih"), sebuah risalah yang tajam, bergelora, cemerlang. Di salah satu babnya kita temui Mayotte Capécia. Perempuan ini menulis sebuah otobiografi, Je suis Martiniquaise—satu contoh bagaimana seorang wanita kulit "berwarna" memposisikan dirinya di masyarakat kolonial yang terbelah.
Mayotte mengikuti pembelahan itu dengan sepenuh hati. Ia memilih suaminya bukan karena lelaki itu ganteng, melainkan karena matanya biru, rambutnya pirang, kulitnya putih. Baginya dunia adalah bangunan yang terdiri atas dua kubu, hitam dan putih—sebuah pandangan yang 100% bersifat Manikhean, veìritable conception manicheìiste du monde, kata Fanon. Bagi Mayotte,
Aku putih: artinya aku memiliki kecantikan dan kebajikan, yang tak pernah berwarna hitam. Aku warna cahaya siang….
Aku hitam: aku wujud perpaduan dengan dunia, saling suka dan saling mengerti dengan bumi, ego yang dilepaskan dalam jantung kosmos…. Aku benar-benar sinar matahari di bawah tanah….
Apa yang kemudian jadi agenda Fanon adalah membuat bangunan Manikhean di kepala Mayotte Capécia itu jadi basis teori perlawanan. Si Hitam harus menegaskan bedanya. Ia harus menarik garis menghadapi si Putih. Perjuangan sengit perlu jelas bedakan "kawan" dari "lawan". Bahkan kekerasan adalah cara yang sah—satu hal yang ditegaskan Jean-Paul Sartre dalam pengantarnya yang berapi-api untuk buku Fanon yang lain, Les Damnes de la Terre. Sebab kekerasan, kata Sartre, seperti lembing Achilles: dapat menyembuhkan luka yang ditorehnya.
Saya tak yakin Sartre benar di sini. Hidup enak di Paris ia tak pernah menyaksikan bom meledak dan korban jatuh dari dekat, kekerasan yang tak jarang memicu pertumpahan darah baru. Ia juga tak menyebut adakah kekerasan yang dilakukan sebuah rezim terhadap mereka yang lemah juga seperti lembing Achilles.
Tapi dalam hal lain Sartre benar: perjuangan antikolonial yang diserukan Fanon membuat orang-orang Eropa mengalami "dekolonisasi" dalam diri mereka. Mereka digertak dan terbangun.
Tak boleh dilupakan, Fanon sendiri menghendaki dekolonisasi seperti itu, hingga datang manusia baru yang tak lagi terpisahkan dinding dua atau lebih dari dua warna.
Mandela menunjukkan, dekolonisasi itu juga terjadi dalam dirinya. Tentu dunia baru belum sepenuhnya terhampar. Ia memang telah menaklukkan sebuah bukit besar. Tapi di hadapan itu masih banyak bukit lain.
Juga setelah ia, Mandela, beristirahat.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo