TAHUN kemudian, Alengka sepi. Perang besar dan keruntuhan Rahwana tetap jadi kisah, tapi kemudian, negeri pulau itu seperti tenggelam oleh deru gelombang lautnya sendiri. Seorang pengunjung yang datang ke sana bercerita bahwa istana Alengka masih menampakkan sisa-sisa sudut yang dulu terbakar. Mungkin dibiarkan. Di kegelapan malam, bangunan megah itu nampak seperti sebuah monumen rasa bersalah yang tak pernah tertebus: anggun, juga masygul. Kota memang telah diperbaiki, tapi Baginda Wibhisana bahkan konon masih sering berjalan, membisu, ke lapangan besar tempat dulu Kumbakarna, kakaknya, gugur. Wibhisana, raja baru itu, seperti makin memilih hidup yang sayu. Setidaknya, itulah yang diceritakan oleh Vitrya, seorang utusan dari Negeri Kiskendha. "Dengarlah Jembawan," katanva kepada seorang bangsawan Kiskendha yang dalam perang 6 tahun yang lalu itu ikut bertempur membantu Rama. "Baginda murung setelah mendengar kabar dari Ayodhya itu: Rama membuang istrinya, Sita, ke hutan." "Kenapa, Vitrya?" "Karena ia, seperti juga kita di Kiskendha, tak mengerti mengapa setelah bertahun-tahun Rama berusaha untuk merebut Sita kembali dari tangan Rahwana, kini ia melakukan tindakan gila seperti itu." "Bukankah Rama melakukan itu untuk menjaga kewibawaan kepemimpinan?" sahut Jembawan. "Rakyat berbisik-bisik bahwa baginda tak sepatutnya hidup dengan seorang wanita yang telah bertahun-tahun tersimpan di istana seorang raja macam Rahwana. Dan Rama tahu: setitik saja ada najis di sekitar dirinya, ia mengkhianati cita-citanya sendiri. Bukankah perang melawan Rahwana dulu adalah juga perang untuk dunia yang bebas dari kekotoran diri?" "Benar. Tapi apa yang dilakukan Rama bagi Wibhisana tetap tak adil. Seseorang tak bisa dikorbankan hanya untuk menyempurnakan akhlak orang lain. Dan seandainya pun Sita telah ternoda oleh Rahwana, Rama sudah seharusnya tahu -- bahkan sebelum pasukan kita menyeberangi laut dan menggempur Alengka 6 tahun yang lalu itu. Maka, untuk apa sebenarnya perang itu: untuk memperebutkan Sita yang sudah tak suci lagi -- kalaupun kita tahu apa artinya 'suci' -- ataukah untuk menebus rasa terhina?" "Untuk melawan kesewenang-wenangan, Vitrya, dan kau tahu itu," Jembawan men jawab. "Rahwana adalah malapetaka. Penculikan Sita hanya salah satu dosanya yang lain. Kita menjadikan pembcbasan Sita sebagai lambang bersama. Kita membantu Rama dengan lambang ini, tapi bukan hanya karena itu. "Tetapi tidakkah itu juga mengandung semacam justa, kata lain dari kesewenangwenangan? Tidakkah yang kini terjadi pun kelanjutan dari hal yang sama: Sita, yang tak lagi berperan sebagai lambang, harus berhenti, apalagi setelah ia jadi noda?" "Seorang raja, Vitrya, tak boleh punya ikatan-ikatan pribadi. Itu bisa menjadikannya berat sebelah dan lembek dan sentimentil." "Mungkin. Tapi dengarkanlah: suatu hari Wibhisana membawaku pergi ke bukit tempat Kumbakarna dikuburkan. Di pucuk, di mana tegak beribu pohon damar, dan rumpun mawar hutan merimbun, ia menyuruh para pengawal menjauh. Lalu dikisahkannya kepadaku percakapan terakhirnya dengan Kumbakarna." "Sebelum ia memihak pasukan Rama dan kakaknya itu berperang untuk Rahwana?" "Sehari sebelum itu. Ia bertanya kenapa Kumbakarna, yang tak bisa membenarkan kegilaan Rahwana, toh memilih untuk tak bertindak dan malah pergi bertapa. Waktu itu Kumbakarna menjawab: "Karena aku tak hendak merusakkan negeri ini dengan perang saudara untuk sesuatu yang tak pasti. Karena aku tahu, Rahwana bagaimanapun akan berakhir dengan sendirinya, dan juga karena aku tahu, setelah itu, kesewenang-wenangan akan terjadi lagi -- oleh siapa saja." "Tapi itu berarti menerima terusnya keadaan yang buruk, Kumbakarna," sahut Wibisana. Kumbakarna cuma diam. Tapi kemudian kakak itu berkata: 'Kalau begitu aku akan berperang menghadapi Rama. Maka, kemenangannya tak akan datang dengan mudah. Seorang pemenang pun akan bisa tahu kerendahan hati, setelah perang bengis yang panjang'." "Menyesalkah Wibhisana, Vitrva?" "Tidak. Ia tahu, ia telah bertindak benar: tanpa keputusannya untuk membantu Rama, kegilaan Rahwana masih akan berlanjut." "Tapi ia toh murung?" "Ia sedih karena Kumbakarna ternyata salah: pergulatan yang panjang rupanya menguras hati seorang pemenang. Perasaan-perasaan sederhana manusia jadi mustahil, bahkan cinta tak lagi penting. Kumbakarna mengharapkan kcrendahan hati, seorang yang tahu akan batas, juga dalam kehendaknya untuk membersihkan diri. Tapi itu justru yang tak terjadi. Dan Sita dibuang, Jembawan, ah, Sita telah dibuang."Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini