SETIAP kali datang hujan dan angin kencang bertiup, seperti pada musim hujan sekarang ini, banyak muka-muka pucat di Departemen Perdagangan. Soalnya, saat-saat itulah gedung departemen yang berlantai dua belas di Jalan Ridwan Rais, Takarta Pusat. itu bergoyang, terutama lantai delapan sampai duabelas. Akibatnya, ubin di dinding dan lantai mulai tanggal satu per satu. "Pernah ada pegawai yang pingsan tertimpa ubin," bisik seorang pegawai kepada TEMPO. Banyak bagian gedung itu retak-retak. Bahkan di lantai satu, ada badan gedung yang mulai anjlok. Ada pipa air yang pecah dan bocor di beberapa tempat, sehingga satpam di kantor itu setiap kali harus mengepel lift bila air tergenang. Kondisi seperti itulah yang menyebabkan sekitar 350 pegawai yang menempati lantai tujuh sampai sepuluh, sejak November tahun lalu, terpaksa diungsikan ke gedung bekas kantor Departemen Sosial di Jalan Ir. Haji Juanda Jakarta Pusat. Sekitar 800-an pegawai lainnya masih menempati gedung itu. Menteri Perdagangan Arifin Siregar termasuk yang masih tetap bertahan di lantai tiga. Ia mengakui, kondisi gedungnya sungguh tak nyaman. Tapi karena anggaran yang terbatas, mau tak mau ia harus menggunakan gedung itu. Gedung ini dulunya milik Pertamina, dibangun pada 1973. Ketika baru selesai delapan lantai, krisis Pertamina terjadi, maka macet pula pembangunan sang gedung. Pada 1979, setelah terbengkalai lima tahun, pemerintah meneruskan pembangunan gedung itu untuk dijadikan kantor Departemen Perdagangan. Bangunan ini dipertinggi menjadi 12 tingkat, dengan alasan IMB gedung itu memang untuk bangunan berlantai dua belas. Sebenarnya, tak jelas betul apakah fondasi gedung memang dipersiapkan untuk bangunan sejangkung itu, karena book plan semacam gambar desain konstruksi bangunan itu -- hilang. "Apakah gedung itu direncanakan delapan, sepuluh, atau dua belas tingkat, kurang jelas. Sebab, terus terang, yang kami dengar book plan-nya saja tak ditemukan," ujar Arifin Sircgar. Memang. Begitu ditempati, baru ketahuan bahwa gedung yang menghabiskan dana Rp 12 milyar itu suka bergoyang. Setelah diselidiki, "Ternyata pelat bajanya terlalu tipis," kata Ir. Lutfy, Direktur Utama PT Ingenium yang kini menjadi konsultan untuk perbaikan gedung ini. Mestinya pelat baja yang digunakan sebagai tulang bangunan setebal 18 cm, ternyata yang digunakan hanya setebal 13 cm. Maka, pada 1985, setelah diperiksa oleh Pengawas Konstruksi Bangunan Pemda DKI, diputuskan untuk memperbaiki bangunan itu. Perbaikannya dimulai 1985 oleh PT Adhi Karya, dengan sistem gunnit. Dengan sistem ini fondasi bangunan tak perlu dibongkar, cukup dengan menembakkan air, udara, semen, serta pasir ke dalam tanah, fondasi itu segera menguat. Lalu semua pelat baja di lantai maupun di dinding bangunan dicopot dan diganti dengan pelat setebal 18 cm. Tahun ini direncanakan akan selesai penggantian pelat baja dari lantai satu sampai sembilan. Tahun depan lantai 10 sampai 12 mendapat giliran. Perbaikan itu seluruhnya akan menelan biaya Rp3 milyar. Itu dianggap lebih murah daripada membangun gedung baru. Apalagi, menurut Lutfy, bangunan itu masih tetap bisa bertahan selama 25 tahun. "Kalaupun sekarang itu masih bergetar tidak berbahaya," kata Lutfy. Betapapun, Menteri Perdagangan Arifin Siregar tampak kesal akan nasib gedungnya. "Departemen mau berhemat, maka menerima gedung Pertamina ini, tapi ternyata sekarang banyak masalahnya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini