MINGGU ini, 20 sampai 25 Oktober 1988, diselenggarakan Munas IV Golkar. Ini peristiwa politik sangat penting. Dengan 72% pemilih nyoblos Beringin di pemilu yang lalu, Golkar adalah kekuatan politik utama. Karena itu, masalah Golkar praktis juga masalah rakyat Indonesia. Salah satu slogannya berbunyi, Golkar menang, rakyat menang. Mestinya, slogan itu bisa dilanjutkan. Golkar mandiri, rakyat mandiri. Apa Golkar mandiri? Itulah salah satu perkara politik yang dibicarakan orang menjelang Munas. Aneh tapi nyata. Menang mutlak 72%, tapi masih dimasalahkan perkara kemandiriannya. Namun, ketika tokoh purnawirawan ABRI seperti Soemitro dan Sajidiman bicara, kita makin tahu bahwa semangat untuk menegakkan kemandirian Golkar sah adanya. Di antara hiruk-pikuk argumen soal kemandirian, saya mencatat satu perkara. Pertanyaan politik terbesar yang menjiwai dinamika saat ini adalah: apakah Golkar masih tetap merupakan salah satu wahana bagi pelaksanaan konsep dwifungsi ABRI? Atau, Golkar sudah tiba saatnya dikembangkan sebagai organisasi politik, wadah bagi rakyat yang ingin berdemokrasi Pancasila, dalam upayanya untuk mewujudkan cita-cita proklamasi? Pertanyaan ini merupakan inti perdebatan yang muncul di permukaan maupun yang teredam oleh elegannya cara berargumen menurut tatakrama demokrasi Pancasila. Menurut saya, pemikiran di balik pertanyaan itu sah, walaupun peka. Hanya jawabannya yang ternyata tak sederhana. Saya mencatat, tak seorang pun mempunyai cukup ketegaran guna menjawab pertanyaan ini secara jujur dan terus terang. Munas akan punya rumusan, tersirat ataupun tersurat. Karena itu, semua rakyat yang peduli dengan cermat menunggu rumusan penting itu. Dulu, organisasi politik ini dibentuk dari gabungan organisasi kekaryaan, yang umumnya didirikan dan dipimpin oleh eksponen ABRI. Menurut tokoh-tokoh ABRI yang ambil bagian dalam kelahiran organisasi kekaryaan itu, kebijaksanaan tersebut merupakan reaksi dari kondisi politik saat Orde Lama. Setelah Orde Baru tegak berdiri, Sekretariat Bersama Golongan Karya melebur diri menjadi satu organisasi politik. Golkar dibangun sebagai kekuatan utama untuk membangun sistem politik yang berlandaskan demokrasi Pancasila di antara kekuatan politik yang ada. Bahkan sejak pemilu kedua era Orde Baru, partai politik disederhanakan menjadi dua, ditambah satu organisasi politik Golongan Karya. Pengintegrasian itu juga disertai penataan ke dalam. Menilik realita politik sejak Orde Baru, Golongan Karya tumbuh dan berkembang berkat kerja keras dan peran serta dari tiga jalur. Jalur ABRI, jalur Birokrasi, khususnya aparat pemerintahan Dalam Negeri, di samping jalur pokok Golkar, yaitu jalur organisasi kekaryaan seperti Kosgoro, Soksi, MKGR, Gakari. Itulah asal-usul lahirnya istilah peran tiga jalur dalam pembinaan wilayah dan pemantapan politik bagi Golkar, khususnya setiap kali menghadapi pemilu. Perkembangan ini ternyata membawa implikasi. Yaitu, ketika bicara soal regenerasi. Komponen dari jalur mana dan dalam imbangan seperti apa pilihan kader pimpinan Golkar mendatang mesti disusun bahkan pertimbangan itu makin mencolok dirasakan dalam Munas IV ini. Perkembangan ini mewarnai dinamika yang amat menarik dalam kurun waktu sejak SU MPR 1988. Pergumulan memperebutkan leverage dan bagian yang dianggap layak dalam kepemimpinan Golkar mengambil bentuk yang terbuka dan sengit. Sudah barang tentu, sepak terjang, rumusan argumen, dan kegiatan-kegiatan lapangan dalam rangka pergulatan politik yang seru itu dibungkus madu sopan santun yang penuh samudana. Hanya demokrat Pancasila yang punya akses pada proses politik itu dan cukup memiliki kecerdasan yang bisa menangkap betapa pelik pergumulan politik menjelang Munas. Suasana musykil itu kita catat terlihat sejak musyawarah daerah sampai ramainya pasaran calon ketua umum dan sekjen Golkar yang cepat berkembang dan lincah perubahannya. "Cuaca" politik meniadi sangat peka pada perkembangan situasi. Setiap saat muncul kejutan. Ternyata, demokrasi Pancasila pun dinamikanya bisa sangat menarik. Bahkan bagi sementara orang mungkin menegangkan. Maka, saya memahami mengapa Musda didahulukan. Kesempatan itu bisa juga digunakan untuk menjajaki temperatur dan temperamen politik menjelang Munas. Dari suasana Musda ke Musda diperoleh isyarat tentang bentuk dan cara pencapaian konsensus yang paling elegan. Dari penjajakan itu, dapat disusun strategi untuk memainkan persilatan politik secara lebih canggih. Dari Musda, juga tampak mana merpati dan mana elang di antara calon utusan dalam Munas. Benar juga. Persiapan untuk membangun konsensus atau dasar-dasar pembentukan konsensus telah selesai sebelum Munas dilaksanakan. Bahkan ramainya pergulatan politik, yang diduga akan muncul pada saat Munas, mungkin bisa diredam. Karena banyak masalah pelik telah dapat diselesaikan beberapa minggu sebelum hari Munas. Tapi politik hanya tampak politis kalau orang masih boleh berharap akan hadirnya surprises, kejutan-kejutan. Siapa tahu, ketiga jalur masih akan memantapkan posisinya. Misalnya menjelang pembentukan formatur yang akan menentukan susunan pimpinan Golkar periode lima tahun mendatang. Siapa tahu, nafsu saling membendung masih akan menampakkan wajahnya dalam Munas, diliputi mood yang cepat berubah itu? Siapa tahu, oportunisme politik bakal turut main? Dan siapa tahu pula, yang punya peluang memancing di air keruh akan memanfaatkannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini