JUTAAN penonton televisi terhenyak. Malam itu, TVRI menyiarkan film dokumenter tentang penobatan G.B.P.H. Dorodjatun di Sultan Ngayogakarta Hadiningrat, Hamengku Buwono IX. Padahal baru siang harinya berita wafatnya Sri Sultan HB IX diumumkan secara resmi oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Cara kcrja TVRI memang patut dipuji. Ada kegesitan. Bahkan malam-malam selanjutnya, diputar lagi film dokumenter mengenai kegiatan Sultan HB IX pada berbagai kesempatan. Mutu film itu sendiri memang tak bisa dikatakan bagus. tetapi nilai sejarahnya tak terkatakan lagi. Di balik sukses TVRI menayangkan film sejarah itu, ada lembaga yang sangat berperan. Itulah Arsip Nasional Jakarta, tempat semua dokumen penting perjalanan bangsa ini disimpan. Dari lembaga inilah TVRI memperoleh film-film dokumenter itu. "Kami memang mempunyai arsip yang lumayan tentang, film-film lama seperti itu," kata Machfudi Mangkudilaga, Kepala Pusat Konservasi Kearsipan, Arsip Nasional Jakarta. Di sini tersimpan tak kurang dari 8 ribu rol mikrofilm, atau bila disambung-sambung mencapai 20 kilometer lebih. Sebagian besar menggambarkan peristiwa yang terjadi tahun 1930 sampai 1950. Tentu saja film-film itu masih hitam putih. Bila yang muncul di televisi ternyata berwarna, walau tak sempurna betul, itu adalah hasil kreativitas kerabat kerja TVRI. Film dokumenter itu bukan buatan bangsa Indonesia atau perusahaan film pribumi. Itu adalah produksi perusahaan film Belanda dan perusahaan film Jepang, yang kemudian diambil paksa oleh Belanda. Film itu kopi aslinya ada di Leiden, Belanda. Pemerintah baru mengetahui adanya film-film itu setelah menerima daftar yang dikirim dinas kebudayaan Belanda tahun 1980. Kemudian dibentuk sebuah tim yang diketuai Prof. Harsja Bachtiar Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen P dan K. Tim ini diberi tugas mempelajari kemungkinan pengiriman film-film dokumenter itu dari Belanda. Ternyata, semua berjalan mulus. Prosedurnya juga tidak sulit. Permintaan bahkan cukup dismpaikan melalui surat. "Kami memperoleh kopinya. Yang asli tetap disimpan di Belanda." ujar Machfudi, 55 tahun kepada Moebanoe Moera dari TEMPO. Ada syarat sebelum kopi film itu dikirimkan Belanda ke sini. Di antaranya film tidak boleh diperdagangkan Penyiarannya dibatasi hanya untuk penelitian dan proyek-proyek nonkomersial lainnya. "Pmutaran film tentang Sri Sultan itu misalnya, atas instruksi pemerintah dan tidak dinilai komersial" kata Machfudi lagi. Koleksi yang dimiliki Arsip Nasional tak hanya dari Belanda, tapi juga dari Amerika, Soviet, dan negara Eropa lainnya. Sementara itu, film dokumenter dalam negeri datang, dari Pusat Produksi Film Negara (PPFN). Sebaliknya, Arsip Nasional pun juga meladeni permintaan negara lain jika membutuhkan informasi yang kebetulan dipunyai Indonesia. Menurut Machfudi, prinsip tukar-menukar arsip itu adalah saling mengisi dan saling melengkapi. Tak semua yang bernilai sejarah lantas dikopi dan disimpan di Arsip Nasional. "Tergantung urgensinya," kata dosen pascasarjana UI itu. Masalahnya adalah biaya. Untuk mengopi satu rol mikro film biayanya sekitar Rp 60 ribu. Belum lagi untuk dana pemeliharaan. Menyimpan film tua itu memerlukan ruang khusus. "Agar tahan lama, mikrofilm harus disimpan dalam ruangan dingin seperti ruang pengawet daging," kata Machfudi. Di Arsip Nasional, mikrofilm disimpan di ruangan bersuhu 5- 10 C. Secara periodik, setiap lima tahun sekali, semua koleksi diteliti. Bila ada gejala kerusakan, segera direproduksi. "Kami sudah punya alat untuk mereproduksi," ujar Machfudi. Yang belum dipunyai Arsip Nasional adalah sistem pengamanan yang canggih untuk koleksi tak ternilai itu. "Alhamdulillah, maling yang profesinya mengkhususkan dalam dunia kearsipan belum ada. Hanya kalangan intelek saja yang mengerti nilai benda-benda pencatat sejarah itu," kata Machfudi sembari tertawa. Ia benar, dan buktinya Arsip Nasional tak banyak dikunjungi orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini