TAK banyak orang tahu. Di Arsip Nasional Jakarta disimpan film "dokumenter" di masa pendudukan Jepang. Film itu yang kini sudah dialihkan ke video, tergolong film propaganda yang bertujuan mengambil hati rakyat Indonesia agar mau bekerja sama dengan Jepang. Film itu diperoleh Arsip Nasional dari "pertukaran kebudayaan" dengan Belanda, dan sudah ada di sini sejak tahun 1980-an. Menurut Machfudi Mangkudilaga, Kepala Pusat Konservasi Kearsipan, Arsip Nasional, film yang dibuat dinas propaganda Jepang ltu memang tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. "Itu merupakan film jurnal berita yang diputar sebagai film ekstra di gedung bioskop. Isinya sesuai dengan politik Jepang. Sisi yang jelek selama pemerintah Jepang disembunyikan," katanya. Film diawali dengan judul Jae Sjio. Muncul Soekarno berpakaian jas lengkap warna putih, berdasi, dan memakai kopiah hitam. Ia memimpin lagu Jae Sjio, ciptaan T. Tasaki, yang melukiskan kebesaran bangsa Asia. Sebelum mengayunkan tongkat dirigennya, Soekarno lebih dulu berpidato: "Tuan tuan dan Nyonya-nyonya, perkenankan saya memperkenalkan saya punya diri. Saya Soekarno. Lagu Jae Sjio adalah lagu yang indah sekali, yang harus dinyanyikan pihak Indonesia dan pihak Nippon bersama-sama. Kita, bangsa Indonesia dengan bangsa Nippon yang sama-sama bangsa Asia, mest berkerja bersama-sama, agar lekas tercapai cita-cita kita bersama-sama, yaitu Asia Raya. Sekian, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya." Tepuk tangan bergemuruh. Kamera menyorot kelompok paduan suara yang menyanyi dengan penuh semangat. Film yang masa putarnya sekitar lima menit itu diakhiri dengan gambar pemandangan alam: pantai, laut, dan pegunungan. Film selanjutnya berjudul Perjoempaan Kaoem Moeslimin Soematra Baroe. Tokohnya adalah Hamka. Ulama ini berpidato di depan ribuan kaum muslimin dan muslimat di sebuah lapangan. Isi pidatonya memuji-muji Dai Nippon dan mencaci maki Sekutu. "Hancurkan Amerika dan Inggris, musuh kita," teriak Hamka sembari mengacungkan kepalannya ke atas. Masyarakat menyambut gegap gempita. Lalu disusul film yang merekam kunjungan Hedeki Tojo, Jenderal Angkatan Darat Imperial Jepang, selaku perdana menteri Jepang waktu itu. Ketika mendarat di Kemayoran, Jakarta, Tojo disambut Soekarno, Hatta, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantoro. Di sepanjang jalan rakyat berjejer sembari memegang bendera Jepang. Tojo digambarkan sangat simpatik. Bagaimana Jepang melatih pemuda Indonesia untuk kepentingan militernya juga diperlihatkan dalam film mengenai Peta (Pembela Tanah Air). Wajah pemuda itu riang dan bergairah. Usai latihan, mereka diberi makan dengan menu bergizi. Ada 15 film propaganda di zaman Jepang itu yang sudah dimiliki Arsip Nasional. Tak satu pun yang merusakkan citra Jepang. Praktek romusha, misalnya, tak disinggung-singgung. Justru yang ditampilkan adalah pekerja Indonesia yang bekerja penuh semangat diiringi lagu Bekerja karya Cornel Simandjuntak. Sementara itu, Aiko Kurasawa, ahli sejarah Indonesia yang mengajar di Fakultas Kebudayaan Linguistik Internasional Universitas Setsunan, Jepang, menyebutkan film jenis ini ada sekitar 350 judul. Film-film itu dirampas Belanda dari tangan Jepang ketika Belanda masuk kembali ke Indonesia membonceng Sekutu. Ia tahu karena pernah mengadakan riset ke Belanda untuk mempelajarinya. Film itu, menurut Kurasawa dibuat antara tahun 1942 dan 1945. Kunjungan PM Tojo, misalnya, direkam Juli 943. Semula, film itu diproduksi oleh Tim Penerangan Milik Angkatan Darat Imperial Jepang. Namun, setelah terbentuk pemerintahan militer Jepang pada Oktober 1942, pembuatan film diambil alih oleh Jawa Eiga Sha (perusahaan film Jawa). Tapi, mulai April 1943 sampai berakhirnya Perang Dunia II, produksi film itu ditangani Nippon Eiga Sha (perusahaan film Jepang) yang berkantor pusat di Tokyo. Semasa Jawa Eiga Sha, dalam satu bulan diproduksi satu film berita. Namun, sejak dipegang Nippon Eiga Sha, ditingkatkan menjadi dua film berita dalam sebulan. Pada 1944, film propaganda itu diberi judul besar, Nanpo Hodo (Pemberitaan Daerah Selatan) dan setiap peristiwa dibuatkan subjudul. Salah seorang di antara fotografer yang menangani film itu adalah Takashi Takaba kini 72 tahun. Ia bertugas sampai akhir 1944. Menurut Takaba, jumlah karyawan yang memproduksi film itu tidak tetap. Pada awalnya tercatat ada enam juru kamera dan tiga sutradara. Belakangan jumlah staf bertambah menjadi 40 orang. Tak semuanya bangsa Jepang. Ada R.M. Sutarto dari Solo. "Ia satu-satunya fotografer orang Indonesia," kata Takashi, yang kini tinggal di Kota Fuzisawa, Provinsi Kanagawa, Jepang. Menurut Takashi, R.M. Sutarto sebelumnya, bekerja di Multi Film -- sebuah perusahaan film swasta milik Belanda. Setelah Jepang masuk, Sutarto bergabung dengan Nippon Eiga Sha. Setelah merdeka, R.M. Sutarto menjadi Ketua Badan Sensor Film Departemen Penerangan. Ada dua jenis film yang diproduksi saat itu, film berita (dokumenter) dan film propaganda. Untuk film berita, menurut Takashi, sama sekali tak ada tekanan dari penguasa. Film propaganda memang sudah diatur. "Narasi dalam bahasa Indonesia diisi oleh Sutarto," kata Takashi kepada Seiichi Okawa dari TEMPO. Film berita biasanya diputar di gedung bioskop milik perusahaan, yang ketika itu jumlahnya 35 buah. Sedang film propaganda diedarkan ke 117 bioskop. "Melalui film itulah rakyat Indonesia diharapkan memahami gagasan Daitoa Kyowanken (Wilayah Asia Makmur) yang dicita-citakan oleh Nippon Teikoku (Negeri Imperial Raksasa Jepang)," kata Takashi. Sayangnya, koleksi Arsip Nasional ini tak banyak dilihat orang, apalagi adanya peraturan tak boleh menggandakan dan meminjam film ini. Walau itu film jenis propaganda, nilai sejarahnya tentu tinggi. Yusroni Henridowanto dan Agung Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini