Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aneh kalau Kartu Pos Olahraga (KPO) yang dirancang oleh PT Prima Selaras masih diperdebatkan apakah itu tergolong judi atau tidak. Ini seratus persen sudah tergolong judi, kalau kita sepakat apa yang dilakukan di masa Orde Baru dengan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) termasuk judi. Cara-cara mencari pemenang undian sama dengan SDSB, bahkan mirip pula dengan Nalo (Nasional Lotere) yang ada sebelum SDSB. Pemenang utama dengan hadiah Rp 1 miliar adalah yang nomornya tepat semua. Pemenang lainnya dicari dari ”nomor buntut” tiga seri paling akhir, kemudian dua seri paling akhir.
Kapolri Jenderal Polisi Sutanto memutuskan untuk menghentikan program tersebut karena sudah jelas mengandung unsur judi. Sebelumnya, Menteri Sosial sudah memberikan izin operasional pada 1 Mei lalu, setelah PT Prima Selaras mendapat rekomendasi dari Menteri Negara Pemuda dan Olahraga. Alasan Menteri Sosial memberikan izin, selain tidak ditemukan unsur judi, penggalangan dana dari masyarakat untuk membantu atlet nasional sangat dibutuhkan, sebagaimana masukan dari Menteri Pemuda dan Olahraga. PT Prima Selaras belakangan malah menambah rekomendasi dari ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Gerakan Pemuda Ka’bah, Front Pembela Islam, Forum Betawi Rempug, bahkan dari Majelis Ulama Indonesia.
KPO hampir saja beredar, ketika penyelenggara mencari agen penjualan di daerah. Saat itulah muncul penolakan dari Jawa Timur, yang digalang oleh LSM Graji Massal (Gerakan Rakyat Anti-Perjudian, Monopoli, Kemaksiatan, Korupsi, Kekerasan, dan Kenakalan). Penolakan ini membuat Menteri Sosial membekukan izin operasional KPO dan meminta Kapolri melakukan simulasi terhadap undian itu. Akhirnya, Jumat pekan lalu, Kapolri memutuskan KPO tidak bisa diteruskan.
Yang lebih aneh, ketika ada gelagat Kapolri tidak setuju KPO dan siap memberantas apa pun bentuk perjudian yang muncul, situasi berbalik. Menteri Adhyaksa Dault, ketika dikonfirmasi Tempo, langsung mengambil Al-Quran dan menantang bersumpah bahwa ia tak pernah melobi untuk memuluskan KPO. Bahkan ia mengaku hanya mendapat penjelasan sepintas tentang KPO dan tidak pernah memberikan rekomendasi apa pun.
Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi harus repot mengirim surat ke berbagai media, menjelaskan bahwa rekomendasi PBNU 22 Juni yang diteken Ketua PBNU Andi Jamaro Dulung dan Wakil Sekretaris Jenderal Syaiful Bahri Anshori dianggap tidak ada. Forum Pembela Islam juga mulai mencabut rekomendasi itu. Adalah hak mereka mencabut atau tidak mencabut rekomendasi, namun apa urusannya PT Prima Selaras meminta rekomendasi ke ormas Islam kalau yang hendak dibantu adalah atlet nasional? Ini menunjukkan bahwa PT Prima Selaras sesungguhnya yakin pangsa pasar kartu posnya adalah masyarakat kecil yang gemar ”judi buntut”, bukan mereka yang suka mengoleksi foto atlet.
Jalan pintas menggalang dana dengan memasukkan unsur judi memang bisa berhasil dalam waktu sekejap, karena masyarakat sangat menggemari judi jenis ini. Apalagi ada iming-iming hadiah Rp 1 miliar untuk sebuah kupon atau kartu pos yang berharga hanya Rp 5.000. Namun dampak sosialnya di masyarakat kelas bawah sangat terasa. Uang yang beredar tersedot ke pusat, sementara etos kerja berkurang karena waktu tersita untuk meramal-ramal nomor yang akan dibeli. Tidak adakah upaya lain menggalang dana kalau hanya untuk membantu atlet nasional? Kasihan juga kalau para atlet nantinya hanya jadi ”kambing hitam”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo