Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengundang dolar, membangun nuklir

Proyek pltn bukit muria kini diperebutkan 5 perusahaan luar negeri untuk bersaing membangun dan mengoperasikannya. mereka kini membuat studi mengenai kelayakan ekonomis. pltn pasti dibangun.

14 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA pemerintah memutuskan untuk membangun pusat listrik tenaga nuklir. Lima perusahaan swasta asing yang diundang pemerintah, pekan-pekan ini, sedang ngebut menyelesaikan prefesibility study (studi kelayakan awal). "Hasil studi itu ditunggu hingga akhir April mendatang," ujar Djali Ahimsa, Direktur Jenderal Batan (Badan Tenaga Atom Nasional). Adalah KWU (Jerman Barat), Framatome (Prancis), Mitsubishi (Jepang), Westinghouse (Amerika), dan AECL (Kanada) yang kini sedang memperebutkan proyek pusat listrik tenaga nuklir (PLTN) itu. "Yang kami buat adalah studi mengenai kelayakan ekonomis," ujar Gilbert Darmon, Sekjen Framatome, kepada Sapta Adiguna dari TEMPO. Pertimbangan ekonomis dipandang sangat penting oleh Indonesia. Sebab, "Segi teknologinya tak ada masalah lagi," ujar Menristek B.J. Habibie. Kabarnya, Indonesia cenderung membangun PLTN jenis Reaktor Air Berat Tekan (Pressurized Heavy Water Reactor). Yang memusingkan adalah masalah dana. Anjloknya harga minyak menipiskan kocek pemerintah. Padahal, pembangunan PLTN membutuhkan dana milyaran dolar. Aspek ekonomi itu yang kini sedang dihitung ulang. Menurut Habibie, telah terjadi negosiasi dengan perusahaan-perusahaan itu mengenai harga jual listrik dari tenaga nuklir itu. Harga itu kelak akan dibeli PLN dari perusahaan patungan -- gabungan dari pemenang tender proyek nuklir itu dan mitra usaha Indonesianya -- sebelum menjualnya lagi ke konsumen lewat jaringan distribusinya. Cara seperti itu memang dimungkinkan, "Sebab, kita menggunakan sistem BOT (Built, Operation, Transfer)," ujar Ahimsa. Sistem BOT merupakan paket utuh. Perusahaan patungan itulah yang akan mengerjakan semuanya. Mulai dari pencarian dana ke lembaga-lembaga keuangan asing, riset lokasi proyek, perencanaan konstruksi, dan pembangunannya. Perusahaan ini pula yang akan melakukan pengelolaan PLTN tersebut dan konversi energi selama 15 tahun -- sekitar setengah dari usia PLTN itu. Karena itu, mereka bisa menentukan harga listrik yang akan dijual ke PLN. Semula, harga yang ditawarkan sangat tinggi, 14--15 sen dolar (sekitar Rp 231--Rp 396) per kwh. Tapi belakangan, KWU, yang akhirnya bergabung dengan Framatome, berani menawarkan kurang dari 10 sen dolar/kwh. Tetapi Indonesia, "Menghendaki 4 hingga 5 sen dolar AS ," kata Habibie. Harga 4--5 sen dolar (sekitar Rp 66--Rp 82,5) rasanya masih cukup mahal bagi PLN -- yang masih harus menanggung biaya distribusi -- yang tarif listriknya sekarang rata-rata Rp 95,3 per kwh. Apalagi bila dibandingkan dengan harga jual PLTA Jatiluhur yang tahun lalu cuma Rp 32,50/kwh. Padahal, menurut Habibie, tarif PLTN harus kompetitif dengan pembangkit listrik lain, PLTD, PLTA atau batu bara. "Kalau nggak bisa bersaing, bagaimana bisa dioperasikan?" katanya. Mendesak sekalikah kehadiran PLTN di sini? Menurut Ahimsa, dengan asumsi kebutuhan listrik per kapita sekitar 300 watt di Jawa (yang tahun 2000 nanti jumlah penduduknya sekitar 120 juta), diperlukan listrik lebih dari 30 ribu MW. "Kita bisa memenuhi separuhnya saja sudah bagus," ujar Direktur Jenderal Batan itu. Kapasitas terpasang sekarang sekitar 3.000 MW. Seperlima dari konsumsi listrik di awal abad mendatang kata Ahimsa, akan dipenuhi oleh PLTN. Melesatnya konsumsi listrik tak memerlukan pembangkit dengan kapasitas besar. "Instalasi sebesar 1.000 MW tidak bisa dengan diesel. Hanya bisa terjawab dengan nuklir atau batu bara," kata Habibie. Tapi bila batu bara secara besar-besaran dipergunakan, "Apa Pulau Jawa ini akan kita tutup dengan asap?" ujar sebuah sumber yang mengkhawatirkan pencemaran gas C02 oleh pembakaran batu bara besar-besaran itu. Prediksi memang biasa berbeda. Seorang pejabat PLN yang kurang setuju PLTN dibangun secara tergesa memperkirakan, tahun 2000 nanti kebutuhan listrik di Jawa baru mencapai 10 ribu MW. "Itu bisa diatasi dengan pembangkit listrik bukan nuklir yang biaya pembangunannya lebih murah," katanya. Secara kasar sumber itu menyebut ongkos pembuatan PLTU di bawah US$ 1.000 per kwh, yang menggunakan batu bara US$ 1.000 dan PLTD US$ 1.200. Banyak pihak mengkhawatirkan kemungkinan musibah akibat bocornya reaktor nuklir. Tapi Habibie menjamin, "Cukup aman. Pengaturan yang ketat sudah dibuat di Prancis, Jerman Barat, Jepang, dan Amerika. Kita tinggal mengambil oper saja." Keamanan pusat nuklir itu memang dibuat berlapis. Tapi orang masih saja ngeri mengingat musibah nuklir di Three Mile Island, AS (1979) dan yang terakhir di Chernobyl, Uni Soviet, tahun lalu. Berbagai kejadian itu menunjukkan, kecelakaan terjadi karena kecerobohan operatornya. Sebuah penelitian di AS baru-baru ini menyimpulkan, ternyata banyak operator PLTN yang kecanduan narkotik dan alkohol. Seorang pejabat tinggi Indonesia melihat mental Indonesia saat ini yang kurang disiplin merupakan hambatan segera terwujudnya PLTN. Tapi pemerintah agaknya sudah berketetapan PLTN harus segera dibangun. "Sekarang bukan lagi memasalahkan ya atau tidaknya. Tetapi bilamana saat yang tepat untuk membangunnya," ujar Menteri Pertambangan & Energi Subroto di depan Komisi VI DPR Februari silam. Ini tergantung takaran apa yang digunakan. Dr. Zuhal, Direktur Pengkajian Nonmineral BPPT, telah merancang perhitungan yang mempertimbangkan faktor ekonomis, pencemaran lingkungan, dan pemanfaatan batu bara secara maksimal. Berdasarkan rumus Zuhal, bila harga batu bara US$ 55 per ton dan harga minyak 18-30 per barel, dihitung nilai dolar 1985, "PLTN baru layak beroperasi tahun 2003 dengan kekuatan 1.200 MW," ujarnya. Jika hanya menuruti pertimbangan ekonomis, PLTN layak beroperasi pada 1998 dengan kapasitas 2.200 MW. Bila impian akan diwujudkan, kepastian harus sudah dipatok mulai sekarang. Sebab, "Membangun PLTN itu memerlukan waktu delapan tahun," ujar Gilbert Darmon, Sekjen Framatome. A. Luqman, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus