Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAYAGIRI dua dekade silam. Surga kecil di kaki Tangkuban Perahu, kawasan teduh di Bandung Utara. Pinus-pinus jangkung yang berlomba menyentuh langit menjadi tempat pelesir para penikmat alam. Hawa dingin dan keheningan langsung membekap ketika melintasi gerbang hutan. Jalan setapak nyaris tak tersentuh matahari karena rapatnya pepohonan dan kabut yang menyelimuti hutan.
Di utara hutan pinus terhampar hutan alam. Di sini, di sepanjang jalan setapak berjejer aneka flora: puspa, saninten, kihiur, damar, rotan, dan anggrek japati. Di pucuk pepohonan, lutung jawa bergelayutan malu-malu. Tak cuma lutung, inilah rumah berbagai satwa, antara lain surili dan elang jawa yang hampir punah.
Jayagiri di pengujung Agustus 2009. Cahaya matahari menyengat kulit, meluruhkan bulir-bulir keringat puluhan pendaki yang sejak pagi buta meniti jalan setapak menuju puncak Tangkuban Perahu. Perlu satu jam untuk mencapai keteduhan hutan pinus yang tersisa, setelah melintasi semak-semak dan tunggul pinus yang ditebangi.
Jalan setapak yang dulu lembap kini menjadi jalur bagi penggemar sepeda motor trail. Parut-parut bekas ban trail tergambar jelas di tanah, menyisakan lubang dan parit hingga kedalaman setengah meter. Petugas penjaga hutan alias jagawana pun tak berdaya menghadapi kelompok pengendara sepeda motor yang muncul belasan hingga puluhan per kelompok.
Jangan harap menemukan fauna penghuni Jayagiri. Alih-alih melihat burung atau tupai bergelayut, malah disana-sini banyak kelompok orang yang sibuk membabat semak sehingga permukaan lahan botak. ”Untuk menanam kopi,” kata seorang pembabat yang gagap menjawab pertanyaan Tempo.
Tak jauh dari kelompok pembabat itu, Tempo mendapati segerombol perambah hutan sibuk mencincang pinus, yang baru saja rebah. Mereka mengklaim hanya menebang pinus tua yang sudah lapuk, untuk kayu bakar. Tapi anak kecil pun paham pohon yang mereka tebang masih sangat segar dan kukuh. Anehnya, gerombolan ini mrotol satu demi satu ketika diajak ngobrol.
Para perambah hutan kebanyakan warga sekitar. Mereka biasanya berlaku seperti pencari kayu bakar, mengumpulkan ranting dan potongan dahan kering. Namun, menurut petugas penjaga gerbang hutan, sering kali mereka mencuri-curi kesempatan.
Kawasan hutan yang paling parah ada di blok Cikahuripan dan Gunung Putri. Pohon pinus yang tumbuh rindang bisa dihitung dengan jari. Selebihnya pangkal pohon itu tampak menghitam karena dibakar, ini dilakukan agar pohon lekas meranggas dan mati. Padahal lahan didominasi lereng dengan kemiringan hampir 45 derajat.
Setelah berjalan satu setengah jam melewati lahan gundul, barulah tampak sisa-sisa surga Jayagiri. Pepohonan masih rapat. Walau musim kering, rumput dan dedaunan tampak hijau, artinya kelembapan suhu di sekitar hutan masih terjaga oleh rindangnya pohon. Karena itu, peternak sapi dari kampung sekitar mencari rumput untuk makanan sapi hingga jauh ke dalam hutan.
Di sini, fauna hutan mulai terlihat. Burung tekukur bisa dijumpai hampir di sepanjang perjalanan. Elang jawa sesekali tampak terlihat melintas. Di dalam hutan kicau burung bersahutan dengan suara monyet. Para pendaki harus siap dikejutkan aksi lompat dahan dari lutung jawa berwarna hitam. Sayangnya, saat menikmati keindahan alam ini terganggu oleh aksi pengendara sepeda motor yang datang bergerombol, menguasai jalan setapak.
Jayagiri bagaikan wilayah tak bertuan. Perambah hutan seenaknya menebangi pohon, lahan dengan gampang dialihfungsikan, gerombolan sepeda motor trail bisa mengobok-obok hutan. Padahal wilayah ini sedang menjadi rebutan antara PT Perhutani dan PT Graha Rani Putra Persada. Klaim Graha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Malem Sambat Kaban. Padahal pengelolaan kawasan konservasi ini harus dengan rekomendasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Surat keputusan, yang diteken pada 29 Mei lalu, itulah yang menuai protes para pemerhati lingkungan, bahkan pemerintah provinsi. Hingga menjelang bulan puasa, aksi protes berlangsung di Bandung. ”Seharusnya tak ada izin itu,” kata aktivis yang tergabung dalam Gerakan Rahayat Lebak Gede, Dadang Hermawan.
Dalam salinan SK Menteri Kehutanan yang diperoleh Tempo disebutkan Graha mendapat izin pengusahaan pariwisata alam (IPPA) seluas 250,7 hektare, terdiri atas 171,4 hektare di blok Pemanfaatan Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu serta 79,3 hektare Kawasan Hutan Lindung Cikole; keduanya di wilayah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Subang. Izin itu berlaku selama 30 tahun.
Dadang Hermawan mempertanyakan terbitnya izin tanpa rekomendasi pemerintah provinsi. Padahal syarat pemberian izin, yang memang berada di tangan Menteri Kehutanan, harus mengantongi rekomendasi gubernur. Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan tentang Tata Cara Permohonan Pemberian dan Pencabutan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam.
Pemerintah provinsi menolak memberikan rekomendasi IPPA kepada PT Graha. Penolakan itu tertuang dalam surat yang diteken oleh Wakil Gubernur Dede Yusuf tertanggal 2 September 2008. Dalam suratnya, Dede beralasan, permohonan rekomendasi kepada gubernur diajukan setelah PT Graha mengajukan permohonan izin prinsip, seharusnya pengajuan izin itu dilayangkan setelah ada rekomendasi gubernur. Penolakan itu dilayangkan setelah Dinas Kehutanan Jawa Barat serta Dinas Pariwisata Jawa Barat merekomendasikan gubernur agar tidak memberi rekomendasi.
Pada salinan SK Menteri Kehutanan itu, dalam pertimbangannya tidak disebutkan soal rekomendasi gubernur ataupun Bupati Subang dan Bupati Bandung Barat. Pertimbangan yang ada disebutkan berupa saran dari Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam kepada PT Graha per 22 Mei 2009 berisi persetujuan pemberian izin pengusahaan pariwisata alam itu.
Sebelum menjadi sengketa, hingga 2007, hak pengelolaan Jayagiri dikuasai Perhutani. Pada April 2007 hak pengelolaan itu dicabut oleh Menteri Kehutanan. Pada Agustus 2007 Menteri memberikan izin prinsip kepada PT Graha untuk mengelola kawasan itu.
Meski diprotes, Kaban menjamin semua izin yang ia teken sesuai dengan prosedur. Ia juga membantah tudingan keluarnya izin itu karena Direktur Utama PT Graha, Putra Kaban, adalah saudara dekatnya. ”Tapi, kalaupun ada hubungan keluarga, izinnya diberikan sesuai dengan prosedur. Jadi jangan terlalu tendensius,” ujarnya. Menurut dia, izin itu dikeluarkan untuk memperbaiki taman wisata Tangkuban Perahu. ”Mau dibikin jadi bagus, kok, dipersoalkan,” kata Kaban kepada Desy Pakpahan dari Tempo.
Pemerintah Jawa Barat sejak 1980-an telah mengeluarkan banyak peraturan untuk menjaga kawasan konservasi di Bandung Utara itu. Tapi, menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jawa Barat Muhammad Hendarsyah, kondisi kawasan itu terus merosot karena terjadi alih fungsi lahan dari kawasan hijau menjadi permukiman dan komersial. Ia mengatakan pembangunan kawasan wisata terpadu yang akan dilaksanakan PT Graha di Gunung Tangkuban Perahu, Jawa Barat, bakal makin mendorong kerusakan di wilayah utara Bandung itu.
Kerusakan tersebut menjadi ancaman bagi desa-desa di bawahnya: Sukajaya, Cikahuripan, Jayagiri, Gunung Putri, dan Cikole. Tak cuma itu, mata air Situ Lembang yang menjadi sumber air bagi setengah juta warga Cimahi selalu mengering di musim kemarau. ”Ini akibat rusaknya hutan di Tangkuban Perahu,” ucap T. Bachtiar, peneliti dari Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Pemberian izin pengelolaan wisata alam kepada PT Graha ditudingnya sebagai bentuk intervensi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. ”Kebijakan tentang kawasan Bandung Utara itu sudah jelas, terutama dengan kawasan lindungnya, dan sekarang ada intervensi dari pusat terkait dengan rencana pengelolaan wisata di kawasan itu,” kata Hendarsyah.
Adek Media, Gilang R. (Jayagiri), Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo