Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

<font color=#FF0000>SOS</font>, Bosscha!

Observatorium Bosscha kini bagaikan kakek renta yang kelangsungan hidupnya terancam oleh polusi cahaya dan debu, serta gemuruh roda pembangunan rumah-rumah penduduk. Kalau tak segera diselamatkan, homebase bagi penelitian astronomi tertua dan terbesar di Indonesia ini tinggal sejarah.

15 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NUN jauh di kaki Gunung Tangkuban Perahu, bangunan itu berdiri kukuh. Arsitekturnya berbentuk kubah putih mirip sosok robot Artoo Detoo (R2 D2) dalam film sains legendaris Star Wars. Itulah Observatorium Bosscha di Lembang, Jawa Barat, 15 kilometer di utara Bandung.

Berdiri di atas tanah seluas 6 hektare dan berada pada ketinggian 1.310 meter di atas permukaan laut, Observatoriun Bosscha dibangun oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) atau Perhimpunan Bintang Hindia Belanda pada 1923-1928. Stasiun pengamat bintang itu berada di atas tanah bekas perkebunan teh Malabar milik Karel Alfred Rudolf Bosscha. Bosscha pulalah donatur utama pembangunan peneropong bintang tersebut. Sebagai penghargaan atas jasanya, nama Bosscha pun diabadikan sebagai nama observatorium.

Sebagai homebase bagi penelitian astronomi, Bosscha memiliki delapan teropong terpasang. Teropong yang menjadi kebanggaan Bosscha adalah teleskop refraktor ganda Zeiss. Teleskop ini memiliki dua lensa dengan diameter 60 sentimeter. Observatorium ini juga memiliki teleskop Schmidt Bima Sakti yang bergaris tengah 70 sentimeter, untuk mempelajari struktur galaksi Bima Sakti, asteroid, dan supernova. Lalu ada teropong refraktor Bambergh yang dilengkapi fotoelektrik-fotometer, berfungsi mendapatkan skala terang bintang dari intensitas cahaya listrik yang ditimbulkan lewat lensa bergaris tengah 37 sentimeter. Untuk pengamatan hilal, para astronom Bosscha memakai teleskop refraktor Unitron.

Memasuki usianya yang ke-81, pada 2009 ini Bosscha ikut berpesta merayakan Tahun Astronomi Internasional. Agenda ini ditetapkan pada Januari lalu oleh para astronom dunia yang tergabung dalam International Astronomical Union di Paris untuk mengenang empat ratus tahun astronomi modern, yang ditandai ketika ilmuwan Italia Galileo Galilei melakukan observasi ke angkasa dengan teleskop untuk pertama kalinya pada 1609.

Di tengah gemerlap acara akbar itu, nasib Bosscha justru di ujung tanduk. Ia terancam kehilangan fungsi sebagai stasiun peneropong bintang gara-gara polusi cahaya dan debu yang menyiram langit Lembang setiap hari, selama bertahun-tahun, dan kian parah akhir-akhir ini. Cahaya yang menyorot ke atas membuat langit tak lagi hitam pekat, kondisi yang sangat dibutuhkan untuk pengamatan bintang. Semburan asap knalpot kendaraan, cerobong pabrik, dan debu jalan yang membentuk kabut tipis kehitaman, membuat pandangan teleskop terhalang. ”Ini sudah berlangsung tiga puluh tahun, dan terus memburuk,” kata Taufiq Hidayat, Direktur Bosscha.

Mohammad Irfan, peneliti Bosscha yang saban malam mengamati pergerakan bintang ganda sejak lima belas tahun silam, paham benar apa dampak pencemaran cahaya bagi proyek penelitiannya. Penelitian Irfan merupakan warisan para pendahulunya: catatan dua ribuan bintang ganda di langit selatan. ”Banyak penelitian yang tak bisa diteruskan lagi karena bintangnya sudah tak bisa diamati,” kata sarjana astronomi Institut Teknologi Bandung itu.

Irfan membandingkan kondisi pengamatan di masa sekarang dan di era para pendahulunya yang sudah bertugas di observatorium itu sebelum 1970-an. ”Dulu satu lensa bisa dipadati seribuan bintang, tapi sekarang cuma lima puluhan,” katanya. Tingkat magnitudo (skala penampakan) bintangnya pun sudah berkurang karena tersaingi cahaya dari daratan dan terhalang debu yang melayang di langit. Jadi, jangan berharap bakal ada penemuan bintang baru dari Bosscha.

Cepatnya pertumbuhan penduduk dan meluasnya kawasan permukiman juga membuat Lembang yang dulu merupakan daerah senyap di kaki gunung menjadi kota satelit Bandung yang sesak. Padahal dulu, di era 1970, hampir tak ada bangunan di sekitar pagar Bosscha hingga Jalan Raya Setiabudi-Lembang, kecuali kampung Bosscha, yang menempel dengan rumah para pegawai observatorium. Memasuki 1980-an, kawasan Bosscha mulai dikepung permukiman. Di kiri-kanan Jalan Peneropongan Bintang, sepanjang satu kilometer yang menghubungkan Bosscha dengan jalan raya, yang awalnya cuma kebun dan pepohonan, kini dipadati perumahan warga dan vila. Polusi cahaya dan debu pun tambah menjadi-jadi.

Nasib Bosscha kian terancam seandainya rencana PT Bintang Mentari Perkasa membangun kawasan wisata terpadu yang berbatasan langsung dengan observatorium itu disetujui pemerintah Kabupaten Bandung Barat. Perusahaan itu, menurut Taufiq Hidayat, akan membangun cottage, real estate, dan hotel dengan kapasitas 125 kamar. Kawasan wisata yang direncanakan bernama Puri Lembang Mas berdiri di atas dua blok lahan di Desa Lembang dan Gudang Kahuripan seluas masing-masing 30 dan 34 hektare. Merujuk peta pada dokumen analisis dampak lingkungan, lahan ini membentang dari Jalan Raya Lembang, menyusuri Jalan Peneropongan Bintang, hingga pintu masuk observatorium.

Sadar akan ancaman itu, Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman pun mengkritik kelanjutan proyek taman wisata yang sudah memasuki tahap pembuatan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). ”Proses analisis akan kami cegat,” kata mantan Rektor ITB itu, saat berkunjung ke Bandung tiga pekan lalu. Ia mengatakan, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Departemen Pendidikan Nasional sepakat menolak rencana pembangunan tersebut.

Daripada repot-repot melanjutkan proses amdal dan pada akhirnya bakal dijegal, Kusmayanto menyarankan Bupati Bandung Barat, Abu Bakar, menghentikan rencana pembangunan itu. Lima tahun lalu, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan juga pernah menyurati Bupati Bandung—sebelum Bandung Barat dibentuk—agar tak mengizinkan pembangunan di radius dua kilometer dari Bosscha.

Meski para menteri bakal menjegal rencana pembangunan kawasan wisata, Bupati Abu Bakar tetap memberikan lampu hijau kepada pengembang. ”Kalau pengembang bisa meyakinkan mereka mampu mengendalikan gangguan cahaya dan debu, kenapa izin tidak keluar?” katanya.

Menurut Abu Bakar, walau amdal kelak disetujui, masih banyak proses perizinan yang harus dilalui pengembang. ”Karena pembangunan di kawasan Bandung Utara diatur oleh Provinsi Jawa Barat, untuk melindungi Bosscha.

Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat, Anugrah, mengatakan tidak ada peraturan daerah provinsi yang melarang pembangunan proyek di sekitar Bosscha. ”Yang ada pembatasan dan tata kelola cahaya,” katanya. Tapi dia tidak menjelaskan bagaimana mobil yang masuk kawasan wisata itu tak akan mengepulkan asap dari knalpot dan debu jalanan yang akan mengganggu pengamatan bintang. Pemimpin Bintang Mentari Perkasa, Bambang W., pun menolak menjelaskan proyeknya.

Anugrah berkilah amdal merupakan warisan pemerintahan induk, yaitu Kabupaten Bandung. Rencana ini sebenarnya telah diusulkan pada 2004, tapi berhenti karena ditentang keras oleh Rektor ITB (waktu itu) Kusmayanto Kadiman, serta Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gde Ardika, pada akhir pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Setelah Bandung Barat dibentuk pada 2007 dan pada pertengahan 2008 ditunjuk pejabat bupati, rencana kawasan wisata itu kembali muncul dan diproses.

Jauh sebelum rencana pembangunan kawasan wisata terpadu, Kepala Observatorium Bosscha periode 1968-1999, Bambang Hidayat, pernah menjegal rencana Pertamina membangun Hotel Patra Jasa pada 1976. Hotel itu rencananya akan dibangun 400 meter dari kawasan Bosscha, tapi batal setelah Bambang memberikan masukan kepada Presiden Soeharto. Toh, di kemudian hari, Bambang dan para penerusnya tak kuasa membendung pembangunan yang dilakukan penduduk dan pengembang swasta.

Kekhawatiran Bambang bahwa Bosscha akan terancam polusi cahaya dan debu pernah ia sampaikan lewat surat kepada koleganya sesama kepala observatorium di berbagai negara. Balasan dari ”curhat” Bambang berisi imbauan kepada pemerintah Indonesia untuk membuat aturan khusus yang melindungi Bosscha, dan membatasi pembangunan di sekitarnya. Pemerintah merespons dengan memasukkan Bosscha sebagai cagar budaya pada 1992. Tapi pembangunan permukiman di sekitarnya tak bisa dihentikan.

Bila ancaman itu dibiarkan, bukan tidak mungkin Bosscha hanya menjadi museum astronomi. Bagi Kusmayanto, lenyapnya Bosscha dari peta perbintangan dunia bagaikan hilangnya azimat astronomi nasional. ”Bosscha merupakan satu-satunya observatorium terbesar di Asia Tenggara yang melahirkan peneliti bereputasi internasional,” katanya.

Bosscha adalah pionir pengamatan bintang di wilayah selatan khatulistiwa, yang di seluruh dunia cuma ada empat buah. Tiga lainnya ada di Afrika Selatan, Cile, dan Australia. Taufiq Hidayat bercerita, Thailand sedang membangun observatorium yang akan menyaingi Bosscha. Observatorium Negeri Gajah Putih itu dilengkapi teropong bergaris tengah empat meter. ”Harga teropongnya saja sekitar Rp 100 miliar,” katanya.

Karena itu, katanya, Bosscha merupakan aset nasional yang harus dijaga fungsinya agar menghasilkan penelitian yang bermutu. Salah satu bagian terpenting yang mesti dirawat adalah teleskop. Perangkat utama penelitian astronomi ini harus dijauhkan dari cahaya dan debu dari daratan. ”Kalau obyeknya sulit dijangkau, say goodbye saja,” kata Mohammad Irfan.

Adek Media, Anwar Siswadi, Alwan Ridha Ramdan (Bandung)


Jejak Pengamat Langit Selatan

Sebagai observatorium tertua dan terbesar di Tanah Air, Bosscha memiliki sejarah panjang. Bangunan ini selamat melewati Perang Dunia II, berpindah dari kontrol Belanda, Jepang, hingga pemerintah Indonesia.

1920
Perhimpunan Bintang Hindia Belanda sepakat membangun observatorium untuk mempelajari benda langit di bagian selatan khatulistiwa.

1923
Karel Albert Rudolf Bosscha, tuan tanah perkebunan teh Malabar, menghibahkan tanah enam hektare untuk membangun observatorium. Putra fisikawan Johannes Bosscha ini juga menyumbang uang untuk membeli teleskop pertama.

1928
Observatorium selesai dibangun, sebagai penghargaan kepada sang donatur, Bosscha dijadikan nama pusat peneropongan bintang itu.

1933
Untuk pertama kali, Bosscha mempublikasikan hasil pengamatannya.

1938
Bosscha tidak berfungsi karena Perang Dunia II.

1946
Renovasi besar-besaran setelah Perang Dunia II.

17 Oktober 1951
Perhimpunan Bintang Hindia Belanda menyerahkan Bosscha kepada pemerintah Indonesia.

1959
Bosscha menjadi bagian dari Institut Teknologi Bandung.

1974
Kepala Bosscha, Bambang Hidayat, mengirimkan surat ke para kepala observatorium dunia untuk menghimpun dukungan perlindungan Bosscha dari ancaman polusi cahaya dan debu.

1976
Pertamina membatalkan pembangunan hotel yang rencananya berjarak 400 meter dari Bosscha.

1980
Kawasan di sekitar Bosscha banyak yang beralih fungsi menjadi permukiman.

1992
Pemerintah menetapkan Bosscha sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

2004
PT Bintang Mentari Perkasa berencana membangun kawasan wisata terpadu. Rektor ITB dan Menteri Negara Riset dan Teknologi menolak rencana Bintang.

Maret 2006
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Menteri Riset dan Teknologi melestarikan Bosscha.

2007
Pembentukan Kabupaten Bandung Barat, hasil pemekaran Kabupaten Bandung. Kecamatan Lembang, termasuk kawasan Bosscha, menjadi bagian dari kabupaten baru itu.

2008
Januari: Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat memasukkan Lembang dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Bandung Utara.
Juli: Abu Bakar dilantik sebagai Bupati Bandung Barat.

2009
Proses analisis dampak lingkungan (amdal) rencana kawasan wisata terpadu diproses.
April: Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengirim surat penolakan rencana pembangunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus