Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERBUAN polusi udara dan debu membuat Lembang tak lagi ideal untuk meneropong bintang. Kondisi ini sudah berlangsung sejak tiga dasawarsa silam, ketika wilayah permukiman kian mendekat pagar kompleks Observatorium Bosscha, dan jaringan listrik menerangi seluruh pelosok desa. Direktur Bosscha, Taufiq Hidayat, mengatakan bahwa Indonesia perlu memiliki observatorium baru khusus untuk penelitian. ”Tapi keberadaan Bosscha di Lembang harus tetap dipertahankan,” katanya.
Sebagai cagar budaya yang ditetapkan pemerintah pada 1992, Bosscha memang tidak boleh diusik apalagi dipindahkan. Observatorium yang sudah berusia 81 tahun ini memiliki nilai sejarah penting bagi Indonesia, khususnya di bidang perbintangan. Menurut Taufiq, Bosscha tetap diperlukan sebagai tempat pembinaan sumber daya manusia, para calon astronom, dan pendidikan bagi masyarakat. ”Karena tempat ini mudah dikunjungi,” kata dosen astronomi Institut Teknologi Bandung itu.
Wacana tentang perlunya membangun observatorium baru telah dimulai pada pertengahan dekade lalu. Taufiq mengatakan sudah ada tim yang mengkaji wilayah mana saja yang ideal untuk dijadikan markas peneropongan benda langit itu.
Salah satu calon lokasi observasi baru, menurut Taufiq, adalah Nusa Tenggara Timur. Kawasan ini paling ideal karena curah hujan dan kelembapannya rendah, serta minim tutupan awan. Menurut Taufiq, jika dibangun kelak, observatorium itu berada 120 kilometer di luar Kupang.
Selain Nusa Tenggara Timur, daerah yang sempat diincar untuk dijadikan tempat peneropongan adalah kawasan sekitar garis khatulistiwa, seperti Sumatera Barat dan Riau. Tapi dua daerah itu kerap tertutup awan, sehingga urung dipilih. Tim pengkaji juga sempat menunjuk dataran tinggi di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, tapi tingkat kelembapan akan merepotkan peneropong karena bisa mengurangi gemerlap bintang. Partikel air dalam udara yang lembap juga memantulkan cahaya ke teropong.
Bambang Hidayat, Kepala Observatorium Bosscha periode 1968-1999, mengatakan perlu riset panjang sebelum membangun sebuah observatorium. Ia mencontohkan sejumlah observatorium di pelbagai belahan dunia yang dibangun setelah dilakukan survei lokasi selama lima hingga enam tahun. ”Bahkan survei pembangunan Kitt Peak National Observatory di Hawaii, dan International Facilities di Cile, memakan waktu sepuluh tahun,” kata mantan Wakil Presiden International Astronomical Union ini.
Menurut Bambang, yang tak kalah penting sebagai bahan pertimbangan pemilihan sebuah lokasi observatorium adalah turbulensi alami. Turbulensi adalah pertukaran aliran panas dan dingin yang terjadi saat perubahan siang ke malam. Turbulensi membuat bintang yang diamati tampak bergetar. Lembang selama ini dinilai ideal buat tempat sebuah observatorium karena turbulensi alami hanya seperempat jam. Di sejumlah observatorium lain, turbulensi berlangsung lebih dari satu jam.
Toh, semua survei tak akan ada artinya bila tidak ada aturan yang melindungi fungsi observatorium. Taufik Hidayat mengatakan, untuk mengamankan fungsi itu, kawasan observatorium harus bersih dari permukiman dalam radius 50 kilometer. ”Makanya banyak observatorium yang letaknya di taman nasional, yang di dalamnya hampir tidak ada kegiatan manusia,” katanya. Selain itu, harus dibatasi pula kunjungan umum ke observatorium, sehingga penelitian dapat berlangsung dengan tenang.
Adek Media
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo