Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

'Kiamat' Hutan Indonesia

Hutan di Sulawesi nyaris lenyap. Kepunahan hutan di Sumatera dan Kalimantan akan menyusul.

5 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDEKATI Teluk Manado, perahu itu bergerak lamban. Sang nakhoda, Irwin Pontoh, melongokkan kepala. Ia terus mengawasi lambung perahu yang nyaris mencium dasar teluk. Untung, pengalamannya selama lima tahun menjadi sopir taksi air semacam itu membuat kapal dan penumpang tetap selamat. Ia bisa menghindari jebakan pasir dan batu sepanjang 100 meter yang menjorok ke laut. Toh, perjalanan melalui laut dengan taksi air itu jadinya tak nyaman. Memang, kini perjalanan melalui laut ke Pelabuhan Manado, Sulawesi Utara, tak seenak dulu lagi, terutama saat air laut surut. Kalau mau nyaman, maksudnya tak terjebak pasir dan batu, penumpang yang hendak ke Pulau Nain, Sangihe-Talaud, Maluku Utara, atau Palu, misalnya, harus menunggu hingga air laut pasang. Pasir dan batu tersebut, kata Irwin, kiriman dari hulu Sungai Tondano. Rombongan material itu akan makin banyak bila Danau Tondano di Minahasa, yang menjadi hulu Sungai Tondano, sedang ditimpa hujan deras. Air hujan mem-boyong material itu dan membenamkannya di Teluk Manado. Semua itu terjadi lantaran pasir dan batu tak bisa lagi ditahan akibat hutan asli di daerah aliran Sungai Tondano kian langka. Dari sekitar 30 persen luas hutan lindung di situ, kini tinggal lima persen. Penyebabnya apa lagi kalau bukan penebangan hutan yang terus-menerus terjadi. Sesungguhnya, potret hutan Tondano cuma bagian kecil dari sosok hutan Indonesia yang makin hancur. Menurut laporan Forest Watch Indonesia yang diluncurkan di Washington, AS, akhir Februari 2002, kawasan hutan di Sulawesi hampir lenyap. Sementara itu, hutan Sumatera diramalkan tinggal berumur tiga tahun. Di antrean berikutnya ada hutan Kalimantan, yang dikabarkan bakal punah pada tahun 2010. Saat ini Indonesia sudah kehilangan sekitar dua juta hektare hutan setiap tahun. Angka ini dua kali lipat dibandingkan dengan laju kerusakan hutan pada dasawarsa sebelumnya. Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2001, kerusakan hutan selama 20 tahun ini sudah mencakup luas 56,98 juta hektare. Pada 1950, luas tutupan hutan sekitar 162 juta hektare. Tapi sekarang tinggal 98 juta hektare. Memang pula, ada upaya pemerintah untuk mengerem pembabatan hutan secara tidak sah. Jumat pekan lalu, contohnya, Menteri Kehutanan M. Prakosa meneken nota kesepahaman dengan pemerintah Inggris. Isi dokumen itu menyiratkan kerja sama untuk mengurangi bahkan bila mungkin menghilangkan kegiatan penebangan haram. Perdagangan internasional kayu dan produk kayu curian juga akan dihentikan. Toh, kesepahaman tersebut cuma kebijakan di atas kertas. Itu perlu dibuktikan dengan adanya aksi konkret yang konsisten. Sementara itu, kawasan seperti Danau Tondano keburu lenyap dari peta. Sebab, kedalamannya saat ini tinggal 40 meter. Sewaktu pertama kali dicatat 60 tahun lalu, kedalamannya masih dua kali lipat. Tak terbayangkan bila Danau Tondano terus mendangkal. Danau itu sehari-harinya menjadi sumber air bersih bagi warga Minahasa dan Manado. Pembangkit listrik tenaga air Tonsea Lama serta Tanggari I dan II juga hidup dari air danau tersebut. Ketiga pembangkit listrik itu selama ini memasok 34 persen kebutuhan listrik Sulawesi Utara. Kalau krisis air danau terjadi, entah bagaimana pula nasib masyarakat yang hidup dari pertanian, peternakan, dan perikanan. Dibandingkan dengan Danau Tondano, kondisi Danau Limboto di Gorontalo lebih parah. Sekeliling danau ini sudah berubah menjadi daratan sejauh satu kilometer menjorok ke tengah danau. Setengah abad lalu, luas danau ini masih 7.000 hektare dengan kedalaman 14 meter. Kini luasnya 3.000 hektare dengan kedalaman tinggal 2 meter. Padahal danau inilah tulang punggung masyarakat di Kabupaten dan Kota Madya Gorontalo. "Kini orang makin susah mencari ikan di danau," kata Umar Sako, nelayan di Danau Limboto. Masih ada lagi akibat berikutnya yang tak kalah serius. Karena kemampuan danau untuk menyimpan air terus berkurang, banjir besar pun pernah melanda Gorontalo dua tahun lalu. Betapa bencana buruk itu tak terjadi bila kawasan resapan air menyusut dari 91 ribu hektare menjadi tinggal 23 ribu hektare. Okelah, ketika itu, pemerintah langsung mencabut lima izin hak pengusahaan hutan. Namun, belakangan Pemerintah Daerah Gorontalo mengegolkan lagi rekomendasi hak pengelolaan hutan untuk sebuah perusahaan daerah. Kalau demikian, bagaimana mungkin meredam penebangan hutan? Belum lagi aksi para penebang liar, yang makin menjamur, di sekitar hutan lindung Gorontalo. Alhasil, "Minahasa dan Gorontalo kini tak punya hutan lagi," kata Wakil Gubernur Sulawesi Utara, Freddy H. Sualang. Itu perkembangan buruk di Sulawesi. Adakah hal serupa akan terjadi di Sumatera dan Kalimantan? Jelas ini harus ditanggulangi dengan kesungguhan politik kehutanan dari pemerintah. Sementara itu, di tingkat masyarakat, barangkali model pengelolaan hutan kerakyatan seperti diterapkan di Desa Katu, Poso, Sulawesi Tengah, bisa dicermati secara serius. Agung Rulianto, Verianto Madjowa (Manado)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus