KESIBUKAN tampak meningkat di rumah Pantole. Puluhan pria dan wanita berkumpul sambil menikmati makan siang. Acara adat di rumah Kepala Desa Katu di Poso, Sulawesi Tengah, itu masih ditaati hingga kini. Mereka berkumpul untuk membantu sang Kepala Desa Pantole membuka hutan, yang akan dijadikan ladang.
Mereka bergotong-royong membuka lahan secara bergiliran di antara anggota kelompok bentukan mereka sendiri. Pantole mengelola dua lokasi hutan yang cukup luas. Tak seluruh lahan di dua lokasi itu diolahnya. Di setiap lokasi ada sawah, ladang, dan hutan. Pemanfaatannya juga bergiliran. Saat sisi timur digunakan untuk tanaman padi, bagian baratnya untuk tanaman kopi atau cokelat. Sisanya yang terbesar dibiarkan tetap bertudung hutan wilayah Taman Nasional Lore Lindu.
Pantole membuka ladang baru setelah ladang lama diolah selama empat tahun dan mulai tak subur. Pantole dan segenap orang Katu tak mengenal praktek jual-beli tanah. Mereka hanya menyewakan tanah bila ada yang butuh. Itu pun terbatas bagi orang Katu.
Bagi Pantole, fungsi hutan layaknya bank. Jika suatu saat membutuhkan uang, ia tinggal masuk hutan untuk mengambil rotan. Orang Katu memanfaatkan hasil hutan seperti rotan, bambu, pandan, dan binatang buruan. Untuk itu, mereka tetap menjaga hutan yang ada.
Sejak terbukanya ruas jalan Palolo-Napu sepuluh tahun lalu, akses ke pasar makin terbuka. Mereka lebih mudah menjual hasil rotan dari hutan. Harga rotan pun meningkat dua kali lipat dari semula hanya Rp 500 sekilogram.
Orang-orang Katu menempati area 94 hektare di Taman Nasional Lore Lindu, yang luasnya 229 ribu hektare. Dengan memperoleh hak untuk memanfaatkan hutan, orang Katu secara langsung akan menjaga kelestarian hutan. Sebab, hidup mereka bergantung pada hasil hutan non-kayu—maksudnya tak perlu menebangi kayu pepohonan di hutan.
Model pengelolaan hutan seperti di Katu sebenarnya cuma sebagian dari contoh sistem hutan kerakyatan yang diterapkan oleh 57 negara berkembang di dunia. Menurut laporan Center for International Forestry Research (Cifor) yang dilansir di London, Inggris, Maret 2002, sistem hutan kerakyatan sedang menjadi trend dunia.
Dalam laporan Cifor, lembaga milik Amerika yang berpusat di Bogor, Jawa Barat, hingga kini masyarakat lokal mengontrol sekitar 300 juta hektare atau 25 persen hutan dunia. Mereka yang berada di negara berkembang itu me-rupakan bagian dari 500 juta orang termiskin dunia.
Bila masyarakat sekitar hutan diberi kesempatan mendapat akses ekonomi, diperkirakan mereka akan terpacu untuk melindungi hutan. "Masyarakat di luar mereka tak akan membantu menjaga cadangan hutan," kata David Kaimowitz, Direktur Jenderal Cifor.
Laporan berjudul Making Markets Work for Forest Communities itu juga menambahkan bahwa pada contoh-contoh di 57 negara tesebut ternyata terjadi kerja sama antara masyarakat lokal dan industri kecil. Mereka mengolah produk hutan, baik kayu maupun non-kayu, secara lestari. Pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal merupakan hal penting bagi upaya konservasi. Sebab, saat ini hutan dunia yang dilindungi secara hukum sebagai cadangan sumber daya hayati tinggal delapan persen. Itu pun banyak yang "bolong".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini