Nur Iman Subono
Pengamat masalah Amerika Latin
HANYA butuh waktu dua hari bagi Hugo Chavez untuk mendapatkan kembali kedudukannya sebagai Presiden Venezuela, setelah kudeta bisa dipatahkan. Pemogokan buruh di perusahaan minyak berhadapan dengan masyarakat pendukung setia Chavez. Juga para jenderal yang dekat dengan pengusaha--yang mengangkat Pedro Carmona, pemimpin asosiasi bisnis terbesar di Venezuela, sebagai presiden transisi--berhadapan dengan militer loyalis Chavez, yang umumnya berasal dari perwira menengah ke bawah.
Situasi ini menunjukkan "pertarungan" yang sudah berlangsung lama antara mereka yang mendukung partidocracia, yang diwakili dua partai politik terbesar--Acción Democrática (AD) dan Comité de Organización Polítical Electoral Independiente (COPEI)--dan dictadura popular, yang bercorak populis dan personalis. Dictadura direpresentasikan dalam otoritas Hugo Chavez dengan organisasinya, Movimiento Quinta Republica (MVR), dan kelompok paramiliternya yang terkenal, "Bolivarian Circles".
Apa itu partidocracia? Partai demokrasi ini punya lima ciri. Pertama, representasi inklusif mewakili hampir seluruh masyarakat Venezuela. Keanggotaan individu dalam kedua partai tersebut lebih dari 31 persen dari semua pemilih. Basis dukungan AD lebih pada "masyarakat bawah" petani dan buruh. Sebaliknya, COPEI lebih mewakili elemen masyarakat kelas menengah urban, industriwan, dan kalangan agama. Kedua, kompetisi elektoral di antara dua partai tersebut diwarnai dengan berbagai perayaan, festival, dan mobilisasi. Tingkat golputnya hanya berkisar 12 persen sebelum tahun 1988. Ketiga, disiplin dari dua partai tersebut cenderung militan, mengarah pada "disiplin besi". Seluruh keputusan dan kekuasaan benar-benar berada di tangan partai (tepatnya, kelompok elite partai, yang dikenal dengan sebutan cogollo).
Keempat, elite-elite dari kedua partai tersebut selalu membina konsensus atas berbagai isu yang ada. Dengan demikian, berbagai kemungkinan munculnya konflik "di bawah" hampir selalu ternetralisasi di tingkat keputusan elite partai. Kelima, elite-elite partai membina hubungan yang baik dengan aktor-aktor strategis lainnya seperti militer, kalangan bisnis, dan lobi luar negeri, khususnya Amerika Serikat (Michael Coppedge, 1998).
Adapun sebagai perekatnya adalah politik minyak. Venezuela adalah negara pengekspor minyak keempat di dunia yang pemasukan pendapatan nasionalnya hampir 80 persen berasal dari minyak. Masalahnya, bangunan politik tersebut hanya melahirkan democracia pactada atau demokrasi berdasarkan pakta (Terry Lynn Karl, 1992). Hanya elite-elite yang membentuk pakta--baik di partai politik, pemerintahan dan birokrasi, parlemen, swasta dan BUMN, maupun militer--yang merasakan keuntungan ekonomi dan politik. Politik minyak benar-benar menjadi rebutan ekonomi-politik, dan ini yang kelihatannya akan diambil alih oleh Hugo Chavez dengan memasukkan orang-orangnya sebagai dewan direksi dalam Perusahaan Minyak Negara, PDVSA (Petroleos de Venezuela).
Partidocracia yang elitis ini pernah jaya pada 1970-an dan awal 1980-an, tapi sejak 1990-an mendapat tantangan yang kuat dari masyarakat, khususnya kalangan marginal dan urban perkotaan. Ini dipahami dengan baik oleh Hugo Chavez. Selain itu, sebagai mantan militer dari pasukan elite, yang pernah memimpin kudeta militer yang gagal pada 1992, ia memahami adanya "kesenjangan sosial dan ekonomi" dalam tubuh militer antara para jenderal dan kalangan perwira pertama serta prajurit bawahan. Kedua sektor inilah yang benar-benar digarap Hugo Chavez dengan politik populisnya segera setelah ia memenangi pemilu lebih dari 3 tahun yang lalu.
Dengan strategi ini, tidak mengherankan percobaan kudeta militer yang didukung lebih dari 30 perwira militer--termasuk Kepala Staf Militer Jenderal Efrain Vasquez Velasco dan Wakil Menteri Bidang Pertahanan Jenderal Luis Alberto Camacho Kairuz--mengalami kegagalan. Kudeta militer itu sebetulnya sudah relatif berhasil, apalagi AS sudah memberikan restu, tapi kelihatannya kalangan jenderal dan pengusaha di bawah Pedro Carmona terburu nafsu. Dengan membubarkan parlemen, membekukan undang-undang, dan menonaktifkan kabinet, para pengudeta secara langsung telah menghancurkan basis bangunan politik partidocracia. Mereka kelihatannya juga menganggap remeh kekuatan masyarakat yang selama ini terpinggirkan, termasuk kalangan militer yang lebih memegang pasukan di lapangan.
Satu hal lagi yang harus diungkapkan di sini adalah peranan AS, khususnya kalangan pemerintah dan industriwan. Kedekatan Chavez dengan pemimpin seperti Qadhafi (Libya) dan Saddam Hussein (Irak) serta rasa kagum Chavez terhadap Fidel Castro dengan eksperimen sosialisme Kubanya tentu saja sangat mengkhawatirkan AS. Belum lagi kerapatannya dengan gerilyawan Kolombia dan kecamannya terhadap politik perang AS di Afganistan, yang menurut dia telah banyak membawa korban sipil. Sementara itu, di sisi lain, sebagai negara yang menerima pasokan minyak terbesar ketiga dari Venezuela, AS sudah pasti sangat khawatir dengan sepak terjang Chavez yang dengan hak prerogatifnya berusaha mengambil alih perusahaan minyaknya. AS sendiri melalui komunike resminya menyangkal ada di belakang kudeta tersebut, meskipun tidak menyangkal telah bertemu dengan pihak-pihak yang terlibat dalam kudeta militer beberapa minggu sebelumnya. Perkembangan selanjutnya memang sangat bergantung salah satunya pada Hugo Chavez, yang akan memerintah hingga tahun 2006. Untuk sementara dictadura popular dengan aktor utamanya, Hugo Chavez, keluar sebagai pemenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini