DARI Jatiroto, Jawa Timur, seorang penumpang kereta api memangku
satu kurungan burung dengan penutup yang rapat. Di dalamnya
bukan burung, tapi sejumlah lalat. "Kok diamat-amati terus
seperti takut hilang," tegur penumpang lainnya, dengan nada
mengejek.
Waktu itu tahun 1961. Boedijono Wiriatmodjo, si pembawa lalat,
masih kuliah di IPB. Dan apa yang diejekkan orang itulah
menyebabkan Boedijono 15 tahun kemudian meraih gelar doktor
dalam teknologi gula.
Dengan lalatnya, Boedijono melakukan percobaan lapangan mulai
1968. Sengaja dipilihnya daerah yang tingkat hama tebunya sangat
tinggi. Yaitu di lingkungan pabrik gula Kadipaten, Majalengka,
Jawa Barat. Di situ populasi lalatnya masih nol, sedang
kerusakan ruas tebu mencapai 16,3%. Boedijono melepaskan di situ
sampai 30 pasang lalat tiap hektar. Pada musim tanam tebu
berikutnya, tahun 1969, tingkat kerusakannya menurun ke 10,7%.
Kemudian pelepasan lalat diteruskan, dan pada tahun 1972
dijumpai kerusakan ruas tebu tinggal 4,2%.
Lalat Pribumi
Boedijono menceritakan kembali pengalamannya pada pembantu TEMPO
Slamet Oerip Prihadi. Menjabat Kepala Sub Bagian Hama pada Balai
Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula (BP3G) Pasuruan,
Boedijono kini giat membiakkan lalat. Teman-temannya memberinya
gelar "pengusaha ternak lalat" pabrik-pabrik gula lainnya datang
ke Pasuruan membeli serangga itu.
Semua pabrik gula di Jawa pada musim tanam tahun ini sudah
menggunakan lalat sebagai pemberantas hama tebu. Pasuruan, Jawa
Timur, menjualnya sampai pekan lalu dengan harga Rp 60/ekor.
"Ini masih harga sebelum Kenop 15," ujar Boediono.
Permintaan akan lalat itu tampaknya meningkat. Di Cirebon,
Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) juga kini giat membiakkan
lalat. Tapi bukanlah sembarang lalat yang diternak mereka.
Adalah jenis diatraeophaga striatalis yang menjadi musuh utama
hama tebu yang disebut penggerek batang bergaris (chilo
sacchariphagus) dan penggerek batang berkilat (chilo
auricilius). Dalam disertasinya untuk gelar doktor, Boedijono
sendiri memberi nama lalat Jatiroto.
Kenapa? "Lho ini kan lalat pribumi. Adanya hanya di Jatiroto,"
kata Boedijono. Bahwa memang pribumi, Boedijono membuktikan
pula dengan datangnya perhatian dari negara-negara produsen gula
lainnya. India, Pakistan, Trinidad, Mauritius, Malagasy dan
Taiwan -- semua itu telah meminta contoh lalat dari peternakan
Pasuruan.
Para petugas melepas lalat di kebun ketika tebu sudah berusia 5
bulan. Lalat ini mempunyai kesukaan bertelur pada lubang tebu
atau gelagah (sejenis tebu, tapi kecil-kecil seperti rumput).
Sekali genjot, seekor lalat menghasilkan 150 sampai 500 telur.
Hanya dalam beberapa detik telur itu sudah menetas menjadi
larva kecil. Warnanya putih dan sudah bisa mencari makanan
sendiri --dengan jalan subversi. Larva itu menerobos ke tubuh
ulat tebu dan menggerogoti mangsanya dari dalam. Seekor ulat
bisa dimasuki beberapa larva lalat, tapi umumnya hanya 1 larva
yang akhirnya bertahan.
Larva itu hidup dengan ulat sebagai inangnya. Maka dalam tempo
10 hari saja habislah isi ulat tadi, hingga mati dengan
sendirinya. Ulat tebu yang tadinya sepanjang 2 cm dan bergaris
tengah 0,5 cm menjadi kering. Larva pun berubah menjadi
kepompong. Sepuluh atau 12 hari kemudian kepompong pecah menjadi
lalat. Ukuran lalat ini hampir sama dengan yang sering dijumpai
di tempat sampah. (lihat box).
Bahaya Pestisida
Seandainya dalam lokasi tertentu ulat tebunya sudah tidak ada
lagi, telur tersebut masih bisa menetas, tapi larvanya akan
mati. "Jadi tidak perlu kuatir kalau suatu ketika akan terjadi
kelebihan lalat yang membahayakan lingkungan manusia," kata
Boedijono.
Lalat dari kebun tebu -- setelah melewati musim tebang --
biasanya terbang ke hutan gelagah untuk meneruskan hidupnya di
sana. Setelah ada lagi kebun tebu, lalat pun kembali ke sana.
Tapi karena makin padanya penduduk dan intensifnya
pendayagunaan tanah, hutan gelagah sudah hampir tidak bisa
ditemui lagi. Lantas lalat itu pun punah setelah musim tebu
selesai. Ini mengakibatkan lalat makin langka, sedang
populasinya diperlukan untuk membasmi hama tebu dengan sistem
pengendalian hayati.
Dengan pestisida -- orthein, misalnya -- bisa juga hama tebu
dibasmi. Tapi pestisida cenderung merusak lingkungan. Justru
untuk mencegah bahaya lingkungan, maka para ahli mencoba
mengembangkan konsep baru, seperti cara memanfaatkan lalat tadi.
Tapi lalat kebun tebu ini pun bisa terancam oleh pestisida yang
disemprotkan dari udara ke tanaman padi untuk membasmi wereng
Kebetulan ada juga sawah yang berdekatan dengan kebun tebu.
Sistem pemberantasan hayati telah dicoba juga oleh Lembaga
Penelitian Tanaman Industri. Masih di laboratorium percobaan
sekali ini adalah untuk membasmi hama kwangwung (oryctes rhino
ceros) yang menghancurkan kelapa.
Bagaimana kalau sistem sama dipakai untuk membasmi wereng?
"Soalnya usia tanaman padi terlalu pendek yang mungkin
menyulitkan penelitian," kata Boedijono. Namun ia berpendapar
bahwa ada kemungkinan sistem ini bisa juga dipakai terhadap
wereng. Ia menunjuk pada literatur, antara lain ditulis oleh de
Bach, ahli Belanda, yang berpendapat bahwa ada 110 jenis hama
serangga tanaman yang bisa dikendalikan secara hayati dengan
menggunakan parasit dan predator. Burung walet, misalnya, bisa
ikut menjadi pembasmi wereng. Tapi populasi burung itu sangat
terbatas.
Jenis hama tanaman tampaknya berkembang terus. Tanaman tebu di
areal. PG Madukismo Yogyakarta, umpamanya, terserang hama uret
yang tidak terjangkau oleh lalat. Uret bersembunyi dalam tanah,
merusak akar tebu. Laboratorium Fakultas Pertanian UGM,
kabarnya, akan meneliti bagaimana pula cara membasminya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini