Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ada Juga Gunanya Lalat

Lalat jenis diatraeophaga striatalis dari Jatiroto yang bisa membasmi hama tebu. Lebih ampuh secara hayati ketimbang pestisida. Boedijono dengan lalatnya melakukan percobaan lapangan mulai 1968. (ling)

7 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI Jatiroto, Jawa Timur, seorang penumpang kereta api memangku satu kurungan burung dengan penutup yang rapat. Di dalamnya bukan burung, tapi sejumlah lalat. "Kok diamat-amati terus seperti takut hilang," tegur penumpang lainnya, dengan nada mengejek. Waktu itu tahun 1961. Boedijono Wiriatmodjo, si pembawa lalat, masih kuliah di IPB. Dan apa yang diejekkan orang itulah menyebabkan Boedijono 15 tahun kemudian meraih gelar doktor dalam teknologi gula. Dengan lalatnya, Boedijono melakukan percobaan lapangan mulai 1968. Sengaja dipilihnya daerah yang tingkat hama tebunya sangat tinggi. Yaitu di lingkungan pabrik gula Kadipaten, Majalengka, Jawa Barat. Di situ populasi lalatnya masih nol, sedang kerusakan ruas tebu mencapai 16,3%. Boedijono melepaskan di situ sampai 30 pasang lalat tiap hektar. Pada musim tanam tebu berikutnya, tahun 1969, tingkat kerusakannya menurun ke 10,7%. Kemudian pelepasan lalat diteruskan, dan pada tahun 1972 dijumpai kerusakan ruas tebu tinggal 4,2%. Lalat Pribumi Boedijono menceritakan kembali pengalamannya pada pembantu TEMPO Slamet Oerip Prihadi. Menjabat Kepala Sub Bagian Hama pada Balai Penyelidikan Perusahaan Perkebunan Gula (BP3G) Pasuruan, Boedijono kini giat membiakkan lalat. Teman-temannya memberinya gelar "pengusaha ternak lalat" pabrik-pabrik gula lainnya datang ke Pasuruan membeli serangga itu. Semua pabrik gula di Jawa pada musim tanam tahun ini sudah menggunakan lalat sebagai pemberantas hama tebu. Pasuruan, Jawa Timur, menjualnya sampai pekan lalu dengan harga Rp 60/ekor. "Ini masih harga sebelum Kenop 15," ujar Boediono. Permintaan akan lalat itu tampaknya meningkat. Di Cirebon, Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) juga kini giat membiakkan lalat. Tapi bukanlah sembarang lalat yang diternak mereka. Adalah jenis diatraeophaga striatalis yang menjadi musuh utama hama tebu yang disebut penggerek batang bergaris (chilo sacchariphagus) dan penggerek batang berkilat (chilo auricilius). Dalam disertasinya untuk gelar doktor, Boedijono sendiri memberi nama lalat Jatiroto. Kenapa? "Lho ini kan lalat pribumi. Adanya hanya di Jatiroto," kata Boedijono. Bahwa memang pribumi, Boedijono membuktikan pula dengan datangnya perhatian dari negara-negara produsen gula lainnya. India, Pakistan, Trinidad, Mauritius, Malagasy dan Taiwan -- semua itu telah meminta contoh lalat dari peternakan Pasuruan. Para petugas melepas lalat di kebun ketika tebu sudah berusia 5 bulan. Lalat ini mempunyai kesukaan bertelur pada lubang tebu atau gelagah (sejenis tebu, tapi kecil-kecil seperti rumput). Sekali genjot, seekor lalat menghasilkan 150 sampai 500 telur. Hanya dalam beberapa detik telur itu sudah menetas menjadi larva kecil. Warnanya putih dan sudah bisa mencari makanan sendiri --dengan jalan subversi. Larva itu menerobos ke tubuh ulat tebu dan menggerogoti mangsanya dari dalam. Seekor ulat bisa dimasuki beberapa larva lalat, tapi umumnya hanya 1 larva yang akhirnya bertahan. Larva itu hidup dengan ulat sebagai inangnya. Maka dalam tempo 10 hari saja habislah isi ulat tadi, hingga mati dengan sendirinya. Ulat tebu yang tadinya sepanjang 2 cm dan bergaris tengah 0,5 cm menjadi kering. Larva pun berubah menjadi kepompong. Sepuluh atau 12 hari kemudian kepompong pecah menjadi lalat. Ukuran lalat ini hampir sama dengan yang sering dijumpai di tempat sampah. (lihat box). Bahaya Pestisida Seandainya dalam lokasi tertentu ulat tebunya sudah tidak ada lagi, telur tersebut masih bisa menetas, tapi larvanya akan mati. "Jadi tidak perlu kuatir kalau suatu ketika akan terjadi kelebihan lalat yang membahayakan lingkungan manusia," kata Boedijono. Lalat dari kebun tebu -- setelah melewati musim tebang -- biasanya terbang ke hutan gelagah untuk meneruskan hidupnya di sana. Setelah ada lagi kebun tebu, lalat pun kembali ke sana. Tapi karena makin padanya penduduk dan intensifnya pendayagunaan tanah, hutan gelagah sudah hampir tidak bisa ditemui lagi. Lantas lalat itu pun punah setelah musim tebu selesai. Ini mengakibatkan lalat makin langka, sedang populasinya diperlukan untuk membasmi hama tebu dengan sistem pengendalian hayati. Dengan pestisida -- orthein, misalnya -- bisa juga hama tebu dibasmi. Tapi pestisida cenderung merusak lingkungan. Justru untuk mencegah bahaya lingkungan, maka para ahli mencoba mengembangkan konsep baru, seperti cara memanfaatkan lalat tadi. Tapi lalat kebun tebu ini pun bisa terancam oleh pestisida yang disemprotkan dari udara ke tanaman padi untuk membasmi wereng Kebetulan ada juga sawah yang berdekatan dengan kebun tebu. Sistem pemberantasan hayati telah dicoba juga oleh Lembaga Penelitian Tanaman Industri. Masih di laboratorium percobaan sekali ini adalah untuk membasmi hama kwangwung (oryctes rhino ceros) yang menghancurkan kelapa. Bagaimana kalau sistem sama dipakai untuk membasmi wereng? "Soalnya usia tanaman padi terlalu pendek yang mungkin menyulitkan penelitian," kata Boedijono. Namun ia berpendapar bahwa ada kemungkinan sistem ini bisa juga dipakai terhadap wereng. Ia menunjuk pada literatur, antara lain ditulis oleh de Bach, ahli Belanda, yang berpendapat bahwa ada 110 jenis hama serangga tanaman yang bisa dikendalikan secara hayati dengan menggunakan parasit dan predator. Burung walet, misalnya, bisa ikut menjadi pembasmi wereng. Tapi populasi burung itu sangat terbatas. Jenis hama tanaman tampaknya berkembang terus. Tanaman tebu di areal. PG Madukismo Yogyakarta, umpamanya, terserang hama uret yang tidak terjangkau oleh lalat. Uret bersembunyi dalam tanah, merusak akar tebu. Laboratorium Fakultas Pertanian UGM, kabarnya, akan meneliti bagaimana pula cara membasminya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus