Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Langganan lari, cewek kabur

Dituduh menganiaya, merampok, mengisap ganja, disekap, disiksa, akhirnya dibebaskan dan dilepaskan dari segala tuduhan. sang ibu menangis dapat kiriman baju anaknya yang belepotan darah.

7 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN berkata "Kurangnya rasa keadilan yang dilindungi hukum, jelas akan merupakan salah satu sumber keresahan masyarakat." Beliau juga mengingatkan agar aparat-aparat penegak hukum dapat mencegah peristiwa atau suara-suara dalam masyarakat yang dapat mencemarkan nama baik dan martabat badan-badan peradilan. Setidak-tidaknya segera menjernihkan duduk soalnya. Semua itu diucapkan sewaktu membuka Seminar Hukum Nasional ke IV di Istana Negara pekan lalu di Jakarta. Kata-kata tersebut mungkin terasa sebagai kata-kata lama yang sudah berulang kali diucapkan. Tapi jelas ia tetap merupakan tuntutan dari banyak orang. Paling sedikit tuntutan dari rakyat yang secara phisik telah sempat menderita akibat tindakan aparat-aparat penegak hukum. Sebagaimana misalnya terjadi pada beberapa orang di Kisaran, Sumatera Utara. Menuntut Polisi? Ujar Sahdan, tukang kayu yang berusia 34 tahun. Penduduk Desa Gambir Baru (Kisaran) ini tiba-tiba mengalami nasib sial 1 Oktober tahun lalu. Malam sebelumnya ia bertandang main trup di rumah tetangganya. Lepas tengah malam dia baru pulang. Langsung tidur. Tahu-tahu esok paginya datang polisi menangkap dengan tuduhan sekitar pukul 22.00 malam kemarin ia telah menganiaya Surdin Siagian. Di hadapan juru periksa Sahdan membantah semua tuduhan. Ia memberikan alibi, di mana ia berada saat penganiayaan itu dilakukan. Tetangganya beserta keempat temannya bersedia memberikan kesaksian. Tetapi polisi tetap pada tuduhan. Tujuh belas hari Sahdan mendekam dalam sel. Sebagaimana diketahui sel bukanlah sebuah hotel yang aman. Di sana Sahdan sempat merasakan betapa rasanya sakit. Untung polisi cepat mengetahui persoalan sebenarnya. Ada bukti baru bahwa Surdin yang menjadi korban dan diopname di Rumah Sakit, ternyata adalah buronan polisi karena telah melakukan serangkaian pencurian. Maka Sahdan pun dilepaskan. "Wah saya gembira bukan main," ujar Sahdan kepada Amran Nasution dari TEMPO. "Burung saja pun kalau dikurung ingin lepas. Apalagi namanya manusia." Ada beberapa perkara yang menebabkan Sahdan sangat gembira. Sebagai tukang kayu gaji hariannya Rp 700. Kalau tak kerja berarti tidak ada pemasukan. Dengan pembebasan ini dia tidak saja bisa kembali menyambung nafas anak bininya, juga memulihkan kepercayaan masyarakat yang hampir saja menggoreskan arang pada namanya. "Saya sudah bisa lagi mencarikan nafkah isteri dan anak-anak saya," ujarnya dengan gembira. Dengan gembira. Ini penting sekali. Sebab belum tentu orang tak bersalah setelah dilepaskan gembira. sanyak juga yang jadi marah dan balas hendak menuntut balik. Selama berada dalam sekapan, ekonomi keluarga Sahdan memang berantakan. Menu nasi terpaksa diganti dengan singkong dan keladi. "Malah satu hari kami pernah tidak makan apa-apa," ujar isterinya. Setelah suaminya keluar, dengan kelima anaknya ia mulai makan nasi lagi. Tetapi untuk menuntut ganti rugi kepada polisi sama sekali tak terlintas dalam benaknya maupun suaminya. "Wah apa sudah gila kita mau menuntut polisi, dilepas saja sudah syukur, kalau saya ditahan terus mau bilang apa, ujarnya dengan mata tercengang. "Kita tidak boleh melawan pihak yang berwajib. Walau kita ditangkap dalam keadaan tidak bersalah," kata Lindung Marpaung seorang anak pensiunan polisi. Lindung (17 tahun) bekerja sebagai kenek bus POVRI (Persatuan Oto Veteran Republik Indonesia). Bersama rekannya Memet alias Taswin, ia juga sempat disekap rapi kemudian ternyata tanpa kesalahan. Kisah mereka ini pula terjadi Oktober tahun lalu. Hari itu Ruminta boru Manurung, gadis 22 tahun yang bekerja di Balai Pengobatan Perkebunan Sungai Dadap (Kisaran) dirampok. Di siang bolong, pulang dari kerja tatkala menuju rumahnya di kampung Sentang, muncul dua pemuda menghadang. Perampok itu mengendarai sepeda motor. Seuntai kalung emas direnggutkan dari leher korban Ruminta menjerit, tapi tempat itu lengang, tak ada pertolongan datang. Setelah Ruminta pulang, ia ditemani ayalnya untuk melapor ke polisi. Pukul Saja Tatkala menuju kantor polisi, Ruminta melihat orang yang dicurigainya berada di atas bus POVRI BK 727. Polisi memakai itu sebagai bahan pengusutan. "Ciri-ciri pemuda itu gondrong kulitnya hitam," kata Ruminta. Tak ayal lagi polisi merazzia kenek bus yang kebetulan gondrong dan berkulit hitam inilah awalnya Lindung Marpaung tertangkap. "Wah tampangnya memang tampang perampok. Kalau dia tidak mengaku pukul saja," ujar salah seorang polisi sewaktu menangkap Lindung. "Wah saya takut setengah mati, mau, terkencing rasanya," ujar Lindung: mengingat peristiwa tersebut. Ia belum pernah sekali juga berurusan dengan polisi. Untung ia tak dipukuli, hanya dibawa ke dalam sebuah sel sempit. "Mungkin karena tak sampai hati memukul saya, tahu ayah saya bekas polisi," Ujar Lindung. Selama empat hari Lindung terkurung. Kemudian ayahnya datang mengurus. Beberapa orang saksi segera menjelaskan, pada hari peristiwa tersebut Lindung terus menerus berada di pemberhentian bus. Sedangkan kampung Sentang letaknya 4 Km. Alibi ini menolong. Lindung dibebaskan. Tetapi hari itu juga Memet alias Taswin ganti ditangkap, karena rambutnya gondrong dan kulitnya hitam. "Kami mengalami nasib sial karena berambut gondrong, kata Lindung yang sekarang sudah kapok memelihara rambut panjang. Mungkin karena Memet tak punya bapak pensiunan polisi, nasibnya lebih sial. Selama sebulan ia terkurung. Dasar tak bersalah ia tak mau mengakui tuduhan. Akibatnya ia terpaksa harus makan tinju dan terjangan. Ibunya di runah sampai pingsan-pingsan, menangis tak keruan ketika melihat baju anaknya yang dikirim pulang belepotan darah. Ruslan, abang Memet, kebetulan pegawai kantor Camat Kisaran. Ia segera muncul di kantor polisi dan mengamuk. Polisi mana boleh main pukul. Kan sudah ada instruksi Menhankam," teriakya di kantor polisi. la langsung menantang berduel seorang kopral yang terlibat pemukulan adiknya. Ruminta Manurung, entah kenapa terus saja menuding kepada Memet sebagai perampok, sampai Pengadilan Negeri Tanjung Balai memberikan keadilan. Memet dibebaskan dari segala tuduhan dan tuntutan hukum. Alibinya kuat, berdasarkan kesaksian. Sementara Ruminta yang terus teguh menuduh Memet di kantor polisi, dalam persidangan ternyata tidak muncul. Lepas dari sekapan Memet tampak seperti orang bodoh. Barangkali jiwanya mengalami keretakan karena peristiwa tersebut. Menurut Lindung sekarang ia sering sembahyang. "Saya bisa bebas sudah syukur, Tuhan nanti yang menuntut untuk saya ujarnya. Kemudian ia menambahkan: "Saya sudah bersumpah tidak mau pakai rambut gondrong lagi." Korban lain bernama Dirgahayu Pane, usia 24 tahun tinggal di Jalan Sisingamangaraja Kisaran juga. Ia dijuluki pujaan gadis-gadis. Kenapa? Ia ulet bekerja dan sudah sanggup berdiri sendiri. la masuk kebun dan kampung menjajakan sepatu, sandal, pakaian, barang-barang kelontong -- ah, apa saja. Akibatnya ia sanggup berpakaian necis, duit tak pernah putus. Kalau bertandang ke rumah gadis ia naik motor Honda CG 125 CC baru. Gadis-gadis Kisaran ngiler deh. Di bulan puasa, tengah malam ia kena musibah. Sedang rame-rame ngobrol dengan kawannya di tengah jalan -- pada jam 24.00 WIB --tiba-tiba muncul jeep. Tiga anggota polisi dengan todongan pistol menangkapnya dengan tuduhan-berdebat dan berdiskusi tanpa izin. "Saudara dirazzia karena putusan Musda (Musyawarah Daerah) tentang jam malam," kata pihak yang menangkapnya. Dirgahayu dan rekan-rekannya dimasukkan sel. Dua malam di sel teman-teman Dirgahayu dilepas. Tapi ia bersama Zulkarnen tetap mendekam. "Yang karena melanggar jam malam sudah boleh keluar, tapi kamu berdua terlibat mengisap ganja," kata juru periksa ketika Dirgahayu mencoba bertanya. Karuan saja anak muda itu jadi bengong. Tersedu-sedu Dalam proses verbal, muncul tokoh bernama Udin, seorang pengecer ganja yang ditangkap seminggu sebelumnya. Udin rupanya menuduh Dirgahayu dan Zulkarnaen termasuk daftar langganannya. Tentu saja kedua pemuda yang tak merasa jadi langganan ganja itu menolak. Orang tua pemuda ini kemudian bergerak. Empat hari kemudian Zulkarnaen dibebaskan. Tapi sial Dirgahayu sendiri harus mendekam sampai 15 hari. Ia sempat dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan Pulau Simardan Tanjung Balai. Untung kemudian jaksa melepaskannya. "Kata jaksa, tuduhan kepada saya kurang kuat," kata Dirgahayu. Rupa-rupanya setelah berhadapan dengan hakim, Udin sang pengedar ganja tak bisa lagi menahan kebohongannya. la menangis tersedu-sedu. Lalu mengakui tuduhannya palsu. "Habis saya tak tahan dipukuli, pak, disuruh menuduh mereka-mereka ini," katanya kepada hakim, ketika ia diajukan sebagai saksi. Sepintas lalu nasib Dirgahayu memang lebih baik dari Zulkarnaen, tetapi nyatanya tidak. "Karena tidak bebas melalui sidang, Zul sering ditakut-takuti oleh oknum polisi. Saya tidak, karena saya bebas dari pengadilan," kata Dirgahayu. Meskipun sudah bebas, Dirgahayu mungkin tidak sepopuler dahulu lagi di kalangan gadis-gadis. "Saya memang tak bersalah, tapi karena sudah ditangkap polisi, orang menyangka saya bersalah saja," katanya setengah mengadu. "Buktinya cewek-cewek banyak yang sekarang sangsi sama saya. Katanya saya ini pengisap ganja." Lebih dari itu urusan dagangnya juga jadi rusak. Lebih dari sebulan dalam tahanan, langganan-langganannya disikat oleh orang lain. "Maklum sekarang saingan banyak. Meleng sedikir saja kita sudah disikat, ujarnya lebih lanjut. Wah saya rugi banyak, cewek juga lari!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus