PRESIDEN berkata "Kurangnya rasa keadilan yang dilindungi hukum,
jelas akan merupakan salah satu sumber keresahan masyarakat."
Beliau juga mengingatkan agar aparat-aparat penegak hukum dapat
mencegah peristiwa atau suara-suara dalam masyarakat yang dapat
mencemarkan nama baik dan martabat badan-badan peradilan.
Setidak-tidaknya segera menjernihkan duduk soalnya.
Semua itu diucapkan sewaktu membuka Seminar Hukum Nasional ke IV
di Istana Negara pekan lalu di Jakarta. Kata-kata tersebut
mungkin terasa sebagai kata-kata lama yang sudah berulang kali
diucapkan. Tapi jelas ia tetap merupakan tuntutan dari banyak
orang. Paling sedikit tuntutan dari rakyat yang secara phisik
telah sempat menderita akibat tindakan aparat-aparat penegak
hukum. Sebagaimana misalnya terjadi pada beberapa orang di
Kisaran, Sumatera Utara.
Menuntut Polisi?
Ujar Sahdan, tukang kayu yang berusia 34 tahun. Penduduk Desa
Gambir Baru (Kisaran) ini tiba-tiba mengalami nasib sial 1
Oktober tahun lalu. Malam sebelumnya ia bertandang main trup di
rumah tetangganya. Lepas tengah malam dia baru pulang. Langsung
tidur. Tahu-tahu esok paginya datang polisi menangkap dengan
tuduhan sekitar pukul 22.00 malam kemarin ia telah menganiaya
Surdin Siagian.
Di hadapan juru periksa Sahdan membantah semua tuduhan. Ia
memberikan alibi, di mana ia berada saat penganiayaan itu
dilakukan. Tetangganya beserta keempat temannya bersedia
memberikan kesaksian. Tetapi polisi tetap pada tuduhan. Tujuh
belas hari Sahdan mendekam dalam sel. Sebagaimana diketahui sel
bukanlah sebuah hotel yang aman. Di sana Sahdan sempat merasakan
betapa rasanya sakit. Untung polisi cepat mengetahui persoalan
sebenarnya. Ada bukti baru bahwa Surdin yang menjadi korban dan
diopname di Rumah Sakit, ternyata adalah buronan polisi karena
telah melakukan serangkaian pencurian. Maka Sahdan pun
dilepaskan. "Wah saya gembira bukan main," ujar Sahdan kepada
Amran Nasution dari TEMPO. "Burung saja pun kalau dikurung ingin
lepas. Apalagi namanya manusia."
Ada beberapa perkara yang menebabkan Sahdan sangat gembira.
Sebagai tukang kayu gaji hariannya Rp 700. Kalau tak kerja
berarti tidak ada pemasukan. Dengan pembebasan ini dia tidak
saja bisa kembali menyambung nafas anak bininya, juga memulihkan
kepercayaan masyarakat yang hampir saja menggoreskan arang pada
namanya. "Saya sudah bisa lagi mencarikan nafkah isteri dan
anak-anak saya," ujarnya dengan gembira. Dengan gembira. Ini
penting sekali. Sebab belum tentu orang tak bersalah setelah
dilepaskan gembira. sanyak juga yang jadi marah dan balas hendak
menuntut balik.
Selama berada dalam sekapan, ekonomi keluarga Sahdan memang
berantakan. Menu nasi terpaksa diganti dengan singkong dan
keladi. "Malah satu hari kami pernah tidak makan apa-apa," ujar
isterinya. Setelah suaminya keluar, dengan kelima anaknya ia
mulai makan nasi lagi. Tetapi untuk menuntut ganti rugi kepada
polisi sama sekali tak terlintas dalam benaknya maupun suaminya.
"Wah apa sudah gila kita mau menuntut polisi, dilepas saja sudah
syukur, kalau saya ditahan terus mau bilang apa, ujarnya
dengan mata tercengang.
"Kita tidak boleh melawan pihak yang berwajib. Walau kita
ditangkap dalam keadaan tidak bersalah," kata Lindung Marpaung
seorang anak pensiunan polisi. Lindung (17 tahun) bekerja
sebagai kenek bus POVRI (Persatuan Oto Veteran Republik
Indonesia). Bersama rekannya Memet alias Taswin, ia juga sempat
disekap rapi kemudian ternyata tanpa kesalahan. Kisah mereka
ini pula terjadi Oktober tahun lalu.
Hari itu Ruminta boru Manurung, gadis 22 tahun yang bekerja di
Balai Pengobatan Perkebunan Sungai Dadap (Kisaran) dirampok. Di
siang bolong, pulang dari kerja tatkala menuju rumahnya di
kampung Sentang, muncul dua pemuda menghadang. Perampok itu
mengendarai sepeda motor. Seuntai kalung emas direnggutkan dari
leher korban Ruminta menjerit, tapi tempat itu lengang, tak ada
pertolongan datang. Setelah Ruminta pulang, ia ditemani ayalnya
untuk melapor ke polisi.
Pukul Saja
Tatkala menuju kantor polisi, Ruminta melihat orang yang
dicurigainya berada di atas bus POVRI BK 727. Polisi memakai
itu sebagai bahan pengusutan. "Ciri-ciri pemuda itu gondrong
kulitnya hitam," kata Ruminta. Tak ayal lagi polisi merazzia
kenek bus yang kebetulan gondrong dan berkulit hitam inilah
awalnya Lindung Marpaung tertangkap. "Wah tampangnya memang
tampang perampok. Kalau dia tidak mengaku pukul saja," ujar
salah seorang polisi sewaktu menangkap Lindung.
"Wah saya takut setengah mati, mau, terkencing rasanya," ujar
Lindung: mengingat peristiwa tersebut. Ia belum pernah sekali
juga berurusan dengan polisi. Untung ia tak dipukuli, hanya
dibawa ke dalam sebuah sel sempit. "Mungkin karena tak sampai
hati memukul saya, tahu ayah saya bekas polisi," Ujar Lindung.
Selama empat hari Lindung terkurung. Kemudian ayahnya datang
mengurus. Beberapa orang saksi segera menjelaskan, pada hari
peristiwa tersebut Lindung terus menerus berada di
pemberhentian bus. Sedangkan kampung Sentang letaknya 4 Km.
Alibi ini menolong. Lindung dibebaskan. Tetapi hari itu juga
Memet alias Taswin ganti ditangkap, karena rambutnya gondrong
dan kulitnya hitam. "Kami mengalami nasib sial karena berambut
gondrong, kata Lindung yang sekarang sudah kapok memelihara
rambut panjang.
Mungkin karena Memet tak punya bapak pensiunan polisi, nasibnya
lebih sial. Selama sebulan ia terkurung. Dasar tak bersalah ia
tak mau mengakui tuduhan. Akibatnya ia terpaksa harus makan
tinju dan terjangan. Ibunya di runah sampai pingsan-pingsan,
menangis tak keruan ketika melihat baju anaknya yang dikirim
pulang belepotan darah. Ruslan, abang Memet, kebetulan pegawai
kantor Camat Kisaran. Ia segera muncul di kantor polisi dan
mengamuk. Polisi mana boleh main pukul. Kan sudah ada instruksi
Menhankam," teriakya di kantor polisi. la langsung menantang
berduel seorang kopral yang terlibat pemukulan adiknya.
Ruminta Manurung, entah kenapa terus saja menuding kepada Memet
sebagai perampok, sampai Pengadilan Negeri Tanjung Balai
memberikan keadilan. Memet dibebaskan dari segala tuduhan dan
tuntutan hukum. Alibinya kuat, berdasarkan kesaksian. Sementara
Ruminta yang terus teguh menuduh Memet di kantor polisi, dalam
persidangan ternyata tidak muncul.
Lepas dari sekapan Memet tampak seperti orang bodoh. Barangkali
jiwanya mengalami keretakan karena peristiwa tersebut. Menurut
Lindung sekarang ia sering sembahyang. "Saya bisa bebas sudah
syukur, Tuhan nanti yang menuntut untuk saya ujarnya.
Kemudian ia menambahkan: "Saya sudah bersumpah tidak mau pakai
rambut gondrong lagi."
Korban lain bernama Dirgahayu Pane, usia 24 tahun tinggal di
Jalan Sisingamangaraja Kisaran juga. Ia dijuluki pujaan
gadis-gadis. Kenapa? Ia ulet bekerja dan sudah sanggup berdiri
sendiri. la masuk kebun dan kampung menjajakan sepatu, sandal,
pakaian, barang-barang kelontong -- ah, apa saja. Akibatnya ia
sanggup berpakaian necis, duit tak pernah putus. Kalau
bertandang ke rumah gadis ia naik motor Honda CG 125 CC baru.
Gadis-gadis Kisaran ngiler deh.
Di bulan puasa, tengah malam ia kena musibah. Sedang rame-rame
ngobrol dengan kawannya di tengah jalan -- pada jam 24.00 WIB
--tiba-tiba muncul jeep. Tiga anggota polisi dengan todongan
pistol menangkapnya dengan tuduhan-berdebat dan berdiskusi tanpa
izin. "Saudara dirazzia karena putusan Musda (Musyawarah Daerah)
tentang jam malam," kata pihak yang menangkapnya. Dirgahayu dan
rekan-rekannya dimasukkan sel.
Dua malam di sel teman-teman Dirgahayu dilepas. Tapi ia bersama
Zulkarnen tetap mendekam. "Yang karena melanggar jam malam
sudah boleh keluar, tapi kamu berdua terlibat mengisap ganja,"
kata juru periksa ketika Dirgahayu mencoba bertanya. Karuan saja
anak muda itu jadi bengong.
Tersedu-sedu
Dalam proses verbal, muncul tokoh bernama Udin, seorang pengecer
ganja yang ditangkap seminggu sebelumnya. Udin rupanya menuduh
Dirgahayu dan Zulkarnaen termasuk daftar langganannya. Tentu
saja kedua pemuda yang tak merasa jadi langganan ganja itu
menolak. Orang tua pemuda ini kemudian bergerak. Empat hari
kemudian Zulkarnaen dibebaskan. Tapi sial Dirgahayu sendiri
harus mendekam sampai 15 hari. Ia sempat dikirim ke Lembaga
Pemasyarakatan Pulau Simardan Tanjung Balai. Untung kemudian
jaksa melepaskannya. "Kata jaksa, tuduhan kepada saya kurang
kuat," kata Dirgahayu.
Rupa-rupanya setelah berhadapan dengan hakim, Udin sang pengedar
ganja tak bisa lagi menahan kebohongannya. la menangis
tersedu-sedu. Lalu mengakui tuduhannya palsu. "Habis saya tak
tahan dipukuli, pak, disuruh menuduh mereka-mereka ini," katanya
kepada hakim, ketika ia diajukan sebagai saksi. Sepintas lalu
nasib Dirgahayu memang lebih baik dari Zulkarnaen, tetapi
nyatanya tidak. "Karena tidak bebas melalui sidang, Zul sering
ditakut-takuti oleh oknum polisi. Saya tidak, karena saya bebas
dari pengadilan," kata Dirgahayu.
Meskipun sudah bebas, Dirgahayu mungkin tidak sepopuler dahulu
lagi di kalangan gadis-gadis. "Saya memang tak bersalah, tapi
karena sudah ditangkap polisi, orang menyangka saya bersalah
saja," katanya setengah mengadu. "Buktinya cewek-cewek banyak
yang sekarang sangsi sama saya. Katanya saya ini pengisap
ganja." Lebih dari itu urusan dagangnya juga jadi rusak. Lebih
dari sebulan dalam tahanan, langganan-langganannya disikat oleh
orang lain.
"Maklum sekarang saingan banyak. Meleng sedikir saja kita sudah
disikat, ujarnya lebih lanjut. Wah saya rugi banyak, cewek juga
lari!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini