KEMARAU '82 mungkin tidak seganas seperti gambaran Iwan
Simatupang dalam novelnya yang berjudul Kering. Tetapi di
Lombok Selatan yang luasnya sekitar 2.000 km2, alam
pernah ramah. Setiap musim kemarau, lahan pertanian merekah
dengan garis pecahannya yang meliuk-liuk macam lukisan abstrak.
Di seantero pandangan, cuma ada warna kuning pertanda
kekeringan. Sungai-sungai yang berpusat di utara Gunung Rinjani,
bagaikan enggan berbagi air ke selatan. Kelaparan di musim
paceklik ini menjadi begitu rutin. Meskipun tidak separah
kemarau '76 di kawasan situ, bendungan Batujai yang sedianya
mengairi sawah tadah hujan seluas 3.350 ha seakan percuma.
"Jangankan melihat air," keluh seorang petani, "dasar dam itu
malah sudah tampak dan sudah retak."
Batujai di Lombok bukan satu-satunya bendungan korban kemarau
'82. Bendungan Sempor, salah satu dari 5 bendungan di Kedu
Selatan, Jawa Tengah, sudah ditutup akhir-akhir ini. Airnya
tinggal sepertiga saja, dan sekitar 3.000 ha sawah tanahnya
sudah sekeras batu. "Sudah 4 bulan ini, sawah kami tidak dapat
air," keluh Pak Marto. Sepanjang 6 km dari Gombong menuju
Sempor, tak tampak batang padi yang hidup. "Penjaga pintu airnya
sekarang sudah kami pindahkan ke bagian administrasi," kata
Bambang Sugeng SH, Asisten Umum Proyek Irigasi Kedu Selatan.
Walaupun begitu musim kemarau kali ini diperkirakan tak akan
berlangsung lama. Juga tidak lebih ganas dari tahun sebelumnya.
Diramalkan, dalam November hujan akan turun. "Dan keadaannya
masih jauh lebih bagus dari kemarau '72," ujar seorang pejabat
Pusat Analisa dan Pengolahan Data, Badan Meteorologi dan
Geofisika di Jakarta. Bagi yarlg masih ingat, kemarau '72 (awal
April sampai akhir Desember) listrik di Jakarta menjadi
byar-pet. Demikian panasnya cuaca, sampai rel kereta-api di Jawa
Tengah waktu itu melengkung. Sementara temperatur di Medan
mencapai angka yang cukup spektakuler 42øC.
Kemarau tahun ini, "temperatur maksimal untuk Jakarta: 33,5øC,"
ujar pejabat Meteorologi tersebut. Itu cuma terjadi pada tanggal
19 Agustus. "Kalau temperatur sudah di atas 37øC, baru menjadi
masalah," tambahnya.
Banyak pejabat di Jakarta berpendapat bahwa pengaruh kemarau
kali ini tidak begitu besar. Mungkin dalam arti besar kecilnya
produksi pangan, sukses atau gagalnya panen.
Kecuali Sempor dan Batujai, menurut Menteri Pekerjaan Umum
Purnomosidi Hadjisarosa, semua bendungan air masih bisa
menyediakan air irigasi persawahan. Kalau toh ada sawah yang
puso atau rusak akibat kekeringan, "itu dikarenakan tidak
disiplinnya petani akan pola tanam," ujar Menteri Muda Urusan
Pangan Ir. Achmad Affandi kepada Saur Hutabarat dari TEMPO.
Affandi berpendapat bahwa kekeringan kali ini cuma siklus kering
10 tahunan. Petani sebetulnya sudah mendapat instruksi untuk
tidak menggenjot sawahnya dengan 3 kali tanam padi setahun.
Terutama untuk lahan yang sangat tergantung pada irigasi atau
sawah tadah hujan.
Lahan persawahan lainnya yang kena musibah ialah di Jawa Barat.
Seluas 53.351 ha kini mengalami kekeringan dan 35.000 ha
mengalami puso. Baik Poernomosidi maupun Affandi, keduanya
menyatakan bahwa di luar bencana alam (Gunung Galunggung),
sebagian besar petani tidak efisien dalam penggunaan air
irigasi.
Lain halnya kalau memang kawasan itu belum mendapat bagian
bendungan air yang sepadan. Di kawasan Jawa Tengah yang paling
menderita kali ini, misalnya, diperkirakan ada 51.000 ha lahan
pertanian mengalami kekeringan. Hampir 50% dari jumlah tersebut
pasti puso. Di Pati, bahkan tanaman kapas 610 ha (lewat
Intensifikasi Kapas Rakyat dan tebu menjadi ludas.
KESELURUHANNYA untuk Pulau Jawa, Menteri Pertanian Soedarsono
memperkirakan ada 125.000 ha yang menderita kekeringan. Separuh
dari jumlah tersebut diduga akan puso.
Kawasan pertanian di luar Jawa yang tertimpa paling parah ialah
di Sulawesi Selatan. Daerah gudang beras (dan berasnya terkenal
enak) ini kemungkinan besar tidak bisa memenuhi target pengadaan
pangan sebanyak 250.000 ton. Sungai-sungai seperti Saddang,
Jeneberang yang ada di Kabupaten Sindrap dan Wajo, terkena
erosi. Hulu sungai yang dahulu menjadi sumber air, kini kering.
Di samping itu, muncul pula situasi puso akibat pemilihan lokasi
yang tidak layak huni bagi transmigran yang ada di Delta Upang,
Kabupaten Banyuasin dan Kabupaten OKI (Ogan Komering Ilir),
Sumatera Selatan. Untuk yang pertama, sudah 88% dari 420 ha padi
jadi puso, dan yang kedua, 75% dari 1.500 ha puso karena
kekeringan. Terbukti, anak Sungai Musi pun kekeringan.
"Tetapi kegagalan itu tidak merusak produksi secara
keseluruhan," kata Affandi. Menurut dia, semua angka kegagalan
-- karena perkiraan kemarau '82 ini -- sudah dimasukkan dalam
proyeksi.
Salah seorang staf Bagian Statistik Tanaman Pangan dari Biro
Pusat Statistik menyatakan bahwa angka normal untuk mencapai
kekeringan sawah ada 55.000 ha. Pemerintah telah memperhitungkan
hal itu secara regresi, sehingga puso sekitar 26% untuk seluruh
kawasan persawahan di Indonesia, cuma mengurangi tingkat
produksi 7% saja. "Itu lumrah," ujar pejabat Statistik tadi.
Pemerintah tampak masih optimistis produksi beras tahun ini
masih menyamai tahun sebelumnya --sekitar 23 juta ton.
Meskipun begitu, model musibah dalam kemarau ini cukup banyak.
Misalnya di Irian Jaya. Enam kampung di Kecamatan Kurima Barat,
Kabupaten Jayawijaya, sejak Mei lalu tidak dapat hujan. Dari 31
juta ha areal hutan di Irian Jaya, 200.000 ha dianggap kawasan
kritis. Dari jumlah 200.000 ha tersebut, 90.000 ha ada di
Jayawijaya.
Sebutan kritis di sini diartikan bahwa bukan saja tanah yang
tidak subur, tetapi karena rendahnya daya intensifikasi penduduk
terhadap tanaman pangan. Sehingga kematian karena kelaparan,
menjadi rutin. Cuma karena kemarau panjang kali ini, jumlah
kematian melonjak. Tempat pemukiman di Jayawijaya cuma bisa
dicapai oleh helikopter, menurut catatan resmi (per 3
September), di sana 112 orang meninggal dan 367 orang jadi
penderita rumahsakit karena kurang gizi. Kemarau, telah
mendatangkan neraka di perkampungan terpencil tersebut. Di
sebelah baratnya, di Kecamatan Tiom, Kabupaten Paniai, dalam
bulan Juli malah mendapat hadiah hujan es sebanyak 4 kali, dalam
masa kering. Akibatnya, sekitar 3.000 penduduk kelaparan dan 7
orang meninggal.
Tetapi rupanya neraka tak sampai di Sumatera Utara. Paling tidak
dalam hal yang menyangkut masalah air. Lebih-lebih dalam
September ini kawasan itu memasuki musim hujan. Sepanjang tahun
untuk jangka waktu paling tidak dalam 10 tahun terakhir, "curah
hujan uk penah di bawah nol," ujar Y.S. Suharsono, Kepala
Stasiun Meteorologi, Medan.
Ketepatan data sudah mulai tercapai dalam mengukur iklim,
prasarana bendungan memadai, bahkan ada kemajuan di bidang
teknologi agronomi. Toh semua itu belum memperkecil kekhawatiran
akan kesulitan air bersih. Kekhawatiran ini pun telah disebutkan
dalam sidang kabinet terbatas terakhir. Mulai dari Jawa Timur
(Surabaya), Jawa Tengah (Semarang, Pati, Wonogiri) sampai
Jakarta, terdengar adanya sumur yang kering, mahalnya harga air
minum per pikul. Di daerah Gunung Kidul, Ja-Teng, setiap KK kini
cuma mendapat jatah air minimum 20 liter untuk seminggu.
Kegawatan air minum ini begitu memuncak di Pontianak, sesudah
lebih dari 2 bulan hujan tak turun. Akibatnya, penduduk bermandi
air asin, karena kalau di hulu tak ada hujan, Sungai Kapuas
dalam waktu dua minggu saja sudah bergaram. Tahun 1981, kadar
garamnya cuma 1.659 ppm, kini per 1 September melonjak jadi
3.390,80 ppm PAM (Proyek Air Minum) kontan menyetop
instalasinya, kalau kadar garam sudah di atas 440 ppm. Mulai
antre di instalasi air, atau membuka baut sambungan pipa, sampai
mengebor pipa sekunder PAM, sejumlah 304.000 jiwa menguber air
bersih. Terakhir antrean semakin panjang kalau ada tangki air
dari Anjungan (40 km dari Pontianak) datang menjual air Rp 400
untuk 20 liter.
Tetapi di musim kerontang ini bahaya lebih besar ialah
kebakaran. Benar saja: hutan di Nanga Pinoh, Kabpaten Sintang,
Kal-Bar, telah terbakar. Areal reboisasi seluas 1.000 ha ini
punah. Kebakaran karena salah membuka ladang ini juga terjadi di
Suban Jerigi, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, awal pekan
ini. Area seluas 100 ha habis, "padahal kawasan reboisasi," ujar
Ir. Victor Sinaga, Kepala Dinas Kehutanan di sana.
Di Jawa Tengah, dalam jangka waktu 2 minggu, telah terjadi dua
kali kebakaran besar. Setelah 500 ha hutan di Gunung Slamet
terbakar (1 September) akibat ulah para pelajar SMAN II yang
sedang berkemah, lereng Gunung Merbabu juga terbakar. Begitu
besar api di lereng Merbabu tersebut, sehingga bisa ditonton
dari Boyolali atau Magelang. Diduga 300 ha lebih hutan menjadi
gundul. Belum lagi kebakaran hutan yang berukuran kecil. Untuk
kemarau ini, hutan pinus di Tawangmangu, hutan di d-kat
Baturaden daerah "Puncak"nya Purwokerto, juga terbakar.
Musim kemarau memang identik dengan meningkatnya kebakaran. Di
Jakarta selalu dianjurkan kewaspadaan tehadap api di musim
kemarau. Tapi api tetap saja menjilat kampung-kampung, seperti
terjadi Sabtu lalu di Jalan Periintis Kemerdekaan, Pulogadung.
Kebakaran dinihari itu meminta korbanynya tiga orang. Harian
Kompas mencatat dari Januari sampai pertengahan Agustus tahun
ini, telah terjadi 544 kali kebakaran. Yang menyedihkan ialah
bahwa setelah api dan kemarau habis, akan datang banjir. Alam
belum juga dijinakkan dan manusia tetap direpotkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini