Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAU bangkai terasa menusuk hidung di muara sungai dekat pantai Randupitu di Desa Pesisir, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Puluhan orang yang berkerumun di sana harus menutup hidung dengan baju atau masker yang dibagikan petugas. Mereka datang untuk melihat penguburan 12 ekor paus pilot yang terdampar di pantai itu dua hari sebelumnya.
Adalah Mirzan, 45 tahun, warga Desa Pesisir, yang pertama kali menemukan 32 ekor paus pilot tak berdaya terdampar di tepi pantai. "Mereka mengepakkan sirip seolah-olah ingin kembali ke laut," kata Mirzan saat ditemui di tempat penguburan, dua pekan lalu. Beberapa paus dengan panjang rata-rata empat meter itu, Mirzan bercerita, tampak seperti bernapas terengah-engah.
Pada pukul 10.00, Mirzan sempat mengamati adanya koloni paus pilot di lepas pantai. Namun ia sama sekali tak menyangka bahwa paus-paus itu akhirnya terdampar di pesisir pantai Randupitu. Mirzan lantas mengumpulkan warga lain untuk mengembalikan puluhan paus dengan nama Latin Globicephala macrorhynchus itu ke tengah laut menggunakan perahu.
Upaya penyelamatan berlangsung hingga dinihari. Hasilnya, 22 dari 32 paus pilot yang terdampar itu dapat dikembalikan ke laut lepas. Lamanya proses penyelamatan lantaran air laut sedang surut pada siang hari, baru pada sore dan malam hari upaya pengembalian lebih lancar. Hanya, ketika rombongan paus itu sudah kembali ke perairan, ada dua yang selalu datang kembali ke pantai.
Dua paus tersebut beserta delapan lainnya tak bisa diselamatkan. Belakangan, setelah dilakukan penyisiran lebih lanjut pada esok paginya, warga menemukan lima paus lain terjebak di hutan bakau dalam keadaan tak bernyawa. Total ada 15 paus yang mati.
Mendengar kabar puluhan paus pilot terdampar, Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Probolinggo Dedy Insfandi langsung turun ke lapangan. Dia menghubungi beberapa ahli mamalia laut dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Oseanografi LIPI) untuk mengetahui penyebab kematian dengan melakukan pembedahan post-mortem (nekropsi).
Bukan kali ini saja kawasan pesisir Probolinggo kedatangan mamalia laut dan ikan besar. Pada 2002, seekor hiu paus (Rhincodon typus) ditemukan terdampar di pantai dekat Desa Gujukan. Empat tahun setelah itu, giliran enam paus pembunuh (Orcinus orca). Pada 2010, seekor hiu paus berukuran 12 meter terdampar pula di Pantai Penambangan. Dua ekor lumba-lumba juga pernah terdampar di pantai yang sama pada 2012. Tahun lalu, seekor hiu paus tersanggat di kanal intake Pembangkit Listrik Tenaga Uap Paiton. "Lebih banyak hiu paus karena memang perairan Probolinggo termasuk jalur migrasi dan habitat mereka," kata Dedy.
Namun terdamparnya koloni paus pilot baru pertama kali terjadi. Dugaan sementara, penyebab terdamparnya 32 paus pilot itu adalah fenomena upwelling di sekitar perairan Bali, Nusa Tenggara, dan Kalimantan—habitat paus pilot. Upwelling adalah naiknya air laut yang lebih dingin dan berarus kuat ke permukaan akibat pergerakan angin di atas laut. Upwelling membuat laut teraduk. Ini yang menyebabkan koloni paus pilot terpaksa bergerak menuju garis khatulistiwa, entah untuk mencari pasokan makanan baru entah mencari perairan yang lebih tenang.
Menurut Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Kota Denpasar, Suko Wardoyo, upwelling juga bisa membuat mamalia laut kehilangan kemampuan sonarnya. Sonar digunakan untuk me nentukan arah migrasi, berburu makanan, atau berkomunikasi dengan sesama. Selain karena pengaruh alam, kesehatan yang terganggu bisa menyebabkan kemampuan sonar berkurang. "Karena sinyal terganggu, koloni paus pilot mungkin terbawa ke pesisir Probolinggo, daerah yang sebetulnya bukan tujuan utama mereka," kata Suko, yang tergabung dalam tim analisis nekropsi.
Karakteristik laut utara Jawa yang lebih dangkal ketimbang di selatan juga menjadi jebakan bagi paus pilot ini. Di laut selatan, 100 meter dari tepi pantai sudah termasuk laut dalam (kedalaman lebih dari 200 meter). Sedangkan di utara Jawa, laut masih dangkal (kurang dari 100 meter) meski sudah berjarak 200 meter dari tepi pantai.
Dugaan lain penyebab terdamparnya paus pilot ini lantaran mereka, juga mamalia laut besar lain seperti paus orca dan lumba-lumba, adalah hewan yang hidup berkelompok. Satu koloni bisa beranggotakan 30-40 ekor. Mereka memiliki ikatan sosial yang sangat erat.
"Faktor tersebut juga kerap membuat banyak mamalia laut terdampar," kata peneliti mamalia laut dari Puslit Oseanografi LIPI, Sekar Mira, yang juga tergabung dalam tim nekropsi koloni paus pilot. Terlebih kalau pemimpinnya yang terdampar. Menurut Sekar, satu koloni bisa turut mengejar pemimpin yang terseret arus kuat ke arah pantai itu dan mati bersama-sama.
Selain di Probolinggo, 50 ekor paus pilot sirip pendek pernah terdampar di Banyuwangi pada 22 Mei 2004. Koloni ini diduga berasal dari Pantai Lovina, Bali utara. Artinya, menurut ahli mamalia laut dan konservasi kelautan dari Whale Stranding Indonesia, Putu Liza, kemungkinan besar pantai utara Jawa masih merupakan bagian dari rute migrasi spesies ini.
Putu mengatakan satu-satunya cara untuk memastikan penyebab mamalia laut terdampar adalah nekropsi. "Yang jelas, kelompok cetaceans, seperti paus dan lumba-lumba, tidak akan mati karena tenggelam," ujar Putu, yang tak tergabung dalam tim nekropsi. "Mereka memiliki kemampuan menutup jalur tenggorokan untuk mencegah air masuk."
Tim nekropsi sempat membedah 10 bangkai paus pilot sebelum dikuburkan. "Kami menemukan penyakit di permukaan tubuh salah satu paus," kata Sekar tanpa menyebutkan lebih detail jenis penyakitnya. Paus lain juga menderita kelainan jantung. Tapi tim perlu menganalisis lebih lanjut faktor-faktor lain sebelum menarik kesimpulan.
Backhoe kuning itu menurunkan satu per satu bangkai paus pilot sirip pendek ke dalam lubang seluas 20 meter persegi. Sebelum diuruk tanah, layaknya penguburan manusia, ke-12 bangkai paus tersebut ditutupi kain kafan. Warga juga menaburkan bunga dan air kembang mawar di atasnya. Batu nisan tanpa nama diletakkan di utara dan selatan kuburan paus. Warga meyakini, cara itu dilakukan agar nelayan setempat dijauhkan dari marabahaya.
AMRI MAHBUB, TRI ARTINING PUTRI (JAKARTA), DAVID PRIYASIDHARTA (PROBOLINGGO)
Paus yang Nomadik
PAUS pilot sirip pendek (Globicephala macrorhynchus) hidup secara nomadik. Koloni mereka bergerak tanpa pola migrasi yang jelas. Namun, layaknya mamalia laut lain, pergerakan paus ini dipengaruhi keberadaan makanan. Biasanya paus pilot sirip pendek ditemukan jauh di lepas pantai, tapi akan mendekati pantai ketika musim pemijahan cumi-cumi—makanan utamanya—tiba.
Koloni ini dapat ditemukan di perairan beriklim hangat. Berbeda dengan kerabat dekatnya, paus pilot sirip panjang (Globicephala melas), yang berhabitat di perairan beriklim dingin. "Kemungkinan besar upwelling yang memaksa paus sepanjang empat meter ini berpindah tempat," ujar Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Probolinggo Dedy Insfandi.
AMRI MAHBUB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo