Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Geliat Studio-studio Bantul

Bantul Art Summit dilaksanakan di Gajah Gallery, Bantul. Mempertemukan banyak perupa Yogya yang memiliki studio di kawasan Bantul.

4 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CORETAN Yunizar mengingatkan kembali pada anak-anak yang melukis dinding. Imaji tentang menggambar ayam, ular, ikan, orang, karakter huruf, dan angka-angka ia munculkan. Karyanya terasa naif dan kacau. Ia menciptakannya dengan bermacam bentuk obyek yang tidak proporsional. Lukisannya mengalir, tak ada perencanaan yang begitu jelas seperti orang mencoret kertas. Seperti pada kebanyakan karyanya, Yunizar menggunakan warna monokrom pada lukisan berukuran 200 x 200 sentimeter itu.

Yunizar pada pameran kali ini mengeksplorasi obyek yang berbeda dari lukisan-lukisan yang ia ciptakan sebelumnya. Selama ini ia dikenal banyak membuat citraan bunga, potret, dan lanskap. Karya perupa yang berhimpun pada komunitas seni rupa Jendela, kelompok perupa asal Sumatera Barat, ini tidak meninggalkan ciri khasnya. Genre ekspresionisme dan tidak memiliki hubungan dengan konteks sosial-politik. "Saya hanya bermain-main rasa," kata Yunizar di Gajah Gallery, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat pekan lalu.

Lukisan berbahan campuran di atas kanvas bertarikh 2016 itu berjudul Coretan. Karya perupa kelahiran Talawi, Sumatera Barat, ini satu di antara karya 13 seniman yang dipajang dalam pameran Bantul Art Summit di Gajah Gallery, akhir Mei hingga akhir Juni ini. Total karya yang dipamerkan sebanyak 18 karya seni lukis, patung, dan instalasi.

Pameran yang pertama kali digelar itu mempertemukan sejumlah seniman yang sebagian berkesenian dan tinggal di Bantul. Mereka kebanyakan punya studio di Bantul. Selain Yunizar, perupa lain yang berpameran di antaranya Handiwirman Saputra, Rudi Mantofani, Yusra Martunus, Ugo Untoro, dan Mangu Putra. Ada juga Li Jin dari Cina dan Suzann Victor dari Singapura.

Yunizar menyatakan banyak orang menafsir karyanya naif seperti cara berpikir anak-anak ketika mencoret dinding. Tentu ia membebaskan dan boleh-boleh saja orang punya beragam interpretasi. Tapi ia menegaskan tidak menggunakan cara berpikir anak-anak yang lepas begitu saja. Ia punya pertimbangan estetika tersendiri untuk membuat karya. Warna monokrom menjadi bagian penting dari karyanya dengan alasan itu sudah mewakili apa yang hendak ia ekspresikan. "Mengapa harus berlebih-lebihan kalau warna itu sudah cukup?" ujarnya.

Karya yang dipasang apa adanya, cenderung remeh-temeh, juga terlihat pada seni instalasi perupa Handiwirman Saputra. Sama halnya dengan Yunizar, Handiwirman bagian dari kelompok Jendela yang karyanya laku keras di pasar dengan harga mahal. Dia banyak memanfaatkan benda seperti benang, kawat, kertas, plastik, kain, dan rambut.

Seperti karya-karya dia sebelumnya, Handiwirman menantang cara orang untuk memandangnya apakah ini karya abstrak atau realis. Perupa alumnus Pendidikan Seni Kriya Kayu Institut Seni Indonesia itu menggunakan bahan resin (fiber) dan akrilik. Ia membuat benda mirip bentuk pipa yang dibengkokkan. Benda itu ditopang buntalan seperti cor-coran. Pada ujung benda itu tergantung benda serupa tali tambang.

Karya berjudul Ujung Sangkut itu, menurut Handiwirman, menonjolkan gagasan sikap dan perilaku manusia yang diwujudkan melalui pengandaian dalam bentuk benda. Wujud benda itu terdiri atas satu buntalan sebagai dasar atau landasan ditempatkan pada posisi yang tetap. Dari buntalan tadi, muncul wujud yang lebih fleksibel. Ujungnya disangkutkan atau tetap tersangkut dengan dasar yang menjadi landasan tadi. "Sikap atau perilaku yang selalu akan berkait dengan dasar yang menjadi awalannya," kata Handiwirman.

Menurut Handiwirman, benda yang ia pajang tidak murni abstrak, tapi lebih pada impresi yang meninggalkan kesan atau jejak. Dia menyerahkan kepada pengunjung untuk menyebut karya itu abstrak, abstraksi, ataupun impresi.

Karya berukuran 150 x 50 x 50 sentimeter itu pernah dipajang dalam pameran tunggalnya di Tokyo pada 2015. Benda yang ia tampilkan terlihat mengabaikan sisi keindahan secara visual. Tapi Handiwirman membantahnya. Menurut dia, karya tersebut sangat mengindahkan segi estetik dengan mengikuti cara berpikirnya. Bagi perupa kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, itu, secara visual, semua benda seni ataupun bukan mempunyai sisi estetik. "Pengalaman berhubungan dengan benda-benda tersebutlah yang menjelaskannya," ujarnya.

Seniman Yusra Martunus menyajikan material yang tidak lazim seperti pada patung konvensional. Ia membuat patung stainless steel mengkilat berbentuk buku yang sedang dibuka. Pasir mengisi benda mengkilat yang di atasnya terdapat permukaan buku yang rusak, kusam, dan jamuran. Yusra seperti membawa orang pada kitab-kitab kuno yang kontras dengan penyangga atau penopang benda itu.

Sedangkan Ugo Untoro membuat lukisan berbahan cat minyak di atas kanvas dengan karakter perempuan tanpa wajah yang memiringkan kepala. Perempuan berbaju garis-garis tanpa lengan itu berdiri dengan dua tangan bertemu. Dia membelakangi perkakas untuk melukis. Ada seperangkat pensil dan kuas yang diletakkan. Ugo memberi judul lukisan tahun 2015 itu I See You. Demikianlah, menepi dari kawasan perkotaan Yogya, para perupa Yogya banyak memilih Bantul menjadi sarang baru.

SHINTA MAHARANI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus