Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Tak Ada Negosiasi Untuk Keselamatan

Ternyata, kalau kita mau, masyarakat juga bisa diatur.

4 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Perhubungan Ignasius Jonan menetapkan syarat yang ketat bagi moda transportasi yang digunakan untuk angkutan mudik Lebaran tahun ini. Dia meminta aspek keselamatan semua moda transportasi dicek dengan ketat dan teliti, dari bus, kereta api, kapal laut, hingga pesawat terbang. "Saya tidak pernah mau merisikokan keselamatan," ujarnya.

Jonan mengatakan alat transportasi umum yang tidak memenuhi persyaratan dari aspek keselamatan dilarang beroperasi untuk mengangkut para pemudik. Pria yang baru merayakan ulang tahun yang ke-53 itu mengatakan tak pernah main-main soal aturan keselamatan penumpang. "Dalam transportasi, ada prinsip 'No Go Item'. Kalau item itu tidak ada atau tidak berfungsi, ya, tidak boleh pergi," kata mantan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia itu.

Di tengah kesibukannya mengecek persiapan moda transportasi untuk mudik Lebaran, Jonan menerima wartawan Tempo Tika Primandari, Khairul Anam, Retno Sulistyowati, Sapto Yunus, dan fotografer Aditia Noviansyah di kantornya pada Rabu dua pekan lalu. Dengan gayanya yang ceplas-ceplos, Jonan memaparkan ihwal persiapan mudik, kasus Lion Air dan AirAsia, hingga pemotongan anggaran kementeriannya.

Dalam perbincangan yang berlangsung sekitar dua jam itu, Jonan membawa setumpuk kertas berisi data dan penjelasan tentang anggaran Kementerian Perhubungan tahun 2016. Dengan data tersebut, Jonan menjelaskan anggaran kementeriannya secara rinci dan hati-hati.

* * *

Bagaimana persiapan menyambut arus mudik Lebaran tahun ini?

Tiap tahun selalu ada mudik, tapi apa bedanya dengan tahun lalu? Bedanya, sekarang ada pemeriksaan wajib kendaraan. Untuk bus, hanya bus antarkota dan antarprovinsi yang diperiksa karena bus perkotaan bukan tanggung jawab pemerintah pusat, walaupun kami juga minta mereka tetap diperiksa. Ada 45 ribu bus, 529 pesawat komersial, 1.200 kapal laut, 447 lokomotif, dan 1.600 gerbong kereta api yang harus diperiksa sampai 24 Juni. Ini jungkir balik memeriksanya karena selama ini tak pernah diperiksa.

Aspek apa saja yang diperiksa?

Aspek keselamatan. Di transportasi itu ada prinsip "No Go Item". Jadi item yang harus ada. Kalau item itu tidak ada atau tidak berfungsi, ya, tidak boleh pergi. Itu detail. Misalnya bus, speedometer-nya ada tapi tidak berfungsi, ya, pasti enggak boleh jalan, dong. Ini juga mengajarkan kami sebagai regulator keselamatan transportasi untuk memeriksa semuanya. Kalau ini berhasil, akan saya bikin program rutin, misalnya enam bulan sekali diperiksa, nanti mau Natal juga diperiksa lagi.

Memang sebelumnya tidak pernah ada pemeriksaan seperti ini?

Sebenarnya ada uji kir (kendaraan bermotor), pesawat juga secara berkala ada. Tapi, kalau saya mau jujur, kadang-kadang konsistensinya tidak penuh. Ini yang saya enggak suka. Kalau perlu saya bikinkan peraturan menteri tentang kewajiban pemeriksaan itu.

Apakah Kementerian Perhubungan menyiapkan alternatif transportasi kalau banyak bus tidak layak jalan?

Tidak menyiapkan. Kalau tidak jalan, ya, diperbaiki.

Apakah armada yang tersedia cukup?

Pertanyaannya saya balik, kalau enggak cukup bagaimana? Secara teori, kalau tidak dalam saat yang bersamaan, semestinya cukup. Tapi, kalau mau bersamaan, pasti tidak cukup. Contohnya kereta api dulu. Sewaktu menjabat Direktur Utama PT KAI, saya menjalankan enam kali operasi Lebaran tahun 2009 sampai 2014. Tahun pertama, instruksi Menteri Perhubungan waktu itu bilang semua penumpang yang ada di stasiun usahakan diangkut. Tapi hancur, berantakan. Dari segi keselamatan, apalagi pelayanan, berantakan. Tahun 2010, saya bikin pembatasan hanya mengangkut 150 persen, masih berantakan juga, tapi sudah mending. Yang tidak punya tiket diturunkan. Lalu, pada 2011, satu tempat duduk satu orang. Lancar, ternyata masyarakat menyesuaikan. Ternyata, kalau kita mau, masyarakat juga bisa diatur.

Bagaimana dengan bus?

Bus juga begitu. Sudah saya kumpulkan 130 perusahaan otobus seluruh Jawa, Sumatera, dan Bali untuk saya kasih arahan. Saya bilang, kalau tidak bisa sempurna kali ini tidak apa-apa, tapi saya minta lima syarat harus dipenuhi. Pertama, speedometer harus berfungsi, kaca depan harus tidak boleh pecah, pengemudi harus menggunakan sabuk pengaman, rem tangan harus berfungsi, dan ban harus layak. Semua setuju. Dengan kualitas keselamatan dan pelayanan membaik, pasti bus antarkota kembali ke masa kejayaannya lagi.

Di beberapa ruas jalur mudik masih ada perbaikan jalan. Apakah jalur mudik akan terganggu?

Saya kira, kalau belum selesai sampai 24 Juni, pasti mengganggu. Tapi saya kira Menteri Pekerjaan Umum juga berfokus segera menyelesaikannya.

Anda sempat melontarkan pernyataan akan mendenda mobil yang terlalu lama berhenti di rest area jalan tol. Apakah jadi diberlakukan?

Enggaklah. Pokoknya rest area itu seperti tempat parkir, kalau makin lama kan makin mahal. Rest area itu tidak boleh menjadi titik kemacetan baru. Lalu juga gerbang tol. Saya kemarin sudah kirim surat ke Menteri Pekerjaan Umum, pembayaran di semua gerbang tol sebaiknya jangan pakai uang tunai. Entah pakai kartu, pakai radar pembaca, atau apalah. Teknologinya ada. Paling kurang, pakai kartu seperti KRL (kereta rel listrik) itu. Penumpang KRL jumlahnya sampai 1 juta orang saja bisa pakai kartu.

Apa jawaban mereka?

Katanya dikerjakan bertahap. Saya sudah bilang dengan Menteri PU, sebenarnya kalau mau dibikinkan instruksi atau peraturan Menteri PU atau apalah. Kalau ada di saya, akan saya bikinkan, dalam enam bulan harus selesai.

Berapa estimasi pemudik tahun ini?

Naik 3-4 persen dari tahun lalu. Diperkirakan pengguna angkutan darat turun 7 persen, kereta api naik 4,6 persen, angkutan laut naik 3 persen, angkutan udara naik 7,6 persen. Ini angka yang logis, kalau bandara saya besarkan, yang naik kapal laut memang pasti akan semakin sedikit. (Menurut data Kementerian Perhubungan, total jumlah pemudik pada 2015 mencapai 17,4 juta orang, yang meliputi angkutan darat 4,69 juta, kereta api 3,9 juta, angkutan udara 4,3 juta, dan angkutan laut 883 ribu.)

Soal Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta, apakah memang belum siap digunakan?

Saya tidak mau ambil risiko operasi Idul Fitri dengan coba-coba, dari segi keselamatan penerbangan. Ini bukan mengelola mal, ini mengelola bandara. Kalau mal tidak ada sisi udaranya, cuma ada terminalnya.

Apa yang belum siap?

Kalau kemarin, terminalnya secara fisik 95 persen siap. Yang belum itu eskalator dan lift. Kalau itu enggak siap, enggak kami izinkan. Itu hal dasar untuk pelayanan. Yang kedua, masalah koneksi teknologi informasi antara airline dan bandara. Itu harus terkoneksi dan diuji. Tidak ada bandara di seluruh dunia ditulisi uji coba. Di bandara tidak ada soft opening, adanya opening or not opening. Lalu juga airside harus disterilkan, jangan sampai ada apa-apa di runway.

Lalu kemarin, saat saya naik ke tower, ternyata tidak bisa melihat apron dari sana. Taxiway-nya (jalanpenghubung antara runway danapron,hanggar,terminal) saja tidak kelihatan. Runway-nya kelihatan, tapi yang paling ujung. Padahal dari tower itu seharusnya bisa melihat ke semua sisi karena tower yang mengatur lalu lintas. Mau menyalakan mesin saja harus persetujuan ATC (air traffic control). Saya lihat di towernya Cengkareng dikasih CCTV. Tidak boleh pakai CCTV, harus kelihatan. Kalau pakai CCTV, sifatnya hanya sebagai alat bantu.

Anda dibilang mempersulit?

Enggak apa-apa saya disebut mempersulit daripada sampean mati, celaka. Dalam Civil Aviation Safety Regulation, pakai CCTV semata itu tidak boleh. Kalau mau, ada subtower di situ yang mengendalikan apron. Kalau sudah masuk taxiway, dipindah ke tower besar untuk mengatur runway-nya. Tapi kemarin saya lihat di sana tak ada. Kementerian Perhubungan sebenarnya punya, nanti bisa kami pinjamkan. Namun, pinjam juga tak asal pinjam, harus ada uji coba dan lain sebagainya.

Kenapa bisa lolos?

Tidak tahu izinnya bagaimana. Saya kira yang memberi izin Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, karena pasti ada izinnya, enggak mungkin membangun tanpa izin. Ya, salahnya yang memberi izin juga. Masih banyak yang harus dibenahi. Tapi saya tak akan merisikokan keselamatan.

Jadi Kementerian akan meminjamkan subtower itu?

Bisa disewa dan nanti uangnya masuk ke penerimaan negara bukan pajak. Pertanyaan saya, kenapa subtower ini tak dibangun waktu itu. Kalau memang tower pertama tak bisa melihat apron, seharusnya langsung dibikin. Ini kan utama. Saya jadi heran, orang-orang ini mengerti enggak, sih. Ini kan bisa terjadi karena tidak konsisten menjaga keselamatan. Soal keselamatan, di dalam kapasitas saya sebagai manusia biasa, saya tidak pernah mau nego, apa pun risikonya. Kalau saya nego itu, ya sudah, tidak usah jadi Menteri Perhubungan.

Soal sanksi untuk Lion dan AirAsia jadi seperti apa?

Soal sanksi, begini. Tempo hari diterbitkan surat yang isinya dalam jangka waktu lima hari setelah surat diterbitkan akan dibekukan (izin ground handling-nya) untuk keperluan investigasi. Ternyata, investigasinya selesai sebelum lima hari. Nah, karena temuan investigasinya banyak, kami kasih 30 hari sejak tanggal 23 Mei agar perusahaan ground handling Lion Air dan AirAsia harus memperbaiki temuan-temuan ini. Jatuh temponya 23 Juni. Kalau ini tidak bisa dipenuhi, ya, kami tutup, kami cabut izinnya.

Soal pemotongan anggaran yang sedang dilakukan pemerintah, berapa banyak anggaran Kementerian Perhubungan yang dipangkas?

Kalau pengurangan dari belanja murni Rp 3,75 triliun. Kalau dari pinjaman dan hibah luar negeri yang tidak kami pakai tahun ini Rp 1,8 triliun. Totalnya Rp 5,5 triliun. Anggaran tahun ini Rp 48 triliun, dikurangi menjadi Rp 42,5 triliun.

Bagaimana pendistribusian pengurangannya?

(Jonan menunjukkan data. Total ada 66 kegiatan dari tujuh direktorat yang tidak dilaksanakan tahun ini dan ditunda pelaksanaannya hingga tahun depan.)

Yang belum dikontrak tahun ini akan dihapus?

Pokoknya, yang tahun ini belum lelang dicoret, ditunda jadi tahun depan.

Kalau arahan dari Presiden, pemotongannya seperti apa?

Ada Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2016. Dari situ kami terjemahkan ke dalam sejumlah item, yakni perjalanan dinas, langganan daya dan jasa, honorarium tim atau kegiatan, biaya rapat, iklan, serta operasional perkantoran. Kemudian, pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan dinas, sisa dana lelang atau swakelola, anggaran kegiatan yang belum kontrak, dan kegiatan yang dapat dilanjutkan ke tahun berikutnya (carry over).

Kereta Trans Papua dan Sulawesi termasuk yang akan ditunda?

Kalau arahan dari rapat terbatas kemarin memang groundbreaking kereta Papua ditunda. Alasannya, di Papua yang lebih urgen adalah bandara dan pelabuhan. Sedangkan kereta Trans Sulawesi dipertimbangkan hanya dikerjakan Makassar-Parepare karena uangnya tidak ada. Bisa saja sih pakai pinjaman luar negeri, US$ 3 miliar estimasinya, sekitar Rp 40 triliun. Kalau Sumatera kami teruskan apakah mau pakai pinjaman luar negeri biar cepat selesai, saya belum mendapat arahan.

Kalau ditunda, apakah tidak berimbas secara politis soal pemerataan pembangunan?

Kalau keadilan politik, silakan tanya Presiden. Saya menteri teknis. Saya hanya membangun berdasarkan apa yang menurut saya dibutuhkan dalam jangka panjang. Jadi jangan membangun yang tidak dibutuhkan karena biaya perawatan juga tinggi.

Bagaimana menentukan program mana yang jalan dan ditunda?

Itu arahan Presiden.

Apakah penundaan dilakukan sesuai dengan skala prioritas?

Bukan skala prioritas, tapi mendesaknya kebutuhan atau tidak. Kalau saya keliling daerah, banyak yang ternyata hanya ingin punya, bukan berdasarkan kebutuhan. Misalnya ada satu kota, saya lupa kotanya tapi bukan di Jawa, yang bilang ingin bangun LRT (light rail transit) padahal lalu lintas kotanya tidak macet dan lahannya masih luas. LRT itu seharusnya dibangun di kota yang macet dan sudah tak ada lahan lagi karena LRT itu mahal sekali. Butuh Rp 350-400 miliar untuk membangun satu kilometer. Nilai itu setara dengan ongkos pembangunan Bandara Radin Inten, Lampung. Jadi, kalau mau bangun 20 kilometer LRT, sama saja dengan bangun 20 bandara seperti Radin Inten. Bahkan bandara sebesar Makassar saja ongkos pembangunannya hanya Rp 1,5 triliun. Yang paling masuk akal Wali Kota Surabaya (Tri Rismaharini), mintanya trem.

Siapa yang mengusulkan membangun trem di Surabaya?

Usul dari Pemerintah Kota Surabaya, dari Ibu Risma. Itu baru masuk akal. Trem itu satu kilometer cuma Rp 8-10 miliar. Kalau lebih dari itu, ya, berarti korupsi. Trem itu dikerjakan pembersihannya dulu, baru tahun depan mulai pembangunannya karena butuh peraturan presiden (perpres) supaya anggarannya tak terganggu tiap tahun. Itu APBN semua.

Apakah pembangunan LRT kena dampak pemotongan anggaran?

Enggak. LRT Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi itu sedang revisi perpres. Jadi arahan Presiden itu dikerjakan oleh Kementerian Perhubungan. Nah, pembayarannya enggak masuk di sini (APBN Perubahan) karena pembayarannya baru mulai 2017. Ini kan bicara soal pembayaran, bukan pembangunan. Contohnya seperti pembangunan LRT Palembang, sudah jalan tapi pembayarannya tahun depan.

Jadi, walaupun ada pengerjaan sekarang, pencairannya tahun depan?

Iya dong, kan boleh saja begitu. Tapi usul anggaran ini masih dirapatkan dengan DPR. Mungkin mereka akan kasih masukan juga.

Bagaimana kelanjutan rencana pembangunan kereta berkecepatan sedang Jakarta-Surabaya?

Belum dibahas. Presiden sudah ketemu pihak Jepang, tapi saya belum mendapat arahan.

Kereta berkecepatan sedang itu usul Anda?

Idenya dari Pak Jusuf Kalla. Sekarang kecepatan kereta paling tinggi 100 kilometer per jam. Itu pun tidak bisa semua ruas. Anggap saja rata-rata 80 km per jam. Kalau ini mau ditingkatkan menjadi rata-rata 150 km per jam, dari Gambir sampai Pasar Turi (Surabaya) cuma 5 jam kalau tidak berhenti. Kalau berhentinya hanya di Cirebon, Semarang, dan Bojonegoro, tiap berhenti 10 menit, berarti 5,5 jam. Kalau 5,5 jam bisa bersaing dengan pesawat terbang. Karena prakteknya kalau mau naik pesawat, dari tengah kota ke Bandara Soekarno-Hatta 1 jam lebih, nunggu di bandara 1 jam, terbang 1,5 jam. Masuk ke Kota Surabaya 1 jam lagi sudah 4,5 jam.

Kalau Kementerian yang menggarap proyek ini, lebih condong ke Jepang atau Cina?

Kalau pembangunan skala besar itu pasti ada hubungan antarnegara, jadi Presiden yang memutuskan, bukan saya.

Isu reshuffle kembali muncul setelah Partai Golkar merapat ke pemerintah. Apa benar sekarang komunikasi dengan Presiden jadi lebih sulit?

Komunikasi itu mesti yang diperlukan, kan? Kalau tidak perlu, buat apa? Masak, mengganggu pekerjaan Presiden. Beliau kan sudah banyak kerjaannya.

Apakah sekarang jadi lebih sulit menemui Presiden?

Tidak. Sama saja, kok.

IGNASIUS JONAN

Lahir: 21 Juni 1963

Pendidikan:

  • Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya (lulus 1986)
  • International Relations and Affairs Fletcher School of Law and Diplomacy, Amerika Serikat (lulus 2005)

    Karier:

  • Menteri Perhubungan (2014-sekarang)
  • Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (2009-2014)
  • Direktur Citi Group (2006-2008)
  • Direktur Utama PT Bahana Pembiayaan Usaha Indonesia (Persero) (2001-2006)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus