PULUHAN tahun lalu, para zendeling bangsa Eropa membasmi rumah
tradisionil Dayak di jantung pulau Kalimantan. Maksudnya:
mengikis habis manifestasi budaya para penganut agama
Kaharingan. Juga untuk memperkenalkan rumah kecil berdasarkan
konsep kesehatan dan keluarga kecil yang mandiri. Kini hulu
sungai Katingan, Kahayan dan Kapuas kampung halarnan suliu Dayak
Ngaju yang paling dulu dikristenkan -- rumah panjang berkolong
alias betang sudah susah ditemukan.
Setelah 30 tahun merdeka, kisah serupa terjadi di Kalimantan
Timur. Terutama yang dihuni suku Dayak Kenyah dan Kayan. Rumah
panjang (di sana disebut lamin) satu persatu dirobohkan. Ini
instruksi pemerintah. Tujuan: diganti dengan rumah tunggal yang
dibangun dalam rangha program resettlenent penduduk asli.
Dari keterangan yang diperoleh Dahlan Iskan dari TEMPO, selama
mengunjungi beberapa proyek pemukiman kembali di kabupaten
Bulungan, kalangan penduduk asli sendiri sebenarnya menghendaki
rumah panjang dipertahankan. "Kalau pun tak boleh berbentuk
lamin, berbentuk bangsal sajalah. Sebab di kota seperti
Samarinda pun masih banyak rumah bangsal", ujar seorang pemuka
masyarakat yang dimukimkan kembali. Maksudnya agar kebiasaan
hidup berkelompok dalam puak-puak (clans) yang masing-masing
menempati satu lamin tersendiri dapat dipertahankan.
Bisa Berselonjor
Ada yang mengeluh diam-diam. Tapi ada juga yang melancarkan aksi
nyata. Suatu malam di tahun 1974, puluhan muda-mudi Kampung Mara
II berkumpul di sebuah lamin tua. Bukan untuk diskusi politik
atau merencanakan demonstrasi tapi untuk mengadakan penelaahan
Alkitab. Maklumlah, anak-anak muda suku Dayak Kayan itu termasuk
jemaat gereja Protestan Kingmy. Biarpun mereka sudah punya
bangunan gereja resmi toh mereka merasa lebih akrab berkumpul di
rumah panjang. Di situ mereka bisa duduk berselonjor menyimak
Alkitab, sambil buka sepatu tanpa diliputi suasana kaku seperti
lazimnya di gereja.
Namun kehendak Dinas Sosial tak terbendung lagi. Dan sebagaimana
biasanya, rakyat kecil cepat menyesuaikan diri. Apalagi untuk.
mendirikan sebuah rumah tunggal, pemerintah memberi uang Rp 90
ribu untuk satu rumah menurut rencana berlaku pekan lalu. Maka
bermuncullah kompleks perumahan "res-pen", paduan perumahan
pegawai dengan proyek transmigrasi.
Tapi jangan anggap rumah itu hasil karya mereka sendiri. Mulai
dari menggergaji papan sampai memalu paku, semua diupahkan oleh
calon penghuni rumah kepada tukang kayu pendatang. Dan karena
mereka sendiri miskin uang, hasil panenlah yang dibayarkan
kepada para tukang itu.
Mengapa seluruh pembuatan rumah tunggal sederhana itu
diborongkan pada orang luar? Ternyata, masyarakat yang
dimukimkan kembali itu belum biasa menggunakan paku. Kata
Mustafa, seorang pimpinan Badan Pelaksana Resettlement Penduduk
yang ditemui TEMPO: "Lamin itu kan dibangun hanya dengan diikat,
tanpa paku sebiji pun. Kerangkanya pun dibuat dari kayu bulat,
karena mereka tak bisa menggergaji. Kalau ada yang bisa
menggergaji, justru harus pakai chain-saw (gergaji rantai yang
bermotor bensin - Red.).
"Maklumlah mereka kenal chain-saw sejak memburuh pada
perusahaan-perusahaan penebangan mekanis. Peralatan tradisionil
orang Dayak sendiri dalam membangun rumahnya hanyalah belayung
(beliung, atau kapak yang dapat berdwi-fungsi menjadi ketam)
daul parang (mandau). Tapi bahwa mereka belum biasa menggergaji,
tak 100% benar. Sebab di banyak daerah di pedalaman Kalimantan
gergaji tangan sudah dikenal jauh hari sebelum masuknya
chain-saw ke sana.
Menurut Mustafa, penghambat kemajuan ekonomi suku Dayak yang
dimukimkan kembali itu adalah jadwal "partisipasi" mereka.
Maksudnya, pesta-pesta adat seperti kematian, perkawinan, pesta
mohon berkat bagi masyarakat desa yang dalam kepercayaan
Kaharingan digambarkan sebagai perkawinan antara dewi bumi dan
dewa langit (milah petak danum). Semua pesta itu membutuhkan
banyak korban hasil panen, babi, kerbau, dan - sebelum kebiasaan
mengayau dihapus oleh Belanda - kepala manusia dari suku lain.
Makanya Mustafa mengharuskan jadwal "partisipasi" itu diletakkan
di luar musim tanam dan musim panen. "Sebab dengan hasil panen
itulah mereka harus membiayai pembangunan rumah barunya",
katanya pada TEMPO. Apalagi bantuan pemerintah pusat sebanyak Rp
90 ribu/rumah yang sudah lama didengung-dengungkan baru akan
keluar dalam paket raksasa sebanyak Rp 1,3 milyar akhir Mei yang
baru lalu.
Tapi selain itu banyak juga anggota masyarakat "res-pen" itu
belum tahu bagaimana merawat rumah tunggal. Hingga suasananya
jadi tak banyak berbeda dengan rumah asal. Mustafa mengakui,
dengan rumah tunggal itu tuntutan hidup semakin meningkat. Tapi
dia menganggapnya satu hal yang positif. "Selama ini, karena
mereka menganggap tidak perlu kursi, piring, maka mereka
bermalasa-lalasan", begitu kata dia. Maka untuk merangsang
produktifitas mereka itulah, fihak Respen juga mengikutsertakan
dinas pemerintah lainnya.
Barang Tontonan.
Di sepuluh kasi pemerintah juga menyediakan mesin penggiling
padi dan alat kerajinan. Di lokasi seperti Datah Bilang, tiap
rumah bahkan sudah memiliki lampu petromax dan tinggal beberapa
rumah saja belum punya mesin jahit. Hanya pemberantasan hama
ternak belum cukup tangkas. Buktinya berpuluh-puluh kambing di
beberapa lokasi ludes dimakan hama yang rupanya sakti.
Mustafa daul anak-buahnya rupanya harus berpacu dengan waktu.
Aklir 1978, semua keluarga di sepuluh lokasi (3492 KK atau 16,5
ribu jiwa) harus sudah memiliki rumah . Sebab saat itulah
pembinaan masyarakat yang dimukimkan kembali itu akan
diserah-terimakan kepada anak buah Menteri Amirmachmud. Makanya
dia agak grogi karena terus-menerus mendengar protes budayawan
setempat tentang dihilangkannya corak rumah adat yang asli.
"Memang, kalau turis sih senang melihat masyarakat kita dalam
bentuk seasli-aslinya. Tapi relakah kita membiarkan mereka
sekedar jadi barang tontonan?", begitu dia bertanya.
Tuntutan para budayawan setempat itu sesungguhnya tidak banyak:
mengabadikan rumah adat itu dalam bentuk balai desa, sekolah,
atau gereja. Persis seperti yang dipelopori oleh generasi muda
Kristen Kingmy itu 3 tahun lalu. Dan kalau betul masyarakat
penduduk asli itu mau dihargai, mengapa mereka tidak dilatih
membangun rumah sendiri - tempat tinggal yang membikin betah
mereka?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini