Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Akhir zaman bagi "lamin"

Rumah tinggal tradisional suku dayak di ubah dengan rumah kecil menurut konsep kesehatan & keluarga kecil. perubahan diusahakan misi kristen & pemerintah dalam rangka resettlement suku terasing.

4 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN tahun lalu, para zendeling bangsa Eropa membasmi rumah tradisionil Dayak di jantung pulau Kalimantan. Maksudnya: mengikis habis manifestasi budaya para penganut agama Kaharingan. Juga untuk memperkenalkan rumah kecil berdasarkan konsep kesehatan dan keluarga kecil yang mandiri. Kini hulu sungai Katingan, Kahayan dan Kapuas kampung halarnan suliu Dayak Ngaju yang paling dulu dikristenkan -- rumah panjang berkolong alias betang sudah susah ditemukan. Setelah 30 tahun merdeka, kisah serupa terjadi di Kalimantan Timur. Terutama yang dihuni suku Dayak Kenyah dan Kayan. Rumah panjang (di sana disebut lamin) satu persatu dirobohkan. Ini instruksi pemerintah. Tujuan: diganti dengan rumah tunggal yang dibangun dalam rangha program resettlenent penduduk asli. Dari keterangan yang diperoleh Dahlan Iskan dari TEMPO, selama mengunjungi beberapa proyek pemukiman kembali di kabupaten Bulungan, kalangan penduduk asli sendiri sebenarnya menghendaki rumah panjang dipertahankan. "Kalau pun tak boleh berbentuk lamin, berbentuk bangsal sajalah. Sebab di kota seperti Samarinda pun masih banyak rumah bangsal", ujar seorang pemuka masyarakat yang dimukimkan kembali. Maksudnya agar kebiasaan hidup berkelompok dalam puak-puak (clans) yang masing-masing menempati satu lamin tersendiri dapat dipertahankan. Bisa Berselonjor Ada yang mengeluh diam-diam. Tapi ada juga yang melancarkan aksi nyata. Suatu malam di tahun 1974, puluhan muda-mudi Kampung Mara II berkumpul di sebuah lamin tua. Bukan untuk diskusi politik atau merencanakan demonstrasi tapi untuk mengadakan penelaahan Alkitab. Maklumlah, anak-anak muda suku Dayak Kayan itu termasuk jemaat gereja Protestan Kingmy. Biarpun mereka sudah punya bangunan gereja resmi toh mereka merasa lebih akrab berkumpul di rumah panjang. Di situ mereka bisa duduk berselonjor menyimak Alkitab, sambil buka sepatu tanpa diliputi suasana kaku seperti lazimnya di gereja. Namun kehendak Dinas Sosial tak terbendung lagi. Dan sebagaimana biasanya, rakyat kecil cepat menyesuaikan diri. Apalagi untuk. mendirikan sebuah rumah tunggal, pemerintah memberi uang Rp 90 ribu untuk satu rumah menurut rencana berlaku pekan lalu. Maka bermuncullah kompleks perumahan "res-pen", paduan perumahan pegawai dengan proyek transmigrasi. Tapi jangan anggap rumah itu hasil karya mereka sendiri. Mulai dari menggergaji papan sampai memalu paku, semua diupahkan oleh calon penghuni rumah kepada tukang kayu pendatang. Dan karena mereka sendiri miskin uang, hasil panenlah yang dibayarkan kepada para tukang itu. Mengapa seluruh pembuatan rumah tunggal sederhana itu diborongkan pada orang luar? Ternyata, masyarakat yang dimukimkan kembali itu belum biasa menggunakan paku. Kata Mustafa, seorang pimpinan Badan Pelaksana Resettlement Penduduk yang ditemui TEMPO: "Lamin itu kan dibangun hanya dengan diikat, tanpa paku sebiji pun. Kerangkanya pun dibuat dari kayu bulat, karena mereka tak bisa menggergaji. Kalau ada yang bisa menggergaji, justru harus pakai chain-saw (gergaji rantai yang bermotor bensin - Red.). "Maklumlah mereka kenal chain-saw sejak memburuh pada perusahaan-perusahaan penebangan mekanis. Peralatan tradisionil orang Dayak sendiri dalam membangun rumahnya hanyalah belayung (beliung, atau kapak yang dapat berdwi-fungsi menjadi ketam) daul parang (mandau). Tapi bahwa mereka belum biasa menggergaji, tak 100% benar. Sebab di banyak daerah di pedalaman Kalimantan gergaji tangan sudah dikenal jauh hari sebelum masuknya chain-saw ke sana. Menurut Mustafa, penghambat kemajuan ekonomi suku Dayak yang dimukimkan kembali itu adalah jadwal "partisipasi" mereka. Maksudnya, pesta-pesta adat seperti kematian, perkawinan, pesta mohon berkat bagi masyarakat desa yang dalam kepercayaan Kaharingan digambarkan sebagai perkawinan antara dewi bumi dan dewa langit (milah petak danum). Semua pesta itu membutuhkan banyak korban hasil panen, babi, kerbau, dan - sebelum kebiasaan mengayau dihapus oleh Belanda - kepala manusia dari suku lain. Makanya Mustafa mengharuskan jadwal "partisipasi" itu diletakkan di luar musim tanam dan musim panen. "Sebab dengan hasil panen itulah mereka harus membiayai pembangunan rumah barunya", katanya pada TEMPO. Apalagi bantuan pemerintah pusat sebanyak Rp 90 ribu/rumah yang sudah lama didengung-dengungkan baru akan keluar dalam paket raksasa sebanyak Rp 1,3 milyar akhir Mei yang baru lalu. Tapi selain itu banyak juga anggota masyarakat "res-pen" itu belum tahu bagaimana merawat rumah tunggal. Hingga suasananya jadi tak banyak berbeda dengan rumah asal. Mustafa mengakui, dengan rumah tunggal itu tuntutan hidup semakin meningkat. Tapi dia menganggapnya satu hal yang positif. "Selama ini, karena mereka menganggap tidak perlu kursi, piring, maka mereka bermalasa-lalasan", begitu kata dia. Maka untuk merangsang produktifitas mereka itulah, fihak Respen juga mengikutsertakan dinas pemerintah lainnya. Barang Tontonan. Di sepuluh kasi pemerintah juga menyediakan mesin penggiling padi dan alat kerajinan. Di lokasi seperti Datah Bilang, tiap rumah bahkan sudah memiliki lampu petromax dan tinggal beberapa rumah saja belum punya mesin jahit. Hanya pemberantasan hama ternak belum cukup tangkas. Buktinya berpuluh-puluh kambing di beberapa lokasi ludes dimakan hama yang rupanya sakti. Mustafa daul anak-buahnya rupanya harus berpacu dengan waktu. Aklir 1978, semua keluarga di sepuluh lokasi (3492 KK atau 16,5 ribu jiwa) harus sudah memiliki rumah . Sebab saat itulah pembinaan masyarakat yang dimukimkan kembali itu akan diserah-terimakan kepada anak buah Menteri Amirmachmud. Makanya dia agak grogi karena terus-menerus mendengar protes budayawan setempat tentang dihilangkannya corak rumah adat yang asli. "Memang, kalau turis sih senang melihat masyarakat kita dalam bentuk seasli-aslinya. Tapi relakah kita membiarkan mereka sekedar jadi barang tontonan?", begitu dia bertanya. Tuntutan para budayawan setempat itu sesungguhnya tidak banyak: mengabadikan rumah adat itu dalam bentuk balai desa, sekolah, atau gereja. Persis seperti yang dipelopori oleh generasi muda Kristen Kingmy itu 3 tahun lalu. Dan kalau betul masyarakat penduduk asli itu mau dihargai, mengapa mereka tidak dilatih membangun rumah sendiri - tempat tinggal yang membikin betah mereka?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus