TAK kurang dari 19 sanggar lukis anak-anak sekarang ada di
Jakarta. Hampir semuanya berjalan dengan bagus: kegiatan melukis
dapat menjadi saluran membunuh waktu atau juga perkembangan jiwa
anak-anak. Sebagaimana terlihat dalam pameran sanggarsanggar itu
di Ruang Pameran TIM, 18 s/d 23 Mei yang lalu. Banyak di antara
hasil-hasil tersebut merupakan kertas dialog yang jujur, di
samping sebagai lukisan-lukisan yang segar.
Pada hari pembukaan, banyak anak-anak dan orang tua hadir. 17
buah sanggar (satu dari Bandung) masing-masing dengan puluhan
lukisan yang berbingkai dan berkaca, menjadi dunia yang tak
habis-habisnya mengherankan. Dibanding pameran tahun lalu, kali
ini perhatian untuk tiap lukisan sudah lebih baik. Tak ada lagi
yang telanjang. Malah beberapa buah pigura begitu rapi, sehingga
siap disimpan untuk waktu lama. Seleksi pun bertambah sempurna -
mungkin juga karena anak-anak itu sendiri suah bertambah akrab
dengan material yang dipakai.
Aku Sedang Sedih
Hanya Ajip Rosidi - ketua DKJ yang baru -- sebelum membuka
pameran menyatakan kekhawatirannya kalau-kalau lukisan yang
dijual dengan harga sekitar 3-4 ribu rupiah itu akan membuat
anak-anak jadi berjiwa komersiil. "Saya tidak setuju kalau uang
itu jatuh ke tangan mereka", katanya. Tapi pihak penghimpun
sanggar kemudian menerangkan, bahwa uang langsung akan menjadi
ke kayaan sanggar - untuk membiayai kelangsungan hidupnya.
"Bayangkan saja, mereka bisa datang puluhan, dan setiap orang
paling sedikit menghabiskan 3 lembar kertas", katanya
menjelaskan kepada TEMPO.
Anak-anak itu meliputi usia 4 sampai 12 tahun. Mereka dibagi
menjadi 3 kelompok - kemudian diserahkan pemilihannya pada tim
juri untuk menobatkan beberapa dari mereka sebagai pemenang.
Dalam hal para pemenang ini, juri tentunya memiliki
kecenderungan-kecenderungan tertentu. Pertimbangan mereka perlu
sekali diungkapkan. Apalagi kalau ada usaha untuk
mendokumentasikan karya para pemenang tersebut, misalnya untuk
kalender. Agar hasil-hasil tersebut tidak serta-merta menjadi
standar umum - yang bisa membuat kebebasan berkreasi terpusat
hanya pada kompetisi untuk memenangkan penghargaan.
Terlepas dari pilihan juri, ada beberapa lukisan yang menarik.
Kita tertegun karena seperti dihadapkan pada pilihan. Apakah
kita sedang menghadapi sesuatu yang kebetulan, atau memang
teknik anak-anak sudah sedemikian baiknya sehingga gambar sudah
menjadi bahasa. Misalnya lukisan yang bernama Aku Sedang Sedih.
Berasal dari Susan, usia 5 tahun, yang ikut Sanggar Hang Lekiu.
Dengan dasar violet, Susan menorehkan garis yang sangat efisien.
Baik komposisi warna maupun bobot muncul dari lukisan ini.
Memang mengherankan juga kenapa juri tidak sempat menoleh dan
memberinya penghargaan. Padahal beberapa buah lukisan yang
diberi penghargaan sama sekali tidak menimbulkan gambaran
imajinasi yang kaya dan spontan, yang unggul dalam dunia
anak-anak.
Jakarta Membagun
Hal yang serupa juga muncul dari lukisan Harris F. (8 tahun),
yang melukis Pohon-pohon di Bukit, dari Sanggar Wijaya. Ada
ketrampilan teknis serta keakraban pada material yang dipakai.
Lukisan ini tidak saja spontan tetapi juga memiliki
penyederhanaan dan pengarahan yang sadar pada komposisi. Tetapi
kesadaran ini berbeda dengan kesadaran yang ada pada anak-anak
yang lebih tua, misalnya seperti Shirley
12 tahun (Sanggar Samaria) yang melukis Mencari Mangsa. Juga
berbeda dengan Daniel Cahya (10 tahun, Sanggar KPS) yang melukis
Imam Bonjol.
Pada kedua anak yang belakangan, kesadaran bentuk amat menonjol,
sehingga keinginan menggarap anatomi mulai merebut perhatian.
Sementara pada Harris kesadaran suasana yang lebih penting.
Hasilnya tentu saja berbeda. Ini tidak dimaksud untuk
menyimpulkan bahwa kesadaran suasana lebih haik daripada
kesadaran bentuk. Kedua-duanya hanya merupakan kecenderungan
saja.
Satu-satunya yang melukis dencan itu warna adalah Yepi Atang
Roswita (11 tahun), dari Yayasan Pendidikatn Seni Rupa Bandung.
Judulnya: Petani dengan warna coklat muda, ia menggambar seorang
petani berangkat kesawah. Tidak ada yang penting dalam lukisan
ini, kecuali dialah yang berani memakai hanya satu warna dan
mencoba memainkan nuansa - meskipun kurang berhasil.
Lebih berhasil rekannya satu sanggar, Trisana Hadi (12 tahun)
yang melukis Kapal Laut. Tangkapannya pada bentuk baik. Caranya
memoleskan gulungan awan pada latar langit yang biru,
menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan mengerjakan emosi-emosi
pada bidang. Lukisan ini sudah meninggalkan teknik dekoratif,
sesuai dengan usia yang bersangkutan. Tapi bersamaan dengan itu
terasa pula dalam keadaannya sekarang ia sudah tak pantas lagi
ikut sanggar anak-anak. Mestinya ia memasuki sanggar-sanggar
remaja. Sebab kalau tidak ia bisa menjadi pengganggu kebebasan
imajinasi adik-adiknya yang berusia 5 tahunan.
Yang masih belum sempat diperhatikan dengan sungguh-sungguh
adalah usaha untuk membuat karya bisa disimpan awet. Beberapa di
antaranya sudah menggunakan cat. Bahkan Anang dari Sanggar
Tulodong (12 tahun) sudah melukis Ibukota Membangun dengan cat
di kanvas. Lukisannya bagus. Tetapi kemudian memang kita
terbentur pada kenyataan, bahwa sanggar-sanggar ini bukan untuk
mendidik anak-anak menjadi pelukis. Paling-paling untuk
mencintai seni lukis. Melihat potensi anak-anak itu, ada peluang
untuk meningkatkan sebagian potensi sanggar sendiri untuk
memberi kesempatan kepada anak-anak mempergunakan material yang
lebih baik. Seandainya ada di antara mereka yang benar-benar
hendak jadi pelukis atau menunjukkan bakat besar.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini