Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jangan Beri Mereka Uang

Pameran lukisan anak-anak usia 4-12 mei di TIM diikuti 17 sanggar dari Jakarta dan Bandung. Sanggar dimaksudkan agar anak-anak mencintai seni lukis. Hasil penjualan lukisan untuk dana sanggar.

4 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK kurang dari 19 sanggar lukis anak-anak sekarang ada di Jakarta. Hampir semuanya berjalan dengan bagus: kegiatan melukis dapat menjadi saluran membunuh waktu atau juga perkembangan jiwa anak-anak. Sebagaimana terlihat dalam pameran sanggarsanggar itu di Ruang Pameran TIM, 18 s/d 23 Mei yang lalu. Banyak di antara hasil-hasil tersebut merupakan kertas dialog yang jujur, di samping sebagai lukisan-lukisan yang segar. Pada hari pembukaan, banyak anak-anak dan orang tua hadir. 17 buah sanggar (satu dari Bandung) masing-masing dengan puluhan lukisan yang berbingkai dan berkaca, menjadi dunia yang tak habis-habisnya mengherankan. Dibanding pameran tahun lalu, kali ini perhatian untuk tiap lukisan sudah lebih baik. Tak ada lagi yang telanjang. Malah beberapa buah pigura begitu rapi, sehingga siap disimpan untuk waktu lama. Seleksi pun bertambah sempurna - mungkin juga karena anak-anak itu sendiri suah bertambah akrab dengan material yang dipakai. Aku Sedang Sedih Hanya Ajip Rosidi - ketua DKJ yang baru -- sebelum membuka pameran menyatakan kekhawatirannya kalau-kalau lukisan yang dijual dengan harga sekitar 3-4 ribu rupiah itu akan membuat anak-anak jadi berjiwa komersiil. "Saya tidak setuju kalau uang itu jatuh ke tangan mereka", katanya. Tapi pihak penghimpun sanggar kemudian menerangkan, bahwa uang langsung akan menjadi ke kayaan sanggar - untuk membiayai kelangsungan hidupnya. "Bayangkan saja, mereka bisa datang puluhan, dan setiap orang paling sedikit menghabiskan 3 lembar kertas", katanya menjelaskan kepada TEMPO. Anak-anak itu meliputi usia 4 sampai 12 tahun. Mereka dibagi menjadi 3 kelompok - kemudian diserahkan pemilihannya pada tim juri untuk menobatkan beberapa dari mereka sebagai pemenang. Dalam hal para pemenang ini, juri tentunya memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu. Pertimbangan mereka perlu sekali diungkapkan. Apalagi kalau ada usaha untuk mendokumentasikan karya para pemenang tersebut, misalnya untuk kalender. Agar hasil-hasil tersebut tidak serta-merta menjadi standar umum - yang bisa membuat kebebasan berkreasi terpusat hanya pada kompetisi untuk memenangkan penghargaan. Terlepas dari pilihan juri, ada beberapa lukisan yang menarik. Kita tertegun karena seperti dihadapkan pada pilihan. Apakah kita sedang menghadapi sesuatu yang kebetulan, atau memang teknik anak-anak sudah sedemikian baiknya sehingga gambar sudah menjadi bahasa. Misalnya lukisan yang bernama Aku Sedang Sedih. Berasal dari Susan, usia 5 tahun, yang ikut Sanggar Hang Lekiu. Dengan dasar violet, Susan menorehkan garis yang sangat efisien. Baik komposisi warna maupun bobot muncul dari lukisan ini. Memang mengherankan juga kenapa juri tidak sempat menoleh dan memberinya penghargaan. Padahal beberapa buah lukisan yang diberi penghargaan sama sekali tidak menimbulkan gambaran imajinasi yang kaya dan spontan, yang unggul dalam dunia anak-anak. Jakarta Membagun Hal yang serupa juga muncul dari lukisan Harris F. (8 tahun), yang melukis Pohon-pohon di Bukit, dari Sanggar Wijaya. Ada ketrampilan teknis serta keakraban pada material yang dipakai. Lukisan ini tidak saja spontan tetapi juga memiliki penyederhanaan dan pengarahan yang sadar pada komposisi. Tetapi kesadaran ini berbeda dengan kesadaran yang ada pada anak-anak yang lebih tua, misalnya seperti Shirley 12 tahun (Sanggar Samaria) yang melukis Mencari Mangsa. Juga berbeda dengan Daniel Cahya (10 tahun, Sanggar KPS) yang melukis Imam Bonjol. Pada kedua anak yang belakangan, kesadaran bentuk amat menonjol, sehingga keinginan menggarap anatomi mulai merebut perhatian. Sementara pada Harris kesadaran suasana yang lebih penting. Hasilnya tentu saja berbeda. Ini tidak dimaksud untuk menyimpulkan bahwa kesadaran suasana lebih haik daripada kesadaran bentuk. Kedua-duanya hanya merupakan kecenderungan saja. Satu-satunya yang melukis dencan itu warna adalah Yepi Atang Roswita (11 tahun), dari Yayasan Pendidikatn Seni Rupa Bandung. Judulnya: Petani dengan warna coklat muda, ia menggambar seorang petani berangkat kesawah. Tidak ada yang penting dalam lukisan ini, kecuali dialah yang berani memakai hanya satu warna dan mencoba memainkan nuansa - meskipun kurang berhasil. Lebih berhasil rekannya satu sanggar, Trisana Hadi (12 tahun) yang melukis Kapal Laut. Tangkapannya pada bentuk baik. Caranya memoleskan gulungan awan pada latar langit yang biru, menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan mengerjakan emosi-emosi pada bidang. Lukisan ini sudah meninggalkan teknik dekoratif, sesuai dengan usia yang bersangkutan. Tapi bersamaan dengan itu terasa pula dalam keadaannya sekarang ia sudah tak pantas lagi ikut sanggar anak-anak. Mestinya ia memasuki sanggar-sanggar remaja. Sebab kalau tidak ia bisa menjadi pengganggu kebebasan imajinasi adik-adiknya yang berusia 5 tahunan. Yang masih belum sempat diperhatikan dengan sungguh-sungguh adalah usaha untuk membuat karya bisa disimpan awet. Beberapa di antaranya sudah menggunakan cat. Bahkan Anang dari Sanggar Tulodong (12 tahun) sudah melukis Ibukota Membangun dengan cat di kanvas. Lukisannya bagus. Tetapi kemudian memang kita terbentur pada kenyataan, bahwa sanggar-sanggar ini bukan untuk mendidik anak-anak menjadi pelukis. Paling-paling untuk mencintai seni lukis. Melihat potensi anak-anak itu, ada peluang untuk meningkatkan sebagian potensi sanggar sendiri untuk memberi kesempatan kepada anak-anak mempergunakan material yang lebih baik. Seandainya ada di antara mereka yang benar-benar hendak jadi pelukis atau menunjukkan bakat besar. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus