BERITA terlambat dari Purwakarta. Peristiwa 'menginjak-injak,
mengencingi dan mengentuti Al Qur'an' seperti pernah diberitakan
koran Pelita, ternyata dibenarkan oleh pejabat kepolisian
setempat. Para pelakunya, 6 orang penduduk desa Cimahi,
Purwakarta, dan pejabat kepolisian yang memaksa tersangka
berbuat tidak senonoh itu, "kedua belah pihak sinting". Itu
komentar Komandan Resort 833 Purwakarta sendiri, Letkol Polisi
Arief Amin. Keenam penduduk yang dianggap sinting oleh Arief
itu, sebenarnya orang normal biasa. Nama mereka: Kaceng, Roji,
Khotibi, Enuh, Yusuf dan Bakar. Sedang polisi 'sinting' itu,
yang sekarang masih tetap efektif, tak lain Peltu Tadjudin
dengan jabatan terakhir Komandan Sektor di Campaka.
Kaceng, Roji, Khotibi, Enuh, Yusuf dan Bakar, mula-mula, memang
pernah ditahan polisi Campaka selama 1 malam. Mereka diambil
oleh Wanra dan Kamra, atas perintah pembina polisi desa Cimahi,
dengan tuduhan: telah merusak tanda gambar Golkar. Penangkapan
dan penahanan, tanggal 22 April lalu di tengah kesibukan
kampanye pemilu, menurut yang bersangkutan, tanpa disertai surat
yang sah. Kejadian ini cukup menggelisahkan para tersangka
sendiri, keluarga dan para tetangga. "Apalagi tuduhan merusak
tanda gambar Golkar itu belum tentu benar", kata pemuka
masyarakat setempat.
Karena yang sedang berurusan dengan polisi itu anggota Partai
Persatuan Pembangunan - kecuali Enuh, yang diketahui eks Tapol
PKI/C - keluarga menghubungi pimpinan partai setempat. Haji
Roekman, komisaris PPP setempat dan anggota Majelis Ulama,
mencoba mengurus persoalan anggotanya. Kepala Desa Cimahi, yang
warganya diciduk polisi, dihubungi. Tapi ternyata si Kepala desa
ini tak tahu apa-apa. Lalu Roekman, bekas bintara Siliwangi,
mengurus sampai ke kantor polisi. Di sana ia tak sempat menemui
komandan sektor yang sedang keluar kantor. Cuma surat
ditinggalkan, isinya, minta agar perkara keenam tahanan
diselesaikan secepatnya.
Demi Allah
Surat komisaris partai ini ditanggapi baik. Polisi, komandan
sektornya sendiri, segera melakukan pemeriksaan. Dan keesokan
harinya perkara beres dan jam 3 sore semua tersangka diizinkan
pulang. Hanya, selepas dari tahanan polisi, keenam orang ini
banyak bicara. Mula-mula Kaceng, yang ditemui Slamet Djabarudi
dari TEMPO di desa Cimahi mengulangi apa yang pernah
diungkapkannya di muka pimpinan partai -- dan yang kemudian
meluas di koran. Pemeriksaan ungkapnya, dilakukan oleh Peltu
Tadjudin, sang Dansek. Keenam tersangka membantah tuduhan, soal
penyobekan tanda gambar Golkar itu. "Demi Allah", kata Kaceng
dengan bahasa Sunda ala Purwakarta, "saya tidak merobek tanda
gambar Golkar".
Tersangka lain juga menyanggah begitu. Tapi pemeriksa, menurut
Kaceng, tetap saja mendesak walaupun tersangka sudah bersumpah
atas nama Allah. "Demi Allah sudah merupakan sumpah tertinggi",
ujar Kaceng. Memang tak terjadi tindakan kekerasan berupa
pemukulan selama pemeriksaan berlangsung. Tapi tuduhan yang
terus didesakkan membuat tersangka kehabisan kata untuk
bersumpah lagi. Sampai akhirnya, menurut Kaceng, polisi minta
'sumpah' yang terakhir: ia sendiri dan Roji disuruh mengencingi
Al Qur'an di depan polisi. Bakar, yang kebetulan bisa kentut,
diharuskan mengentuti kitab suci yang sama. Sedang Enuh, Yusuf
dan Khotibi melakukan sumpah yang terakhir: menginjak-injak
kitab suci itu sebelum dikencingi Kaceng. "Karena dituduh terus
menerus, saya terpaksa menuruti perintah polisi itu", kata
pemuda Kaceng yang baru berumur 18 tahun ini. Dengan taruhan
sumpah semacam itu, walaupun Tadjudin kelihatannya belum puas
memeriksa, para tersangka dilepaskan juga.
Kejadian begitu, sebenarnya, dapat dicegah pemberitaannya.
Sebab, antara polisi dengan tokoh masyarakat setempat, telah
bersepakat untuk menghabisi perkara begitu saja. Apalagi polisi
Purwakarta sudah bertindak: Dansek Tadjudin ditarik ke Komres, 8
km dari Campaka. Bahkan ketika masyarakat masih kelihatan tidak
puas dengan tindakan itu, Danres Arief memerintahkan agar
bawahannya - yang sebelumnya tinggal di Campaka itu --
memindahkan keluarganya ke Purwakarta.
Bukan Maunya Polisi
Tapi berita ketidak-senonohan di Komsek Campaka itu tersiar juga
oleh koran PPP. Arief Amin geleng kepala. "Ini sudah bersifat
politik", komentarnya. Padahal dari pihaknya, Arief telah merasa
cukup bertindak. "Tindakan terhadap Tadjudin itu sudah
maksimum", katanya. Bagaimana dengan desakan pimpinan pusat PPP
kepada Kapolri, agar ada tindakan lebih keras atas Tadjudin?
"Saya juga akan menindak keenam orang itu -- sebagai pihak yang
terlibat dalam penghinaan Al Qur'an harus ditindak
bersama-sama", kata Arief.
Menurut Arief, peristiwa penginjak-injakan, mengencingi dan -
mengentuti Al Qur'an, sebenarnya bukan maunya pihak polisi.
Pemeriksa, Tadjudin, hanya menawarkan sumpah tertinggi dengan
menggunakan kitab suci. Tapi para tersangk menurut Arief, malah
bersikeras: jangankan disumpah dengan Al Qur'an, atau sumpah
apapun, disuruh menginjak-injak, mengencingi atau mengentutinya
juga mau. "Jadi Tadjudin tidak memerintahkan sumpah cara
begitu", kata Arief. Tapi, ketika para tersangka hendak berbuat
yang tidak senonoh, polisi tidak mencegahnya? "Yaah, Dansek 'kan
bukan Danres! ", kata Arief.
Tadjudin sendiri, menurut Arief, sebenarnya tak pernah punya
niat menghina agama melalui tindakan yang tidak senonoh terhadap
Al Qur'an. "Dia polisi yang pendiam dan taat beragama", katanya.
Begitulah yang sudah terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini