Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hendrikus Woro berperan penting dalam perjuangan masyarakat adat Suku Awyu di Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan, yang sedang mencari keadilan untuk tanah ulayat mereka. Warga Kampung Yare di Distrik Fofi, Boven Digoel, ini memimpin penolakan terhadap ekspansi perkebunan sawit di hutan Papua. Perjuangan itu belakangan viral di media sosial dengan tagar All Eyes on Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hendrikus bercerita, awal mula masuknya perusahaan sawit ke wilayah tanah ulayat Suku Awyu terjadi pada 2013. Menurut dia, hamparan luas lahan sawit yang dimaksud berada antara Kali Mappi dan Sungai Digoel. "Dalam target yang akan dikelola, jumlah semuanya itu 262 ribu hektare," katanya kepada Tempo, 6 Juni lalu. Wawancara lengkap dengan Hendrikus bisa dibaca dalam Laporan Premium Tempo 'Hendrikus Woro, Toko Adat Suku Awyu: Kami Hanya Ingin Didengar'
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, wilayah pertama yang masuk lahan sawit yakni yang berada di Kampung Gententiri, Distrik Jair. Perluasan ke Kampung Yare disebutnya sejak 2017. "Antara di Gententiri dan Bomakia, di seputar itu, sudah habis lahan," katanya mengungkapkan.
Pada 2014, Hendrikus menyatakan mulai tergerak untuk membatasi perluasan perampasan tanah ulayat milik Suku Awyu. Dengan menggunakan alat seadanya, ia bersama beberapa warga mulai memetakan wilayah adat antar marga berserta batas-batasnya. "Kami pakai cara patok dan juga beberapa tanda-tanda untuk bisa melindungi wilayah adat kita antara marga A dan marga B."
Hendrikus sekaligus membangun komunitas dengan nama Komunitas Gerakan cinta Tanah Adat Awyu Bersatu. "Kemudian kami ada tambah juga tim paralegal," ucapnya.
Pergerakan Hendrikus dan komunitasnya itu berlanjut pada 2021 ketika melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Jayapura terhadap izin perusahaan sawit. Gugatannya itu kini sudah sampai Mahkamah Agung.
Sebelum berjuang ke Jakarta, ia sempat berkirim surat ke berbagai instansi terkait di Pemerintah Kabupaten Boven Digoel mempertanyakan kabar izin Amdal yang sudah diterbitkan. Dia menyebut Bappeda, Dinas Pertanahan, Dinas Lingkungan Hidup, dan juga Dinas PTSP Kabupaten Boven Digoel.
Perwakilan masyarakat suku Awyu Papua dan suku Moi menggelar doa dan ritual adat di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, 27 Mei 2024. Mereka menuntut Mahkamah Agung menjatuhkan putusan hukum dan membatalkan izin perusahaan sawit untuk melindungi hutan adat di Papua. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Hendrikus mengaku kukuh mempertahan tanah ulayat Suku Awyu karena prinsip dari leluhur bahwa manusia berasal dari tanah. Sehingga, kata dia, tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan. "Haram. Kami sendiri kena hukum adat seandainya lalai dengan warisan yang diberikan kepada kami."
Ia juga beralasan tanah ulayat sudah jadi milik mereka jauh sebelum Indonesia terbentuk.
"Sehingga kami tegap bertahan untuk melindungi tanah sampai mewariskan ke anak cucu kami," ucapnya lagi.
Perjuangan Hendrikus dan kawan-kawan dalam sepekan terakhir mendapat sorotan publik.
Ramainya tagar All Eyes on Papua menggambarkan dukungan publik untuk masyarakat adat Suku Awyu, juga Suku Moi dari Papua, yang sedang berjuang menolak pembangunan perkebunan sawit di wilayah mereka.
Tagar All Eyes on Papua sudah dibagikan lebih tiga juta kali di media sosial.
Pilihan Editor: Berakhir Hari Ini, Bagaimana Kelanjutan Operasi Hujan Buatan BMKG Isi Air Waduk Antisipasi Puncak Kemarau?