Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Amuk di Palimanan

Jalan utama Bandung-Cirebon tertutup tiga hari karena aksi massa warga Palimanan. Mereka mengamuk karena pencemaran atau hilangnya mata pencarian?

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKSI amuk massa seperti menjadi mode belakangan ini. Gara-gara debu, misalnya, lebih dari 2.000 orang mengamuk, pekan lalu. Mereka menyerbu PT Indocement Tunggal Perkasa (ITP) di Palimanan, Sumber, Jawa Barat. Dua pos satpam hancur, tembok dan pintu besi pabrik semen itu runtuh, tujuh sepeda motor dan sebuah mobil dibakar, bahkan truk pemadam kebakaran milik ITP ikut terjilat api.

Gerakan warga itu bermula pada Jumat subuh, dua pekan lalu. Massa dari enam desa di sekitar ITP itu memblokade jalur utama Bandung-Cirebon, sehingga petugas terpaksa mengalihkan lalu lintas pantai utara itu melalui Majalengka. Upaya polisi dan aparat pemerintah daerah untuk mengatasi keadaan tak memperoleh hasil. Setelah berlangsung tiga hari, polisi yang telah diperkuat dua kompi Brimob dan satu peleton pasukan pengendali massa berusaha membubarkan mereka. Namun, massa bukannya surut, melainkan malah menyerang aparat. Petugas kontan membalasnya dengan rentetan tembakan peluru hampa dan karet. Lima orang pun jatuh terluka saat menyelamatkan diri. Sementara seorang polisi babak belur dikeroyok massa.

Peristiwa ini sebenarnya merupakan letupan kemarahan warga yang dimulai sejak ITP berdiri, 16 tahun silam. Selama beroperasi, setiap hari pabrik milik Sudwikatmono dan Grup Salim itu memuntahkan debu yang mengakibatkan wajah Palimanan dan Ciwaringin selalu berbedak semen.

Penduduk hampir tak pernah bisa melihat sinar matahari pagi akibat tebalnya debu. "Persis saat Gunung Galunggung meletus," kata Malihatun, penduduk Desa Gempol, sekitar 1,5 kilometer dari ITP. Bahkan ''Sekitar 40 persen warga di kawasan ini sudah terserang infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) ringan," tutur dr. Rony Gunawan, kepala puskesmas setempat.

Pusat Kesehatan Masyarakat Palimanan ini mencatat, dalam dua tahun terakhir penderita paru-paru, batuk darah, ISPA, dan TBC (tuberculosis) meningkat hingga lima persen setiap bulan. Sayangnya, masyarakat menganggap batuk-batuk yang diderita hanya penyakit ringan, sehingga diduga masih banyak lagi penderita yang tak tercatat.

Masyarakat sudah melakukan aksi protes sejak pabrik berdiri. Hanya, upaya mereka selalu kandas membentur tembok kekuasaan perusahaan kroni Cendana ini, yang menggunakan aparat lokal untuk mengancam mereka dengan tuduhan PKI. Namun, setelah rezim berganti, gerakan menuntut ganti rugi berjalan kembali. Penduduk dari enam desa memperhitungkannya sebagai upah menyapu debu selama 16 tahun. Jika setiap hari dihargai lima ratus perak, diperoleh angka Rp 2,8 juta tiap rumah. Totalnya, dari 7.000 rumah, ITP harus membayar sekitar Rp 20 miliar. Jelas ITP keberatan. Perundingan pun gagal dan segera menyulut amarah warga hingga terjadi kericuhan.

Setelah keributan redam, tim panitia khusus (pansus) beranggotakan 17 orang langsung dibentuk. Mereka diambil dari wakil pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumber, lembaga swadaya masyarakat (LSM), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Sumber, kepala desa, serta wakil ITP.

Tim Pansus memutuskan memberi uang kadeudeuh (tali kasih sayang) sebesar Rp 700 juta atau sekitar Rp 100 ribu setiap rumah. Selain uang debu, ITP menyerahkan Rp 420 juta untuk membeli satu mobil puskesmas keliling, membangun fasilitas umum, dan beasiswa bagi anak keluarga tak mampu.

Masyarakat mau menerima? ''Ya, mau bagaimana lagi," kata Malihatun dengan nada pasrah. Warga tampaknya merasa telah lelah melakukan protes. Dua bulan lalu, tiga kali warga Palimanan mengadu ke DPRD tapi tak pernah digubris. Padahal, bedak debu semen itu saban hari menebar di areal radius 2,5 kilometer dari ITP.

ITP menolak karena merasa keberatan jika disebut sebagai satu-satunya penyebab pencemaran. Penghasil semen clinker 2,4 juta ton per tahun ini menuding, pencemaran berasal dari usaha tradisional masyarakat yang membuat gamping atau kapur. Proses produksi yang sederhana itu ditengarai tak pernah mengindahkan soal pengolahan limbah debu. Buktinya, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang dimiliki ITP menunjukkan debu semen di permukiman sekitar ITP rata-rata 92,37 milikron tiap meter kubik udara, jauh di bawah batas maksimum toleransi 260 milikron.

''Memang susah kalau harus menjerat ITP," kata Alwi, anggota pansus dari Bapedalda Sumber. Soalnya, hingga kini pohon-pohon masih bisa tumbuh meski tidak sesegar pada umumnya. Bahkan serangga dan semut—penentu standar kehidupan yang dipakai dunia—masih bisa hidup. Walhasil, Alwi mendukung tudingan ITP bahwa sumber pencemaran juga berasal dari para produsen gamping setempat.

Kendati demikian, Bapedalda menyesalkan tidak memadainya fasilitas pengolahan limbah debu yang dimiliki ITP, yang memiliki dua cerobong dilengkapi alat penyaring debu, electrostatistic precipitators. Idealnya, ITP memasang tiga cerobong karena mesin penyaring itu harus beristirahat selama satu jam setiap beroperasi satu hari. Nah, saat istirahat itu, debu nyelonong ke udara tanpa disaring.

Cuma satu jam? Penduduk yang tinggal di samping pabrik semen itu mengatakan kepada TEMPO, masa ''istirahat" cerobong tak cuma satu jam. ''Asal sudah gelap (malam hari), cerobong itu mengeluarkan debu tebal," katanya.

Tuduhan ITP kepada masyarakat pembuat gamping juga ditepis Forum Komunikasi Marhaenis (Forkam) sebagai terlalu mengada-ada. LSM yang mendampingi masyarakat Palimanan ini mencatat, sebelum ITP beroperasi, ada 8.000 orang yang membuat gamping. Namun, sejak tahun lalu mereka tinggal 40 persen karena gunung kapurnya sudah dikapling ITP.

Akibatnya, banyak penduduk setempat yang kehilangan mata pencaharian utamanya. Sedangkan ITP merekrut sebagian besar dari 2.000 karyawannya dari luar Palimanan, Ciwaringin, dan Cirebon. ''Kalaupun ada, paling-paling jadi kuli kasar," kata seorang penduduk.

Hilangnya mata pencaharian ini tampaknya ikut menyulut terjadinya demonstrasi dua pekan lalu. Mereka kesal mengapa orang luar yang dapat pekerjaan, sementara penduduk setempat cuma kebagian debunya saja.

Agaknya inilah PR utama pengelola ITP: bagaimana membina hubungan dengan masyarakat setempat agar mendukung kegiatan bisnis mereka.

Agung Rulianto, Upiek S. (Palimanan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus