Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KITA semua hafal foto itu. Hampir semua orang Indonesia bisa menjelaskan dengan lancar, kapan dan di mana foto itu dibuat: pada bulan November 1945, di Surabaya, dalam pertempuran ”arek-arek” melawan Inggris, yang kini kita peringati sebagai ”Hari Pahlawan Nasional”. Itu yang kita baca di kitab-kitab sekolah yang berisi reproduksi kusam foto-foto bersejarah. Itu yang kita ketahui dari terbitan resmi pemerintah macam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka. Itu pula yang biasa kita lihat dalam pameran-pameran perjuangan di berbagai museum dan ruang pamer.
Imaji itu memang muncul di mana-mana—bahkan dalam tampilan warna-warni karya para seniman dadakan yang menghias gapura di mulut-mulut gang setiap 17 Agustusan. Dengan mata tertutup pun banyak di antara kita yang bisa menggambarkannya kembali. Yang muncul dalam benak kita adalah sorot mata tajam dan penuh semangat dari seorang pemuda bernama Bung Tomo. Wajahnya yang ganteng, berhiaskan kumis dan peci prajurit khas pejuang zaman itu. Sosoknya yang jantan, seperti yang dilambangkan oleh tangannya yang mengacung ke langit. Seragamnya yang aksi. Bahkan, kita juga akan teringat pada alat pengeras suara dan payung bermotif garis-garis yang begitu mengesankan suasana ”tempo doeloe”. Pendek kata, selama setengah abad lebih foto itu telah menjadi sebuah ikon.
Namun, foto paling terkenal dari babak paling heroik dalam revolusi kemerdekaan Indonesia itu boleh jadi tidak pernah ada.
Manusia, bukan foto, yang berbohong. Praktek memelintir makna sebuah rekaman foto—yang konon dianggap sebagai media yang seharusnya obyektif dan jujur—sudah sama tuanya dengan sejarah foto itu sendiri. Itu bukan cuma terjadi di rezim macam Cina atau Soviet, tapi juga di Amerika Serikat, dan bahkan pada episode yang kita anggap suci seperti revolusi kemerdekaan. Ada beberapa contohnya: foto tahun 1949 yang memperlihatkan adegan ”mengharukan” Bung karno merangkul Jenderal Sudirman yang baru kembali dari gerilya, foto Letnan Kolonel Soeharto ”menyambut” Sultan Hamengku Buwono IX setelah keberhasilan Serangan Umum 1 Maret, dan lain-lain.
Seperti yang ditulis sejarawan Australia, Robert Crob, para pemimpin RI saat itu kebanyakan belum berpengalaman dalam bidang administrasi pemerintahan. ”Karena itu, Republik lebih bergantung pada ideologi dan retorika sebagai satu-satunya alat untuk memelihara hukum dan ketertiban.” Fotografi, adakalanya, menjadi salah satu alat itu.
Dalam kasus foto Bung Tomo, ironisnya, kita mengetahui bahwa foto itu sebenarnya tidak pernah dibuat justru karena keberadaan foto itu sendiri. Negatif asli dari foto Bung Tomo tersebut betul bisa ditemukan dalam koleksi Indonesia Press Photo Service (Ipphos)—sebagaimana halnya negatif foto lain dari peristiwa pertempuran Surabaya yang juga sudah sangat kita kenal, misalnya foto para penembak meriam antiudara, atau gambar prajurit yang menyeberangi rel kereta menyerbu lawan. Tapi, di situlah masalahnya. Tampaknya, pada November 1945 itu, Ipphos masih sebuah angan-angan di benak pendirinya. Kakak-beradik Umbas masih bertugas di Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sembari bertahan hidup dengan berdagang sayur-mayur dari Kerawang. Alex dan Frans Mendur baru satu bulan bekerja pada harian Merdeka.
Sementara itu, wartawan kawakan Rosihan Anwar menulis dalam Kisah-Kisah Jakarta Setelah Proklamasi, bahwa di antara reporter koran pimpinan B.M. Diah itu, cuma dirinya dan Mohamad Supardi yang masuk ke medan tempur Surabaya. Itu pun bukan sesuatu yang direncanakan, mengingat keduanya kebetulan berada di Yogyakarta mengikuti rombongan Bung Karno, Hatta, dan Sjahrir, yang menghadiri Kongres Seluruh Pemuda.
Sebaliknya, sejarah resmi kantor berita Antara menyatakan bahwa foto-foto tersebut adalah karya Abdoel Wahab, fotografer asal Surabaya yang pernah menjabat Kepala Foto Domei di kota pelabuhan itu. Ini lebih masuk akal, mengingat bahwa dari tanggal 17 hingga 27 November 1945, surat kabar seperti Merdeka dan Ra’jat di Jakarta serta Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta menerbitkan belasan foto liputan Surabaya yang nyaris sama bentuk dan isinya, termasuk di antaranya beberapa gambar seperti yang sudah disebutkan di atas yang kini ada dalam koleksi Ipphos. Kreditasi satu-satunya untuk foto-foto itu adalah atas nama Antara.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam perjalanan waktu, dokumen itu berpindah tangan. Tapi, pemikiran ini segera ditentang oleh M. Sayuti, fotografer senior Antara yang pernah menjadi anak buah Abdoel Wahab di Yogyakarta dari 1946 sampai 1949. ”Wahab itu mementingkan autentisitas,” ujar Sayuti, ”Tidak mungkin ia menjualnya kepada Ipphos.” Sayuti lantas teringat pada sebuah peristiwa ketika tanpa sepengetahuan Wahab, ia meminjamkan cetakan foto peristiwa Surabaya ke harian Kedaulatan Rakyat. ”Saya dimarahinya,” ujar Sayuti dalam sebuah wawancara.
Terlepas dari kontroversi siapa penciptanya, isi foto itu pun sebenarnya penuh dengan teka-teki. Seandainya imaji itu memang menggambarkan Bung Tomo seperti yang kita bayangkan selama ini, yakni saat memberi semangat masyarakat Surabaya yang bertempur, kenapa tak ada satu pun media cetak ”kiblik” (Republik) memuat foto sedahsyat ini dalam reportase mereka tentang November 1945? Padahal, saat itu Merdeka, Ra’jat, ataupun Kedaulatan Rakyat selama berhari-hari menyediakan halaman khusus untuk memuat foto-foto kancah perang Surabaya. Foto-foto Bung Tomo yang muncul dalam liputan tersebut cuma berupa potret biasa.
Yang juga menjadi ganjalan adalah keterangan bahwa selama pertempuran yang berlangsung sejak Oktober itu, Kota Surabaya digempur dari udara, laut, dan darat. Maka, tidak masuk akal jika Bung Tomo akan mengorbankan rakyat Surabaya dan dirinya sendiri secara sia-sia dengan cara mengadakan rapat umum di lapangan terbuka, tempat mereka akan menjadi sasaran empuk Inggris. Kenyataannya, sepanjang konflik di Surabaya, Bung Tomo berpidato dari stasiun pemancar yang terkenal dengan nama Radio Pemberontak. ”Seperti guntur, begitulah suara khas Bung Tomo yang meledak-ledak menggema di radio,” demikian kenangan seorang gadis bernama Sulistina, yang belakangan menjadi Nyonya Bung Tomo, dalam biografi Bung Tomo, Suamiku. Informasi yang sama bisa kita dapatkan di halaman demi halaman dalam terbitan Rakyat Jawa Timur Mempertahankan Kemerdekaan ataupun Memoir Hario Kecik.
Buku yang terakhir ini mungkin satu-satunya yang memberikan kesaksian tentang pidato Bung Tomo di depan masyarakat Surabaya. Tapi, insiden itu terjadi pada akhir September 1945, ketika pertikaian masih terbatas antara rakyat dan serdadu Jepang dan warga sipil Belanda. Lagi pula, kehadiran Bung Tomo bersama Daidan Co Mohammad saat itu bukan untuk mengobarkan semangat juang, melainkan justru untuk membubarkan masa yang sudah siap menyerbu markas Jepang di daerah Sawahan. ”Dalam hati saya mencaci-maki kedua orang yang berpidato itu,” demikian ditulis sang pengarang, yang juga seorang pejuang Surabaya, ”Sebab, saya merasa hal itu bertentangan dengan suasana dan semangat pemuda pada umumnya. Baru kemudian saya sempat berpikir penyebab mereka berdua bertindak seperti itu.”
Dalam sebuah wawancara beberapa tahun silam, Suhario Padmodiwiryo alias ”Hario Kecik” lantas menjelaskan bahwa foto Bung Tomo yang terkenal itu mustahil dipotret pada bulan November 1945. ”Bung Tomo adalah bekas pegawai radio Jepang,” kata Hario. ”Gaya rambut panjang dan memelihara jenggot tidak ada di kalangan mereka. Apalagi saat itu kita masih baru merdeka.” Ini serupa dengan apa yang dikatakan William Frederick dalam penelitiannya yang diterbitkan oleh KITLV Leiden di Belanda, pada 1977. Terlepas dari pandangan populer serta penggambaran film-film cerita, tidak betul bahwa semua pejuang dan pemuda di zaman revolusi berambut gondrong. Maka, ada baiknya kita melongok halaman Nanyang Post. Pada edisi Februari 1947, nomor 14, majalah dwibahasa Tionghoa-Indonesia itu, diterbitkan dua lembar foto yang memperlihatkan Bung Tomo dalam pose dan penampilan yang serupa dengan foto terkenal itu, mirip hingga ke pengeras suara dan payung bermotif garis-garisnya, tapi dipotret dari sudut yang berbeda.
Artikel yang menyertai gambar itu (sayangnya tanpa kreditasi pemotret) berbunyi, ”Rapat oemoem di Malang jang baroe ini, mengoempoelkan pakaian-pakaian boeat korban-korban Soerabaia. Jang lagi berbitjara pemimpin pemberontak toean Soetomo….”
Yudhi Soerjoatmodjo,
Direktur ”i see”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo