Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Tatapan Abadi Ipphos

Foto-foto karya Mendur dan Umbas bersaudara tak hanya berkisah tentang sejarah kemerdekaan, tetapi juga hidup keseharian bangsa yang baru saja lahir setelah penjajahan. Inilah foto karya Ipphos yang sebagian besar belum pernah dipublikasikan.

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oleh: Yudhi Soerjoatmodjo*)

Lautan manusia itu membelah. Mereka memberi jalan untuk mobil kap terbuka yang mengantar Presiden Sukarno dan Sultan Hamengku Buwono IX dari lapangan udara. Sepanjang jalan dari Kemayoran hingga Istana Merdeka, kendaraan mewah yang dipinjam dari pengusaha kondang Dasaad itu lebih menyerupai sebuah sekoci di tengah gelombang lambaian tangan dan pekik ”merdeka!” warga Jakarta. Fotografer Regering Voorlichtingdienst (Dinas Penerangan Belanda) Johnny Waworuntu sempat duduk di atas hidung oto untuk memotret kedua pemimpin Republik itu, yang sebentar-sebentar berdiri dari jok belakang untuk membalas sambutan rakyat. Fotografer legendaris dari Prancis, Henri Cartier-Bresson, berlari di samping para prajurit pengawal sambil membidikkan tustel Leica-nya.

Sampai di halaman bekas kediaman Gubernur Jenderal Belanda, masa yang sudah menunggu sejak pagi tak terbendung lagi. Frans ”Nyong” Umbas (1915-1997) memotret dari atas susur tangga menggunakan kamera Bush-Pressman 6 x 9 cm yang baru dibelinya dari Johnny Waworuntu seharga 7.500 gulden. Rekaman yang kini ada dalam koleksi Indonesia Press Photo Service Company (Ipphos) itu memperlihatkan seberapa dekatnya jarak yang memisahkan Presiden dengan puluhan ribu rakyat yang berimpit-impitan untuk mendengarkan pidatonya. Sebuah koridor sempit, tak sampai tiga meter dari tempat berdirinya sang Proklamator, menjadi satu-satunya tempat yang dibiarkan kosong untuk memberi ruang bidik bagi puluhan juru kamera dari dalam dan luar negeri.

Di kaki tangga itulah, setelah malang-melintang di medan tempur Jawa Tengah dan Timur selama empat tahun, fotografer Antara M. Sayuti bertemu kembali dengan rekannya, Abdoel Kadir Said. Sebelum kemerdekaan, keduanya menjadi bagian dari tujuh sekawan yang digembleng Jepang untuk menjadi fotografer di kantor berita Domei. Ketika ibu kota pindah ke Yogyakarta, awal 1946, sebagian besar rekannya turut hijrah. Kadir Said satu-satunya yang bertahan di Jakarta.

Di kaki tangga Istana itu pula, keduanya berdesak-desakan dengan Alex Mendur (1907-1984), fotografer senior yang pada 1944 pernah menjadi atasan mereka di pers Jepang tersebut. Bagi Alex, foto Presiden Sukarno yang dibuatnya saat itu—sebuah potret yang memperlihatkan Bung Karno berdiri dengan gagah dan penuh kepercayaan diri dengan seragamnya yang berwarna putih—boleh jadi mengingatkannya kembali pada peristiwa serupa, pada hari pertama revolusi. Tanggal 17 Agustus 1945, Alex bersama adiknya yang fotografer di harian Asia Raya menjadi satu-satunya juru foto yang menyaksikan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bung Karno. Pagi itu, empat tahun silam, pada detik ketika jari tangan para fotografer itu memencet tombol kamera yang mengabadikan momen bersejarah tersebut, Alex dan Frans Mendur (1913-1971) menjadi fotografer pribumi pertama yang menjadi warga negara Indonesia.

Maka, peristiwa pada siang hari 28 Desember 1949 itu—kembalinya Presiden Sukarno ke Jakarta setelah penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda ke Republik Indonesia—ibarat sebuah reuni besar dan terakhir sebuah generasi, sebelum semuanya berubah dan punah dimakan waktu. Khususnya, bagi belasan juru kamera tiga kantor berita ”kiblik” yang termasyhur itu—Ipphos, Antara, dan Berita Film Indonesia (BFI)—ini terakhir kalinya mereka berkumpul bersama dalam formasi yang sama lengkapnya seperti ketika pertama kali mereka berdiri.

Pertemuan di atas tangga antara Sayuti dan Kadir Said, misalnya, adalah untuk yang terakhir kalinya sebagai rekan sekantor. Bersama dengan beberapa fotografer Antara lainnya, Sayuti kemudian memilih mengabdi di Kementerian Penerangan RI di bawah pimpinan Johnny Waworuntu. Abdoel Wahab, kepala foto Antara yang tersohor keberaniannya saat pertempuran Surabaya 1945, sempat bertahan beberapa waktu sebelum akhirnya juga pindah ke Perusahaan Film Negara (PFN). Sejak hari-hari terakhir perang kemerdekaan, biro foto Antara tampaknya mulai memasuki masa-masa sulit. Dalam kurun waktu 20 tahun, koleksi foto Antara, yang mungkin berjumlah ratusan ribu negatif, semuanya punah. Yang pertama kali terjadi saat penyerbuan Belanda ke Yogyakarta pada ”Aksi Polisionel” II, tahun 1948. Dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu, Sayuti bercerita bahwa foto-foto yang sempat diselamatkan dengan cara dikubur di kebun belakang rumah persembunyian rusak terkena lembap. Hampir dua dasawarsa kemudian, sejarah seperti berulang. Setelah peristiwa G30S yang melibatkan beberapa karyawan kantor berita yang didirikan Adam Malik dan kawan-kawan itu, seorang intelijen militer memboyong seluruh arsip foto Antara dan kemudian membakarnya di sebuah bak sampah di depan Sungai Ciliwung (yang kini adalah halaman Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara). Soebagijo I.N., wartawan senior dan sejarawan Antara yang meja kerjanya saat itu berdekatan dengan ruang penyimpanan foto, mengaku dalam sebuah wawancara bahwa ia tak bisa berbuat apa-apa ketika menyaksikan peristiwa itu.

Sementara itu, pada akhir 1950 BFI telah menjelma menjadi perusahaan milik negara di bawah Kementerian Penerangan RI. Padahal, kantor berita gambar bergerak itu dibentuk atas inisiatif bekas karyawan lembaga perfilman Jepang, Nippon Eiga Sha, dalam sebuah perebutan yang cukup menegangkan. Saat itu, R.M. Soetarto, yang sejak tahun 1930-an terkenal sebagai juru foto dan sineas di Surakarta, terpaksa menodongkan pistol ke kepala pemimpinnya yang berkebangsaan Jepang. Nasib BFI pada tahun-tahun setelah penyerahan kedaulatan pun tak jauh berbeda dari Antara. Gudang penyimpanan film PFN mengalami dua kali kebakaran besar. Beberapa tahun lalu, R.M. Soetarto menulis bahwa, kecuali beberapa duplikat yang pernah mereka kirim ke luar negeri, kemungkinan besar arsip-arsip film BFI di Indonesia ”sudah tidak ada lagi atau hancur”.

Maka, Ipphos menjadi satu-satunya dari tiga serangkai itu yang berhasil bertahan, bahkan hingga hari ini. Dari sekian ratus ribu negatif dalam koleksinya, sebagian besar masih utuh dan dalam keadaan baik. Ini fakta yang mencengangkan sebetulnya. Apalagi mengingat bahwa dari sejak pendiriannya tanggal 2 Oktober 1946 sampai sekarang, Ipphos tetap mempertahankan identitasnya sebagai kantor berita swasta yang independen. Dalam hal ini mereka mengambil kebijakan yang berseberangan dengan Antara dan BFI, yang sedari awal kemerdekaan langsung memutuskan untuk berlindung di bawah pemerintah RI. Demikian pula ketika Antara dan BFI memindahkan hampir semua personel dan peralatannya untuk mengikuti pemerintah RI yang hijrah dari Jakarta, Ipphos pun membuka sebuah kantor di Yogyakarta tapi tetap mempertahankan kantornya di Molenvliet Oost 30 (kini Jalan Hayam Wuruk).

Di luar bantuan yang diberikan oleh beberapa pemimpin nasional seperti Bung Karno dan Hamengku Buwono IX atau pengusaha semacam Dasaad dan Rahman Tamin, para pendiri Ipphos berdagang sayur-mayur dan segala yang bisa diperdagangkan saat itu. Di antara upaya mereka adalah melayani pemotretan foto identitas, acara perkawinan, bahkan pesta sinterklas atau perayaan Ratu yang diselenggarakan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya di Batavia. Dari sinilah mereka menjaga kelangsungan hidupnya selama masa-masa sulit peperangan—bukan cuma secara finansial, tapi juga secara politis. Pada 1949, misalnya, dinas penerangan Belanda RVD menerbitkan daftar media cetak yang terbit di Indonesia. Majalah Ipphos Report yang diterbitkan Alex Mendur dan kawan-kawan dengan oplah 5.000 eksemplar termasuk dalam kategori yang dianggap ”terpenting”, namun tidak digolongkan sebagai ”Federalis”, ”Republik”, ataupun ”Komunis”.

Di belakang hari, fakta ini memancing beberapa keraguan terhadap komitmen dan integritas Ipphos sebagai pers pejuang. R.M. Soetarto, misalnya, menilai kantor berita ini terlalu ”komersial dan besar kepala”. Lantas, dalam sebuah wawancara, fotografer Antara seperti Sayuti dan Mudiyanto menuduh Alex Mendur dan kawan-kawan ”bermuka dua” karena mau melayani warga sipil dan militer Belanda. Mereka curiga dengan akses yang diberikan Belanda kepada Ipphos, sehingga para fotografer kantor berita ini bebas keluar-masuk perundingan Kaliurang dan Renville yang sangat terbatas itu.

Yang menarik dari semua ini bukan karena komentar-komentar bernada miring itu berasal dari para pesaing Ipphos, tapi karena pandangan semacam ini pada hakikatnya mencerminkan dikotomi yang muncul di antara nasionalis yang berjuang dari front tempur di Jawa Tengah dengan mereka yang tidak kalah nasionalisnya yang bertahan di kota diplomasi Jakarta. Hal ini pernah menjadi bahan penelitian sejarawan Robert Cribb. Dalam bukunya yang berjudul Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 (1990), ia menulis: ”Ciri yang paling khas dari kampanye Republik di Jawa Barat adalah tidak adanya tuntutan yang nyata bagi para pengikutnya, selain loyalitas pribadi secara diam-diam. Tiap tindakan yang mengganggu kekuasaan Belanda merupakan suatu sumbangan... bersikap tidak aktif berarti menyebabkan Belanda terus menduga-duga; bekerja untuk Belanda berarti menginfiltrasi musuh.”

Para pengriktik Ipphos tidak menyadari bahwa strategi Alex Mendur dan kawan-kawan justru sesuai dengan pola perjuangan Republik. Hampir segalanya di Ipphos—mulai dari lokasi kantor, pembagian kerja, hingga personalianya— mencerminkan perpaduan antara pragmatisme dan idealisme. Sementara kantor mereka di Jakarta terletak di wilayah Belanda, Ipphos Yogyakarta menumpang di gereja milik Pendeta Jacob yang juga menjadi markas pejuang dan pengungsi Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Demikian pula, Ipphos Jakarta dipimpin Alex Mendur dan ”Nyong” Umbas yang fasih dengan bahasa dan tata krama Belanda, sebaliknya Yogyakarta dijalankan oleh Frans Mendur yang bergaya kerakyatan. Saat Alex dan ”Nyong” mendekati para pejabat militer Belanda, Frans mengirimkan foto-foto pertempuran dari sarang gerilya. Sementara para wartawan ”kiblik” lainnya dijebloskan ke bui pada Agresi I, tahun 1947, Ipphos Jakarta lolos dari penangkapan dan penyitaan serdadu Belanda. Lantas, sementara arsip kantor berita lainnya tercerai-berai pada Agresi II, tahun 1948, koleksi Ipphos Yogyakarta malah diselamatkan pihak Keraton.

Maka, segala pembahasan tentang Ipphos bermula dan berakhir dengan foto-fotonya. Kendati beberapa puluh gambar Ipphos yang beredar di masyarakat dalam 50 tahun terakhir ini cuma mencerminkan pandangan politik kelompok yang saat itu berkuasa, penelitian terhadap sekitar 30 ribu foto Ipphos beberapa tahun belakangan ini menunjukkan bahwa karya-karya fotografernya jauh lebih kaya dan kompleks dari yang kita duga. Dari posisinya yang mandiri, Alex Mendur dan kawan-kawan memiliki pemandangan yang lebih luas. Yang mengejutkan, sebagian besar foto Ipphos dari zaman revolusi kemerdekaan adalah tentang manusia biasa—petani, buruh, pegawai kantor, tentara, bahkan pelacur dan pemadat—bukan cuma para pemimpin dan tokoh militer seperti yang selama ini diperlihatkan kepada kita oleh buku-buku sejarah resmi. Selain itu, koleksi tersebut lebih banyak memperlihatkan masyarakat sipil dalam kesehariannya—membersihkan jalan, berangkat ke kantor, menonton, berdagang, dansa-dansi—ketimbang aksi tembak-menembak di medan tempur.

Tapi, yang paling menarik di mata fotografer Ipphos, baik Indonesia maupun Belanda pertama-tama selalu dihadirkan sebagai manusia yang memiliki harapan dan ketakutan, bukan sekadar sebagai ”si baik” dan ”si buruk”.

Ini yang paling membedakan karya mereka dari semangat hitam-putih Antara dan BFI. Dan ini pula yang akan membuat Ipphos terus abadi dan mendunia. Sebagaimana gambaran lautan manusia yang menyambut kepulangan Bung Karno di atas, foto-foto Alex Mendur dan kawan-kawannya berbicara tentang hakiki manusia—lama setelah manusia yang membuat dan melihatnya tenggelam oleh sang waktu.

*)Tulisan ini adalah cuplikan dari buku Tahun-Tahun Mukjizat: Karya Foto Zaman Kemerdekaan 1945-1950 karya Yudhi Soerjoatmodjo, yang akan terbit Oktober 2000.

Yudhi Soerjoatmodjo,
Direktur ”i see”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus