Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah Serbia adalah catatan tentang para pahlawan yang kalah dalam peperangan. Boleh jadi, itu sebabnya Slobodan Milosevic, yang membawa bangsanya berperang melawan persekutuan negara Barat dan menjadi pecundang, ternyata berpeluang cukup kuat untuk terus bertahan di kursi kekuasaannya.
Setidaknya, kesan inilah yang mencuat dari hasil pertemuan partai oposisi di Kota Podgorica, Ahad pekan lalu. Para lawan politik Milosevic itu gagal mendapatkan kesepakatan dalam pengajuan calon tunggal untuk bertanding dengan Milosevic dalam pemilihan umum, 24 September nanti.
Lima belas partai oposisi sepakat untuk mengajukan Vojislav Kostunica, tokoh nasionalis dari Partai Demokrasi Serbia (PDS), sebagai calon mereka. Namun, partai oposisi terbesar, Gerakan Pembaharuan Serbia (GPS), tetap bersikukuh untuk mencalonkan Vojislav Mihajlovic sebagai kandidat presidennya.
Perpecahan kalangan oposisi itu jelas menguntungkan Slobodan Milosevic, yang menjadi presiden negeri ini sejak 1987. Popularitasnya yang melorot semenjak kekalahannya dari NATO setelah Beograd dihujani bom selama 78 hari, pertengahan tahun lalu, ternyata tak cukup deras untuk membuatnya terpental. Ia bahkan berhasil menghapus undang-undang yang membatasi masa jabatan presiden, akhir bulan lalu, sehingga pria kelahiran Pozarevac, Serbia, itu bisa kembali mencalonkan diri menjadi presiden dalam pemilu mendatang.
Namun, jalan Milosevic dalam mempertahankan kekuasaan tampaknya tidak akan semudah masa lalu. Pasalnya, kali ini para kandidat penantang Milosevic juga beretnis Serbia, hingga ia tak dapat lagi menggunakan kartu nasionalis yang pada 1987 lalu ia mainkan dengan begitu lihainya.
Selain itu, para pesaingnya sudah berpengalaman dalam kiat-kiat merebut suara pemilih. Vojislav Mihajlovic, misalnya, adalah wali kota Beograd yang menang dalam pemilu lokal pada 1997. Selain itu, GPS memang memiliki daya pikat untuk menarik suara karena partai tersebut adalah kekuatan politik yang paling dizalimi oleh rejim Milosevic. Vuc Draskovic, ketua GPS, pernah menjadi sasaran percobaan pembunuhan, dan tokoh partainya banyak yang dipenjara sebagai tahanan politik Milosevic.
Adapun Vojislav Kostunica, yang dijagokan 15 partai oposisi, dikenal sebagai orang yang ultranasionalis seperti Milosevic, tapi lebih bisa diterima oleh etnis-etnis lain. Sedangkan Milosevic sudah telanjur dicap sebagai "pembasmi etnis".
Walhasil, Mihajlovic dan Kostunica sudah bisa disebut sebagai petarung kuat untuk merebut kursi kepresidenan. Kendati demikian, mereka harus menghadapi lawan yang berpengalaman dan dikenal licik.
Milosevic sudah tahu bagaimana berkuasa di tengah kondisi porak-poranda. Menurut seorang analis, strateginya dalam memecah belah lawan sangat manjur. Ia, misalnya, diduga mempunyai peran dalam memicu keributan di antara pihak oposisi. Pihak PDS sampai mencurigai pimpinan GPS, Draskovic, sebagai orangnya Milosevic, karena Draskovic pernah menjabat wakil perdana menteri. Sementara itu, Presiden Montenegro, Milo Djukanovic, sampai saat ini menolak untuk menyertakan rakyatnya dalam pemilu. Padahal, Montenegro merupakan kantong suara buat pihak oposisi karena rakyat negara bagian Serbia ini sangat membenci Milosevic.
Hal terakhir yang semakin memperkuat posisi Milosevic adalah "niat baik" PBB yang menjadi sponsor pemilu lokal di negara-negara bagian Yugoslavia. Maksud ideal dari pemilu tersebut adalah untuk melacak suara dari bawah. Namun, ternyata pemilu lokal justru memperkuat suara ingin merdeka dari negara bagian sehingga menimbulkan reaksi balik nasionalisme Serbia yang menguntungkan pemerintah federal.
Hal ini membuat Kofi Annan, Sekretaris Jenderal PBB, sangat mengkhawatirkan perkembangan situasi di Yugoslavia. "Situasi Serbia sama sekali tidak mereda, tidak menjadi makin jelas. Kita malah melihat demokrasi yang keliru. Orang memilih dengan alasan yang salah," katanya.
Tampaknya, Milosevic memang mempunyai ilmu berkuasa seperti Saddam Hussein, pemimpin Irak. Semakin banyak pihak luar yang menyerang, makin kuatlah dia.
Apa boleh buat, Serbia seperti telah menjadi sandera dari masa lalunya. Cenderung menjadikan pahlawan para pemimpin mereka yang dikalahkan orang asing dalam pertempuran, tanpa mempedulikan siapa yang benar atau yang salah dalam peperangan itu.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo