ANGIN dingin yang merangsek ke tulang sumsum tak membekukan langkah belasan ribu orang dari penjuru dunia datang ke Johannesburg, ibu kota Afrika Selatan, di pengujung Agustus. Sebanyak 18 ribu orang peserta dari 191 negara itu akan menghadiri konferensi tingkat tinggi pembangunan berkelanjutan (The World Summit on Sustainable Development—WSSD), 26 Agustus-4 September. Dibuka Senin pekan lalu oleh Presiden Tabo Mbeki, konferensi sepuluh tahunan yang mengurusi bumi itu menelan biaya Rp 450 miliar. "Apartheid global harus diakhiri," kata Mbeki. Jurang antara negara maju dan berkembang, kondisi keuangan dan perdagangan yang timpang, pola konsumsi dan produksi yang tidak seimbang, serta akses terhadap sumber daya alam yang tak merata, menurut Mbeki, adalah bagian dari ketidakadilan yang mempercepat kerusakan habitat yang cuma semata wayang ini.
Konferensi itu diniatkan mencapai tiga kesepakatan yang dianggap bisa mengerem laju kehancuran jagat raya. Yang pertama adalah memberikan tenggat yang pasti terhadap semua program yang disepakati dalam konferensi, lalu melahirkan deklarasi politik yang akan ditandatangani para kepala negara, dan yang terakhir, menciptakan sebanyak mungkin kerja sama (partnership) yang melibatkan semua peserta konferensi. Konferensi Johannesburg sebenarnya tinggal menyelesaikan soal-soal pelik yang tertinggal dari pertemuan pendahuluan di Bali. "Hampir 75 persen sudah disepakati dalam pertemuan Prepcom di Bali," kata Emil Salim, ketua pertemuan Bali, kepada TEMPO.
Peserta konferensi ketika itu bersepakat harus ada tindakan untuk memerangi kemiskinan, mengubah pola produksi dan konsumsi, serta menyelamatkan sumber daya alam dan lingkungan. Soalnya ialah niat baik itu tak akan terwujud bila sarana pelaksanaannya tak dipenuhi. Dalam soal inilah negara-negara maju berpandangan sangat berbeda dengan negara-negara berkembang, antara lain dalam hal pembiayaannya.
Amerika Serikat, terutama, tidak bersedia mengadopsi prinsip-prinsip Rio, yaitu prinsip tanggung jawab bersama tapi berbeda dan prinsip kehati-hatian dini. Dengan prinsip ini, negara yang lebih kuat menanggung pembiayaan pelaksanaan hal-hal yang telah disepakati, seperti penghapusan kemiskinan. Amerika bersama-sama Jepang, Kanada, Australia, dan Selandia Baru (kelompok JUSCANZ) menjadi blok besar. Yang lainnya adalah Uni Eropa dan G-77 (negara berkembang) plus Cina. Amerika, negara pengguna seperempat energi dunia, juga masih menolak kapan persisnya mereka akan menjalankan isu Protokol Kyoto soal pengurangan emisi.
Isu besar lain yang mengganjal adalah soal subsidi untuk pertanian dan barang hasil industri. Afrika menghendaki produk pertanian mereka masih bersubsidi dan diberi kebebasan masuk ke pasar di seluruh Amerika dan Eropa, tapi Amerika menolak membuka pasar sebebas-bebasnya demi melindungi para petaninya. Usul penghapusan utang negara-negara miskin juga belum mendapat tanggapan.
Lantas, adakah berita baik dari konferensi ini? Ada. Untuk pertama kalinya konferensi berhasil menyepakati penyelamatan cadangan ikan laut dengan tenggat tahun 2015. Semua negara akan memberikan kuota pada volume ikan laut yang akan ditangkap sesuai dengan jumlah yang diyakini bisa memulihkan kembali cadangannya. Tahun 2020 sudah disepakati pula sebagai tenggat pengurangan produksi dan penyebaran bahan kimia beracun di seluruh dunia. Soal Protokol Kyoto, Jepang tampaknya mulai menerima tenggat pengurangan emisi seperti yang sudah disepakati Uni Eropa, yakni mulai tahun 2005.
Amerika, "si anak nakal" dalam acara ini, ternyata juga bisa membawa kabar baik, yaitu ketika mereka sepakat memberikan tambahan hibah untuk pembangunan. Dana sebesar US$ 970 juta akan dikucurkan untuk penyediaan air bersih yang diminta Afrika dan sisanya akan diusahakan lewat kemitraan hingga mencapai US$ 1,6 miliar. Amerika juga setuju memberikan US$ 43 juta mulai tahun 2003 untuk proyek-proyek energi yang ramah lingkungan plus tambahan US$ 400 juta lewat kemitraan dan bantuan US$ 90 juta untuk petani Afrika. Semua dana itu akan mengucur lewat hibah pemerintah dan swasta Amerika ke seluruh dunia, termasuk membiayai program lingkungan hidup di Indonesia. Sebelumnya, pertemuan Monterrey pada November lalu sudah menyepakati bantuan pembangunan US$ 5 miliar.
Kesepakatan di atas tidak semuanya dicapai dengan mudah. Negosiasi berlangsung dalam kelompok kecil yang terdiri atas 3-4 orang dan contact group yang sering ke luar ruangan untuk berkonsultasi dengan pemerintahnya. Jika mereka sudah bersepakat, soal tersebut dibawa kembali ke tingkat contact group, selanjutnya diusung ke tingkat komite. Banyak soal kerap dibahas hingga pukul 3 dini hari. Ini strategi yang lazim dipakai dalam perundingan: menunggu "lawan" lemah. Perdebatan yang bertele-tele kerap membuat peserta kesal. Dalam perundingan keanekaragaman hayati, rupanya cuma Arab Saudi yang menolak konsep itu. Ini membuat perunding dari Brasil kesal. "Anda hanya punya unta, kok, menolak," katanya.
Hingga Rabu pekan lalu, menurut John Ashe, fasilitator contact group, hampir 99 persen perdebatan soal isu keuangan dan perdagangan sudah rampung. Tinggal isu subsidi dan globalisasi yang masih diganjal negara-negara maju. Rupanya mereka tetap ingin mempertahankan kesepakatan Lembaga Perdagangan Dunia (WTO) di Doha dan Monterrey yang membuat negara kaya bisa mendikte negara miskin agar membuka pasarnya untuk produk negara kaya. Namun hal ini tak membuat para aktivis lingkungan putus asa. "Perundingan internasional itu kan seperti merebus air. Segalanya terjadi pada menit-menit terakhir," kata Jonathan Lash, Presiden World Resources Institute. Mudah-mudahan angin dingin Johannesburg mengembuskan kabar baik.
I G.G. Maha Adi, Dian Basuki (Johannesburg)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini