Pagi itu, Frederik Tokan sudah di atas haul truck yang menderu. Bersama anggota tim Operation Crew IV lainnya, ia menambang bebatuan sebagai bahan baku buat diolah menjadi emas. Semua berjalan dalam rutinitas, seperti biasa. Frederik sering melakukan operasi model begini untuk perusahaan tempatnya mencari nafkah, PT Freeport Indonesia. Jarum jam menunjuk angka 05.30 ketika terdengar suara keras bergemuruh. Anggota Operation Crew IV, termasuk Frederik, tercekat. Dari atas melungsur batuan, tanah, dan lumpur, menerjang dengan ganasnya. Dalam sekejap, ia sudah terbenam bersama 13 anggota tim lainnya. Sebanyak 2,3 juta meter kubik materi longsor menenggelamkan mereka.
Akhir pekan lalu, haul truck yang dikemudikan Frederik sudah tergali. Kendaraan berat yang ketinggian bannya mencapai 3 meter ini terkubur hingga kedalaman satu meter. Tapi Frederik, beserta lima kawannya, belum ditemukan.
Longsor pada Kamis minggu kedua Oktober itu berlokasi di pertemuan batuan poker chip di zona lemah dan batuan intrusif dengan ketinggian 3.800-4.000 kaki di atas permukaan laut. Senior Manager Corporate Communications Freeport, Sidharta Moersyid, mengatakan longsor terjadi di bagian selatan area tambang terbuka Grasberg, Kabupaten Mimika, Papua.
Menurut Nurhidayati dari Divisi Advokasi dan Pendidikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), longsor terjadi akibat lemahnya kepedulian Freeport terhadap lingkungan. Menurut dia, Freeport telah mengetahui bahwa lokasi penambangan Grasberg merupakan daerah rawan bencana akibat topografi wilayah serta tingginya curah hujan.
Nurhidayati menuding telah terjadi peningkatan kapasitas produksi yang melampaui daya dukung lingkungan. Menurut dia, saat ini Freeport mengeruk 240 ribu ton total bahan baku emas setiap hari. Padahal beberapa tahun lalu, menurut Nurhidayati, dengan kapasitas produksi yang masih jauh di bawah itu, longsor terjadi di Danau Wanagon.
Terhadap tudingan itu, Sidharta memilih bersikap kalem. Menurut dia, proses penyelidikan masih berjalan. "Penyebab longsor, sampai saat ini, belum dapat dipastikan," katanya. Kepala Kepolisian Daerah Papua, Inspektur Jenderal Budi Utomo, sementara itu, sudah langsung menunjuk hujan deras yang mengguyur Mimika ditambah angin kencang sebagai kambing hitam bencana.
Sidharta menolak pernyataan Walhi yang menyebut operasi Freeport telah melampaui daya dukung lingkungan. Menurut dia, dari izin penambangan sebanyak 300 ribu ton per hari, Freeport beroperasi selalu di bawahnya. Itu pun sudah berdasarkan kajian yang komprehensif, termasuk memperhatikan aspek lingkungan.
Diam-diam, segera setelah longsor, Tim Inspeksi Tambang dari Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral sudah berada di lokasi. Membawa dua orang ahli geoteknik dari Institut Teknologi Bandung, tim ini sibuk menelisik lokasi, mengaduk-aduk, dan berupaya mengurai sebab-musabab longsor. Hasilnya, menurut Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Wimpy S. Tjetjep, longsor terjadi semata-mata karena faktor alam. Ia buru-buru menambahkan, sejauh ini tim inspeksi tak menemukan penyebab yang mengarah ke pelanggaran prosedur kerja ataupun kerusakan lingkungan.
Wimpy menjelaskan, lokasi penambangan yang mengalami longsor memang merupakan zona pelapukan. Pelapukan tanah dan bebatuan di wilayah itu menyebabkan kandungan air mencapai titik jenuh hingga memperberat bobot tanah—longsor pun amat gampang terjadi.
Menurut Wimpy, Freeport sudah melakukan sejumlah langkah antisipasi, termasuk memperhitungkan kemungkinan terjadinya pergerakan tanah serta menyiapkan lokasi buat menampung materi longsorannya. Menurut hitung-hitungan yang dibuat tim teknis Freeport, longsoran bakal tertampung di lahan tambang P-6. Maka, sehari sebelumnya, kegiatan di P-6 sudah dihentikan. Tim teknis tambang Freeport memperkirakan longsoran tidak akan melampaui zona P-6. Karena itu, kegiatan tambang di P-5, yang merupakan zona terdekat, masih berlangsung.
Perhitungan ternyata meleset. Tanah longsoran sampai ke P-5, yang pagi itu tengah digarap Frederik dan kawan-kawannya. Asumsi lain yang melenceng adalah prediksi curah hujan. Dua hari menjelang longsor, terjadi curah hujan di atas normal. Padahal, saat memutuskan zona P-5 tetap beroperasi, tim teknis tambang Freeport mengasumsikan curah hujan dalam keadaan normal. "Ini kita katakan sebagai bencana alam," ujar Wimpy.
Wimpy memang tidak memungkiri bahwa praktek pertambangan di lahan berketinggian 4.000 kaki rawan bencana, apalagi tanah di Grasberg tergolong banyak rekahan. Namun, menurut dia, itu bukan berarti secara teknis kegiatan pertambangan tidak dimungkinkan. Lagi pula tidak ada batasan sampai ketinggian berapa sebuah pertambangan terbuka harus dihentikan. Masnellyati Hilman, Deputi Bidang Pengembangan Sarana Teknis Pengelolaan Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup, menyebutkan bahwa untuk lokasi dengan kemiringan terjal dan curah hujan tinggi seperti Grasberg, penambangan biasanya dilakukan dengan membuat terasering.
Aturannya, menurut sumber TEMPO di Mimika, pada setiap penggalian harus dibuat teras dengan ketinggian 15 meter dan lebar 15 meter. Teras ini diharapkan mampu mengurangi keterjalan dan juga dapat menahan materi agar tak runtuh. Namun, kata sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan karena takut dipecat ini, pada lokasi longsor, keberadaan benben itu diabaikan dan lebarnya pun hanya satu meter. Dimintai konfirmasi soal ini, Sidharta berkeberatan seraya berujar, "Kami berupaya dan melakukan prosedur penambangan sesuai dengan aturan."
Masih menurut sumber TEMPO itu, di bawah lokasi longsor, batuan tambangnya diketahui memiliki kadar emas yang tinggi sehingga digenjot habis-habisan. Dinamit digunakan untuk memuluskan pekerjaan. Akibatnya, ujar sumber itu, bumi bergetar dan longsor pun terjadi. "Longsor itu bukan karena alam, tapi ada kelalaian manusia," katanya. Membantah dengan tegas, Sidharta mengatakan, "Kalau ada yang bilang longsor karena penggunaan dinamit, saya katakan hal ini tidak benar."
Pemerintah sendiri, menurut Suyartono, Direktur Teknik Mineral dan Batu Bara Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, "Ingin Freeport segera bisa beroperasi normal." Soalnya, dari Freeport, kata Suyartono, setiap tahun pemerintah mengeruk US$ 178 juta—US$ 145 juta pendapatan pajak dan US$ 33 juta pendapatan bukan pajak. Freeport juga menyumbang sekitar 97,4 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Mimika dan 70 persen PDRB Papua. Ditambah lagi penggunaan tenaga kerja lokal yang mencapai 25 persen dari 17 ribu lebih karyawan Freeport.
Angka-angka itu, menurut Andreas Anggaibak, seorang putra suku Amungme, harus ditukar dengan kualitas lingkungan yang menurun. Menurut dia, ribuan hektare tanah telah tercemar limbah tailing Freeport. Tak terbilang flora dan fauna yang mati. Sungai-sungai yang dulunya jernih pun kini menjadi keruh seperti susu kental. "Masyarakat yang dulunya mengandalkan hidup pada hasil hutan dan sungai sekarang tidak bisa lagi," ujarnya.
Upaya Freeport melakukan reboisasi juga dinilai tidak sebanding dengan kerusakan yang terjadi. "Freeport tanam pohon cemara. Dulunya tumbuh pohon sagu. Kami makan sagu, bukan cemara," ujar Andreas.
Agus Hidayat, Jajang Jamaludin, Marselus Dou (Mimika)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini