Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dr. Mahathir Mohamad mengundurkan diri setelah mengabdi 22 tahun lebih sebagai pemimpin Malaysia dan United Malay National Organisation (UMNO). Gemerlapnya Malaysia modern dewasa ini tak akan bisa dibayangkan tanpa peran Mahathir dan UMNO, lembaga yang juga melahirkan Tunku Abdul Rahman, perdana menteri pertama negeri itu. Seperti Mahathir, perdana menteri keempat, Tunku memimpin pemerintahan dan partai tersebut lebih dari 20 tahun. Tampaknya pemerintahan dengan masa memerintah yang lama telah membangun Malaysia dengan sangat baik sejak kemerdekaan.
Sebenarnya, kelangsungan yang disampaikan kedua pemimpin itu merupakan rahasia keberhasilan Malaysia menjadi negara multikultur yang berkembang pesat. Keduanya memulai karier sebagai nasionalis Melayu dan mengakui bahwa minoritas Cina dan India—jumlahnya cukup besar dan kuat secara ekonomi—sangat kritis, perlu diyakinkan agar menerima bangsa di bawah pimpinan orang Melayu ini sebagai bangsa sendiri.
Mahathir menjadi perdana menteri pada 1981, ketika wilayah itu berada dalam masa peralihan sejarah: sudah berakhirnya Perang Vietnam dan stabilisasi di Indonesia setelah insiden berdarah di tahun 1960-an. Sistem ekonomi global sedang berkembang, dan Asia Timur—kecuali Cina pasca-Mao—memiliki komitmen lebih besar daripada yang diharapkan untuk mendukung sistem itu.
Hal ini mendorong Mahathir memutuskan hubungan dengan warisan kolonial Inggris. Imbauannya supaya "melihat Timur" menandai dimulainya kebijakan industrialisasi yang ambisius, yang mencapai puncak dalam tahun kesepuluh masa pemerintahannya, dengan rencana Visi 2002 untuk mengejar perkembangan di Barat. Tahun 1997, Mahathir berada di puncak kekuasaannya, mengilhami negaranya untuk meyakini bahwa tidak lama lagi seluruh masyarakat akan melihat diri mereka memiliki kebersamaan sebagai warga Malaysia.
Namun, krisis keuangan yang menghantam Asia menghambat jalan menuju pertumbuhan yang cepat. Berlawanan dengan hampir semua nasihat dari dunia internasional, Mahathir menerapkan capital control dan menetapkan kurs ringgit untuk memulihkan kondisi.
Ia juga mencoba mengalihkan sentimen krisis ekonomi itu ke arah politik, sambil mempertahankan cengkeraman tangan besinya: memecat calon penggantinya, Anwar Ibrahim, yang menjabat wakil perdana menteri dan Menteri Keuangan. Penahanan dan pemeriksaan pengadilan Anwar menarik perhatian semua, tapi Mahathir lalu membuat kejutan dengan memulihkan kekuasaannya secara begitu sempurna setelah masa krisis, dan memutuskan Abdullah Badawi sebagai penggantinya.
Perang terhadap teror juga memberi kesempatan bagi Mahathir untuk pulih secara politis. Bagi dunia yang merasa terancam oleh Islam, Mahathir dipandang mampu memperkukuh sisi kepemimpinannya yang terlupakan, secara berulang-ulang mengingatkan dunia bahwa ia memimpin suatu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan mereka bisa hidup berdampingan dengan non-muslim. Mahathir berhasil dan berhak mendapat pujian.
Meski mengenakan kemeja identitas Melayu, Mahathir akhirnya meyakinkan hampir semua penduduk non-Melayu bahwa ia seorang yang memperhatikan seluruh masyarakat Malaysia. Lambat-laun orang pun lupa bahwa ia pernah menentang Tunku Abdul Rahman dengan tidak menjadi "Melayu" sepenuhnya dan dengan mengakui partai koalisi Cina dan India pada masa pemerintahan Tunku di awal masa kemerdekaan.
Mahathir, Perdana Menteri Malaysia pertama dari kalangan orang biasa, menjadi pemimpin Asia yang melakukan modernisasi dengan cara fundamental. Dengan cepat, ia memulai perjuangan konstitusional yang memecah-belah, menentang sembilan sultan, penguasa Melayu yang memerintah turun-temurun, dan berhasil membatasi hak dan kuasa mereka.
Sukses mengatasi inersia kecurigaan-kecurigaan umum dan feodal, Mahathir pun mampu mengarahkan negaranya dalam laju industrialisasi yang pesat. Awalnya, rencananya yang ambisius untuk membuat Malaysia menjadi model ekonomi bagi negara yang sedang berkembang membuatnya menjadi bahan cemooh sekaligus dikagumi. Banyak orang berpendapat, ia terlalu cepat berharap bangsa Melayu bisa membuat lompatan budaya: dari pedesaan jadi ruang perkantoran hanya dalam satu generasi.
Namun, tekadnya bulat untuk mendobrak tradisi Melayu dan berhasil membangun yang baru—walaupun masih kecil—kelas menengah perkotaan. Tampaknya, Mahathir terpacu oleh keberhasilan negara tetangga, Singapura, yang cepat mencapai Negara Dunia Pertama. Mahathir, yang meraih gelar dokternya di Singapura, menghargai komitmen negara itu untuk mencapai modernisasi. Ia tak ingin Malaysia tertinggal jauh.
Pendekatan kompetitif terhadap Singapura ini sejalan dengan perhatian yang dinyatakan dalam bukunya, The Malay Dilemma. Pemikirannya lebih berani, dan ia bergerak maju menguasai dunia cyberspace dan koridor multimedia. Namun, tujuannya tetap untuk membangun Malaysia, dengan bangsa Melayu akan selalu memimpin minoritas non-Melayu dalam membentuk masa depan bangsa. Barangkali, kesinambungan inilah warisan terbesar kepemimpinan Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo