Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Antara Nusawere dan Segara Anakan

Penyelamatan Segara Anakan di Jawa Tengah dinilai mengancam Pantai Pangandaran, Jawa Barat.

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agustus ini akan jadi bulan penentu nasib bagi Segara Anakan. Danau air payau hasil perkawinan Samudra Hindia dengan Kali Citanduy itu akan menerima vonis: hidup atau mati. Jika para pemimpin daerah terus berantem, ngeyel pada pendapatnya, proyek penyelamatan Segara Anakan akan dihentikan. Akibatnya, ekosistem unik yang direncanakan bakal menjadi laboratorium hutan payau tropis dunia itu terancam musnah.

Balada Segara Anakan sesungguhnya telah dimulai sejak belasan tahun lampau. Sungai Citanduy, pemasok air terbesar ke danau payau itu, tiap tahun membawa enam juta kubik lumpur dan menimbunnya ke Segara Anakan. Timbunan ini bukan cuma membuat delta yang mempersempit laguna, tapi juga melahirkan pulau-pulau baru di muara Citanduy.

Hasil citra satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menunjukkan luas Segara Anakan terus menyempit. Lima belas tahun lalu, laguna yang memisahkan Pulau Jawa dengan Nusakambangan itu luasnya masih 2.900 hektare. Tapi sepuluh tahun kemudian tinggal separuhnya. Selain itu, beberapa dataran baru muncul. Kehadiran pulau-pulau baru ini hampir saja menyumpal mulut Segara Anakan dan memisahkannya dari Lautan Hindia (lihat gambar).

Pendangkalan dan penyumbatan ini tentu saja mengancam ekosistem laguna unik tersebut. Segara Anakan merupakan tempat bertemunya muara sungai besar dengan lautan sempit. Ombak ganas Samudra Hindia seperti direm ketika memasuki danau payau itu. Tak mengherankan jika banyak satwa laut dalam yang berbiak di sini. Setidaknya, ada 21 satwa laut yang dilindungi seperti lumba-lumba, penyu hijau, dan sejumlah spesies ikan air payau yang "bersuaka" di Segara Anakan.

Untuk menyelamatkan ekosistem khas itu, tiga tahun lalu dimulailah Segara Anakan Conservation and Development Project (SACDP). Proyek ini mencoba membelokkan lumpur Citanduy dengan membuat sodetan sepanjang 10,5 kilometer, yang akan menggiring aliran sungai besar itu menjauh dari Segara Anakan. Aliran baru ini bermuara di Teluk Nusawere, di sebelah timur obyek wisata Pantai Pangandaran di Ciamis, Jawa Barat. Konon, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dari proyek US$ 76 juta yang didanai pinjaman Bank Pembangunan Asia ini sudah pula digelar.

Namun, Mei lalu, ketika proyek sudah berjalan 30 persen, tiba-tiba Pemda Ciamis keberatan jadi tempat pembuangan. Menurut salah satu Ketua Komisi DPRD Ciamis, Jeje Wiradinata, sudetan ini cuma memindahkan penyakit. Segara Anakan mungkin bisa diselamatkan, tapi sebaliknya, Teluk Nusawere akan jadi korban. Padahal, Nusawere merupakan daerah tangkapan ikan yang potensial bagi nelayan Ciamis.

Bukan cuma itu. Menurut Jeje, buangan lumpur itu bakal menyebar ke Pantai Pangandaran, yang jaraknya 25 kilometer dari Nusawere. Sejauh itukah? Entahlah. Menurut kajian Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Padjadjaran (LPM Unpad), Bandung, kemungkinan seperti itu bukan mustahil mengingat arus laut dan tiupan angin dari Nusawere ke Pangandaran cukup besar.

Jika Pangandaran hancur, Pemda Ciamis sudah punya hitung-hitungan: pajak ekspor hasil laut merosot, pendapatan industri pariwisata seperti hotel, restoran, dan belanja pelancong akan amblas. Diperkirakan, Pemda Ciamis akan kehilangan Rp 3 triliun setiap tahun.

Karena itu, Jeje menuding, amdal proyek Segara Anakan itu disusun hanya dengan memperhitungkan keuntungan Jawa Tengah. "Biaya yang ditanggung Jawa Barat tak digubris," katanya. Jeje menuntut agar amdal proyek penyelamatan Segara Anakan disusun ulang.

Adakah jalan keluar yang lain? LPM Unpad mengajukan pilihan. Hulu Citanduy harus dihijaukan agar pabrik lumpur yang bernama erosi bisa direm. Pengendalian erosi akan mengurangi kadar lumpur dalam air sekaligus mempercepat arus sehingga Citanduy mampu melemparkan "para penumpangnya" jauh ke laut lepas. Selain itu, mulut Citanduy juga harus diperbanyak agar lumpur tak keluar dari satu lubang.

Kendati ideal, usul Unpad bukan solusi jangka pendek. Penghijauan bisa makan waktu belasan tahun agar bisa berfungsi. Selama masa tunggu itu, Segara Anakan mungkin sudah lebih dulu terhapus dari peta. Barangkali karena itu pula, para wakil rakyat daerah Ciamis hari-hari ini terus bersitegang: menerima proyek sudetan atau tidak.

Celakanya—ini yang repot—pemberi pinjaman tak mau sabar menunggu. Jika silang pendapat ini tak berujung hingga akhir Agustus, mereka akan angkat kaki. Artinya, nasib Segara Anakan diserahkan kepada kebijakan alam raya.

Agung Rulianto, Idayanie (Cilacap)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus